Hafal Al Quran di penjara
Nafis Yaakub mungkin tak pernah menyangka, tilawahnya di penjara bisa disaksikan umat Islam di dunia. Hafidz Qur’an usia 16 tahun itu mungkin tak pernah menyangka bahwa ujian penjara karena tak punya paspor itu membuat namanya begitu populer. Padahal niatnya hanya muraja’ah seperti kebiasaannya.
Nafis Yaakub berasal dari Kamboja. Ia mendapat tugas berdakwah di Malaysia. Namun saat hendak membeli makanan ia ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Pasalnya, Nafis tidak memiliki IC (Identity Card) dan paspornya telah habis. Penghafal Qur’an ini divonis enam bulan penjara.
Hidup di penjara Macang, Kelantan, tak membuat Nafis lupa kebiasaannya. Sebelum dipenjara, Nafis rutin tilawah 6 juz tiap hari. Malam itu, karena udara sangat panas, Nafis melepas bajunya. Jadilah ia muraja’ah tanpa baju. Suara merdunya membuat teman2 penghuni penjara terpesona.
Ketika Nafis khusyu’ membaca ayat-ayat Al Qur’an itulah seorang petugas pembawa makanan merekamnya. Lalu orang itu mengunggah video tersebut di Youtube. Saat ini, video tilawah Nafis Yakuub di penjara telah ditonton jutaan orang dari berbagai negara. Berkat itu, dirinya populer dan ditawari menjadi imam dan syaikh di sejumlah masjid Malaysia.
Karena baktinya kepada ortu, ia pilih pulang ke Kamboja. Saat ini, banyak video Nafis Yakuub diunggah di Youtube. Tilawah merdunya juga bisa dinikmati dalam bentuk CD. Dengarkan waktu dia di penjara. (Nurbaety Putri Priyatna; https://www.facebook.com/YMansur/videos/1685263681696881/)-FR
———–
Sajian IBO lainnya :
- Manfaat Puasa Senin Kamis yang dahsyat
- Kisah inspiratif
- Penjaja Koran
- Status terakhir
- AL-Qur’an dan sang Jenderal
—————
Manfaat Puasa Senin Kamis yang dahsyat
Tahukah anda hikmah puasa Senin Kamis dari segi spiritual, kesehatan dan keutamaan di hadapan Allah. Alasan utama mengapa puasa Senin Kamis disunahkan, karena Rasul sering berpuasa di ke-2 hari itu. Tapi, apa keutamaan Senin-Kamis ? Ada 2 hadist yg berkenaan dengan pemilihan hari Senin dan Kamis.
Yang pertama,
Hadist Riwayat Ahmad menyebut Rasul mengatakan amal2 dibentangkan di hari Senin dan Kamis. Karena itu, sebagai orang beriman, baik bila saat malaikat melaporkan amalan, kita tengah berpuasa.
Yang kedua,
Karena hari itu Rasul dilahirkan, jadi rasul dan dapat wahyu (HR Muslim). Jadi terlihat hari Senin dan Kamis istimewa dari sisi religius. Dari sisi logika, bisa dilihat Senin dan Kamis membagi satu ‘minggu’ jadi dua bagian yang hampir sama. Jadi puasa Senin Kamis berfungsi pemeliharaan.
Dengan berpuasa di hari Senin dan Kamis, kita melakukan maintenance untuk diri kita rutin dari segi spiritual dan jasmani. Lalu, apakah keutamaan puasa yang berkelanjutan seperti puasa Senin Kamis ini ?
Keutamaan yang pertama : karena puasa Senin Kamis melatih kita menghindarkan diri dari pekerjaan dosa. Kalau ada latihan efektif untuk ‘anger management’ atau latihan kesabaran, maka itulah puasa.
Karena itu, puasa adalah zakat jiwa saat puasa, kita membuang perangai buruk. Sesudah puasa, emosi dan spiritual kita jadi lebih bersih. ”Segala sesuatu itu ada zakatnya, zakat jiwa itu berpuasa. Dan puasa itu separo kesabaran”.(HR. Ibnu Majah). Menghilangnya perangai buruk kita, minimal seminggu 2x, maka ”Puasa adalah yg membentengi seseorang dari api neraka yg membara”.{HR.Ahmad dan Baihaqi}.
Keutamaan yang kedua : karena puasa Senin Kamis bisa meningkatkan amalan kita. Seseorang yang kekenyangan cenderung malas beribadah. Puasa menjadikan lebih produktif beribadah karena selain kita tidak berposisi keenakan, yang berpuasa cenderung ingin beribadah ekstra. Puasa bisa melembutkan hati. Dengan puasa, kita lebih berempati ke orang2 yang tidak beruntung dibanding kita.
Karena itu, puasa menjadikan kita lebih dekat ke Allah dan lebih bertakwa. Puasa diperintahkan pada kita dan orang2 sebelum kita supaya jadi orang bertakwa (Al Baqarah 183). Selain keuntungan emosi spiritual, puasa memiliki keutamaan dari segi kesehatan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini sudah ada banyak riset yang menyimpulkan bahwa puasa yang teratur itu baik untuk kesehatan.
Manfaat kesehatan dari puasa adalah ampuh untuk membatasi kalori ke tubuh kita. Yang jelas, kala Sang Pencipta mewajibkan kita puasa minimum selama Ramadhan, itu baik bagi kita. Bayangkan dahsyatnya puasa kala kita bisa merutinkannya. (Muchisam-72)-FR
————
Kisah inspiratif
Sebelum pulang kantor, suami telp istrinya, “Sayang, alhamdulillah, bonus akhir tahun dari perusahaan sudah turun, Rp. 150 juta.” Dibalik telp, istri tentu mengungkapkan rasa syukurnya, “Alhamdulillah, semoga barokah ya mas”. Sejak beberapa bulan yg lalu mereka berencana beli mobil sederhana. Dan uang yg turun mereka rasa cukup pas sesuai budget.
.
Dalam perjalanan pulang, dia ditelp ibunya di kampung, “Nak, kamu ada tabungan? Tadi ada orang datang ke rumah. Ternyata almarhum ayahmu punya hutang ke dia Rp. 50 juta.” Tanpa pikir panjang, ia bilang ke ibunya, “Iya, Bu, insyaAllah ada.” Dalam perjalanan pulang ia berpikir, “Nggak apa-apa lah, masih cukup untuk beli mobil yg 100 jutaan. Mungkin ini lebih baik.”
Ia pun melanjutkan perjalanan. Belum tiba di rumah, HP-nya kembali berdering. Seorang sahabat karib semasa SMA menghubungi sambil menangis. Sahabatnya itu sambil terbata mengabarkan anaknya harus operasi minggu ini. Banyak biaya yg tidak bisa dicover oleh asuransi kesehatan dari pemerintah. Tagihan dari rumah sakit Rp. 80 juta.
.
Ia berpikir sejenak. Uang bonusnya tinggal 100 juta. Jika ini diberikan ke sahabatnya, maka tahun ini ia gagal beli mobil. Tapi nuraninya mengetuk, “Berikan padanya. Ini jalan Allah menolong sahabat itu. Mungkin rezekinya yang datang melalui perantara dirimu.” Ia pun menuruti panggilan nuraninya.
.
Setibanya di rumah, ia lesu. Istri bertanya, “Kenapa, mas? Nggak seperti biasanya pulang kantor murung gini?” Suami mengambil napas panjang, “Tadi ibu di kampung telp, butuh 50 juta untuk bayar utang alm bapak. Nggak lama, sahabat abang juga telp, butuh 80 juta untuk operasi anaknya. Uang kita tinggal 20 juta. Maaf ya, tahun ini kita nggak jadi beli mobil dulu.”
Istri senyum, “Kirain ada masalah. Mas, uang kita bukan 20 juta, tapi yg 130 juta. Uang yg kita infakkan ke ortu, kepada sahabat kita, itulah harta kita. Yg akan kita bawa menghadap Allah, yg tidak mungkin bisa hilang jika kita ikhlas. Sedang yg 20 juta, masih belum jelas, harta kita atau jadi milik orang lain.”
.
Si istri pegang tangan suaminya, “Mas, insyaAllah ini yg terbaik. Bisa jadi jika kita beli mobil, justru jadi keburukan bagi kita. Bisa jadi musibah datang ketika mobil itu ada saat ini. Berbaik sangka kepada Allah, karena kita hanya tahu yg kita inginkan, sementara Allah-lah yg lebih tahu apa yg kita butuhkan.”
Kawan, hidup ini kita harus kita pilih dg hati2. Yakni: pendidikan, pekerjaan, dan pendamping hidup. Bukan sekadar yg favorit kampus, tapi yg sesuai dg bidang yg ingin kita pelajari. Bukan yg gajinya besar, tapi sesuai dg passion pada diri. Bukan sekadar indah parasnya, tapi yg bisa menjadi penasehat, sahabat, serta perantara untuk mendekat pada Sang Pencipta. (Sapuwan; dari grup WA-78)-FR
————-
Penjaja Koran
Pagi itu seorang penjaja koran berteduh di emperan toko. Sejak subuh hujan cukup deras, membuatnya tidak bisa menjajakan korannya. Terbayang di benakku, tidak ada satu sen pun yang ia peroleh kalau hari terus hujan. Namun, kegalauan yang kurasakan ternyata tidak tampak sedikitpun di wajahnya.
Hujan terus turun. Si penjaja koran tetap duduk di emperan toko sambil tangannya memegang buku. Kuperhatikan dari kejauhan, lembar demi lembar ia baca. Awalnya aku tidak tahu apa yang sedang ia baca. Namun saat kudekati, ternyata ada Al-Quran di tangannya.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”
“Bagaimana jualan korannya, Mas.”
“Alhamdulillah, sudah selembar yang terjual.”
“Wah susah juga ya jualannya kalau hujan begini.”
“Insya Allah ada rizkinya.”
“Terus, kalau hujannya sampai sore?”
“Itu artinya rizki saya bukan jualan koran, tapi banyak berdoa.”
“Kenapa?”
“Kata Rasul SAW, saat hujan adalah mustajab berdoa. Punya kesempatan berdoa, juga rizki namanya.”
“Lantas, kalau tidak dapat uang?”
“Berarti rizki saya bersabar”
“Kalau tidak bisa beli nasi untuk makan.”
“Berarti rizki saya berpuasa”
“Kenapa Mas bisa berpikir seperti itu?” Tanyaku lagi.
“Allah SWT yang memberi rizki. Apa saja rizki yang diberikan-Nya saya syukuri.
Selama saya jualan koran, meski tidak laku, saya tidak pernah kelaparan. Suatu hari, koran saya tidak laku. Saya tak punya uang untuk makan. Saya puasa. Alhamdulillah, mendekati waktu Maghrib ada tetangga bawain makanan. Saya makan secukupnya. Biar ada tenaga untuk sholat dan ibadah lain.”
Hujan reda, penjaja koran bersiap berjualan. Ia pamit dan memasukkan Al-Quran ke tas gendongnya.
Aku termenung menyimaki kalimat-kalimat tausiah yang diucapkannya. Ada penyesalan di dalam hati. Kenapa kalau hujan aku masih resah-gelisah. Khawatir tidak dapat uang, khawatir rumahku terendam banjir, khawatir tidak bisa bertemu orang-orang seprofesi. Kusadari, rizki bukan semata uang. Bisa bersabar, bisa berpuasa, bisa berdoa, bisa beribadah adalah juga rizki dari Allah SWT. Rizki hidayah dan bisa bersyukur adalah jauh lebih bermakna daripada uang. (Jul Usman; dari grup WA-72)-FR
——
Status terakhir
Saat sedang online, sadarilah bahwa kematian tak menunggu kapan gerak jemari kita berhenti menari diatas keyboard. Kita juga tak pernah tau apa isi status terakhir yang akan kita tinggalkan. Seorang penyair mengatakan:
Setiap penulis pasti akan meninggal..
Hanya tulisannya yang akan kekal sepanjang masa..
Maka jangan kau tulis sesuatu dengan gores penamu..
Kecuali apa yang kelak membuatmu bahagia saat melihatnya di hari kiamat nanti.
Kawan, Tulislah yang baik-baik saja. Bagikan yang baik-baik saja..
Pikirkan hal yang terbaik, mantapkan niat, lalu tuangkan di kolom statusmu. Jangan menunda kawan..
Karena kita tidak tau dengan status yang mana sahabat kita menemukan jalan hidayah-Nya.
Ingat. Semua yang kita tuliskan tersimpan rapi disisi-Nya. Status kita bisa menjadi sumber pahala yang tak berujung atau petaka yang tak berkesudahan. (Muchisam72 sumber dari: Ustadz Aan Candra Thalib; FB: www.facebook.com/thallabulilmiakhwat)-FR
————
AL-Qur’an dan sang Jenderal
Suatu sore, di tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang2 terasa hening mencekam. Jenderal Adolf Roberto, Pemimpin Penjara yang bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap Sipir Penjara membungkukkan badan rendah2 ketika ‘Algojo Penjara’ itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu ‘jenggel’ milik tuan Roberto yang fanatik .. itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar kumandang suara2 Ayat Suci yang ia benci. “Hai … hentikan suara jelekmu.Hentikan!” Teriak Roberto keras2 sembari membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto tambah berang. Algojo Penjara itu menghampiri kamar tahanan yang sempit.
Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta tahanan yang keriput tinggal tulang. Tak puas, ia menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Ajaib, Tak terdengar secuil keluh kesakitan. Bibir pucat kering milik sang tahanan amat gengsi meneriakkan kata kepatuhan kepada sang Algojo, bibir keringnya hanya berkata lirih “Rabbi, wa-ana ‘abduka …”.
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir dan berkata, “Sabarlah ustadz … Insya Allah tempatmu di Syurga”. Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, ‘Algojo Penjara’ itu bertambah marahnya.
Ia perintahkan Pegawai Penjara buka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu hingga terjerembab di lantai. “Orang tua busuk. Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu. Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu
Ustadz berucap, “Aku merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah SWT. Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan segera menemui-Nya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, aku termasuk manusia bodoh”.
Baru saja kata2 itu terhenti, sepatu laras Roberto mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku bajunya, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan Ustadz lebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, laki2 dungu!” bentak Roberto.
“Haram bagi tanganmu yang berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini”, ucap ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Roberto ambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot 2 Kg itu ia gunakan menginjak jari tangan ustadz yang lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto.
Laki-laki bengis itu bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘Algojo Penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari yang hancur. Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
“Sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” suara hati Roberto bertanya. Perlahan dia buka lembaran pertama itu. Pemuda berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan2 “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping Ustadz yang hamper melepas nafas terakhirnya. Wajah algojo kini diliputi tanda tanya dalam. Matanya rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang di alaminya sewaktu kanak2. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu sore masa kanak2nya terjadi kericuhan besar di tempat kelahirannya. Ia lihat peristiwa mengerikan di Lapangan Inkuisisi (tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Disitu berlangsung pesta darah dan nyawa. Ribuan jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berjilbab digantung pada tiang2 besi yang terpancang tinggi.
Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar di udara. Di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup2 pada tiang2, hanya karena tidak mau masuki agama lain. Seorang bocah lelaki tampan, umur 7 tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang senyap. Korban kebiadaban itu syahid semua.
Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan bocah itu mendekati tubuh ummi (ibu) yang tak bernyawa, sembari menggayuti abayanya. Sang bocah berkata dengan parau, “Ummi2, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ….? Umi, cepat pulang ke rumah ummi”
Bocah kecil itu menangis keras, ketika ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia makin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocah itu memanggil bapaknya, “Abi … Abi … Abi …”. Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang mendekati sang bocah.
“Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi …” jawab sang bocah memohon belas kasih. ”
Hah … siapa namamu bocah, coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka.
“Saya Ahmad Izzah …” sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi.
Tiba-tiba “plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. “Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’ … Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.
Sang bocah ketakutan, dan meneteskan air mata. Anak laki2 mungil itu menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia men-cari2 sesuatu di pusar laki2 itu.
Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeris, “Abi … Abi … Abi …”
Ia menangis keras, seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya bergelut dengan masa lalunya. Ia ingat betul, buku kecil yang ada di genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat ayahnya punya ‘tanda hitam’ dipusarnya.
Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah ber-puluh2 tahun alpa agama, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi … aku masih ingat alif, ba, ta, tsa …” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya. Ustadz membuka mata ketika ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya.
Dia dapat melihat orang yang menyiksanya habis2an kini memeluknya. “Tunjuki aku jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku jalan itu …” Terdengar suara Roberto memelas. Ustadz mengatur nafas untuk berkata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini.
✳Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah. Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,”. Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah :
“Asyhadu an-laa Ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasullullah …” ❇Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini. Kemudian, Ahmad Izzah mendalami Islam dengan sungguh2 hingga akhirnya ia menjadi seorang alim di Mesir.
Seluruh hidupnya dibaktikan untuk Islam, sebagai ganti kekafiran yang sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya. Dialah Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy. Benarlah firman Allah :
“Hadapkanlah wajahmu lurus ke agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS:30:30)—-(Sapuwan; dari grup WA-78)-FR