Jangang kopiah Banjar dulu untuk orang alim
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN-Masyarakat Banjar di Kalsel mayoritas Islam. Tak heran jika kopiah jadi benda paling disukai, khususnya untuk beribadah. Di antaranya ada peci khas Kalsel, yaitu kopiah jangang. Kopiah ini disebut demikian karena bahannya dari akar pohon jangang. Pohon jangang marak ditemui di hutan2 belantara Kalimantan.
Para perajinnya banyak ditemui di Desa Margasari, Rantau, Kabupaten Tapin. Setelah jadi, mereka menjualnya ke kota-kota lain, di antaranya ke Banjarmasin. Kopiah ini bisa dikatakan unik dan pembuatannya masih sangat tradisional. Disebut unik karena kopiahnya berlubang-lubang. Lubangnya ada yang renggang ada juga yang rapat dan kecil-kecil.
Kopiah ini lemas dan bisa dilipat walau berbahan akar kayu. Kopiah jangang dijual di emperan, tak ada toko khususnya. Biasanya, penjualnya menggelar lapak jualan di emperan Pasar Sudimampir di Jalan Sudimampir, Kel-Kertak Baru, Kec-Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin.
Di pasar ini, ada tiga orang pedagangnya. Seorang penjualnya, Hermansyah menjual kopiah jangang dalam berbagai jenis harga antara Rp 30.000 hingga Rp 400.000. Biasanya, kopiah jangang jualannya ini diborong pembeli di musim umrah. “Ada yang menjual di Arab Saudi, ada juga untuk oleh2” sebutnya.
Warna kopiah jangang ini biasanya coklat. Aslinya, akar pohon jangang berwarna coklat muda ada juga yang tua. Agar warna coklatnya merata, biasanya setelah dianyam menjadi kopiah, direndam dulu selama 10-15 menit di air yang sudah dicampuri parutan kayu uwar.
Kayu uwar juga salah satu kayu hasil hutan. Cairan kayu uwar ini berfungsi meratakan warna akar jangang agar tampak rapi-indah saat diolah jadi kopiah. Proses pembuatan kopiah jangang ini rumit karena akar kayu itu dianyam menggunakan pola2 khusus dan dikerjakan manual oleh tangan2 manusia. Polanya ada yang gelombang, bunga teratai dan hati.
“Kalau akar jangang biasanya diambil di pedalaman hutan di Kaltim : di Purukcahu dan Muarateweh,” katanya. Akar2nya itu, saat baru diambil dari pohonnya, biasanya dikupas kulit luarnya. Setelah itu baru tampak kulit lapisan kedua. Di lapisan ketiganya teksturnya lebih lembut, biasanya disebut hati jangang.
“Yang bisa diolah menjadi kopiah adalah kulit lapisan kedua dan hatinya. Kalau kulit luarnya keras, tak bisa dibentuk jadi kopiah,” ujar pria asli Desa Margasari, Kabupaten Tapin yang juga perajin kopiah jangang ini.
Hasil olahan kulit lapisan kedua dengan hatinya sangat jauh berbeda. Kopiah berbahan kulit jangang lapisan kedua lebih keras, tebal, lubangnya besar-besar jika dibandingkan dengan kopiah berbahan hati jangang. Kopiah berbahan hati jangang jauh lebih halus dan lembut, anyamannya tampak lebih rapi, rapat, lubangnya kecil-kecil dan motifnya lebih indah.
“Kalau yang lapisan kedua, motifnya sedikit karena susah membentuk anyamannya. Makanya lubangnya besar-besar. Kalau yang berbahan hati jangang lebih lembut, namun harganya lebih mahal karena mengolahnya lebih rumit, bilah hati jangangnya kecil-kecil sehingga membuatnya diperlukan ketelitian yang lebih,” paparnya.
Proses pembuatannya makan waktu lama. Yang berbahan kulit lapisan kedua, sebuahnya dibuat dua hari. Yang berbahan hati, sebuahnya bisa sebulan baru selesai. Tak heran jika harga jual kopiah jangang berbahan hati lebih mahal, yaitu Rp 400.000 per buahnya. Yang berbahan kulit jangang lapisan kedua berkisar Rp 30.000-Rp 125.000.
“Harganya bervariasi, tergantung kualitas dan kerapatan anyamannya juga daya tahannya. Kalau yang berbahan kulit lapisan keduanya lebih murah dan daya tahannya sekitar dua tahun saja, sedangkan yang berbahan hatinya bisa hingga lima tahun,” paparnya.
Di balik pesona dan kerumitan pembuatannya, kopiah jangang memiliki strata sosial bagi masyarakat Banjar masa lalu. Ratusan tahun lalu, masyarakat muslim di Kalsel belum mengenal jenis peci seperti yang ada kini. Karenanya, masyarakatnya berinisiatif membuat sendiri untuk keperluan beribadah.
Karena di sini banyak pohon jangang dan akarnya bisa dibentuk, akhirnya dibuatlah kopiah berbahan akar jangang ini. Dulu, pemakainya hanya para santri dan ulama.
“Menurut cerita orang-orang tua kami dulu di Desa Margasari, siapa yang memakai kopiah jangang ini dianggap bisa membaca doa atau memimpin majelis pengajian. Makanya, dulu kopiah ini tidak dipakai oleh sembarang orang, hanya para santri dan ulama yang sekiranya bisa dipercaya menjadi imam salat atau penceramah yang berhak memakainya”.
“Pokoknya, zaman dulu siapa yang tampak memakai kopiah jangang ini, dia pasti orang alim. Kalau yang tidak memakainya, pasti bukan orang alim,” tuturnya.
Tak heran, dulu kopiah ini sangat populer di kalangan pesantren. Banyak santri atau kaum alim ulama yang memakainya dan karena keindahan unsur tradisionalnya sehingga menarik banyak minat kalangan lainnya untuk dijadikan buah tangan khas Kalimantan Selatan.
Seiring berjalannya waktu dan banyak peminat dari luar pesantren, kopiah ini turun kasta jadi peci yang sering dipakai masyarakat. Tak jarang, banyak pembeli sekadar oleh2 bagi orang2 Banjar yang bepergian ke luar negeri. “Buat di-kasih2kan ke orang luar negeri, kata mereka, sekadar mengenalkan kerajinan khas Banjar ke luar negeri,” bebernya.
Berminat beli kopiah khas ini? Anda bisa mengunjungi Pasar Sudimampir di Banjarmasin. Lapak para penjualnya biasanya di dekat toko2 penjual karpet. Posisinya persis di dekat lokasi parkir pasar ini.
Menuju kemari, bisa menggunakan Angkutan : Ojek, bajaj dan angkutan umum.
Biasanya, angkot dari Pasar Sentra Antasari melewati lokasi ini, turun saja di Jembatan Sudimampir, posisi pasar ini persis di samping jembatan. (http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/07/23/kopiah-jangang-khas-banjar-dulu-hanya-dipakai-orang-alim)-FatchurR