Selingan

Wayang Wisanggeni(1)-Kalau dunia isi berganti

Sebagai pembuka ceita, inilah Kahyangan atau Kayangan Deksina atau sering disebut Kayangan Argadahana. Kayangan atau kahyangan atau kahiyangan berasal dari kata Hyang yang artinya dewa, maka kahiyangan artinya tempat tinggal para dewa.

 

Arga berarti gunung, sedangkan dahana artinya api. Mengapa namanya demikian, sebab sang empunya kayangan ini adalah Batara Brahma atau Batara Brama, sang dewa penguasa api.

Nun di taman keputren Kayangan Argadahana, kala itu ada dua orang yang sedang diselimuti kebahagiaan. Maklumlah mereka adalah pengantin agak baru. Mengapa agak baru? Sebab mereka sudah menikah beberapa bulan. Kalau pengantin baru itu baru menikah beberapa hari.

Ya benar, mereka sangat berbahagia. Sekali-kali sang pria mengelus perut istrinya yang sedang hamil muda. Salah satu kebahagiaan luar biasa abagi seorang pria adalah ketika istri mulai hamil anak pertama. Boleh dikata kebahagiaannya mengalahkan ketika memasuki jenjang perkawinan.

 

Kalau dahulu mereka mengatakan dunia serasa milik berdua, kini mereka seakan mengatkan bahwa dunia akan diserahkan kepada jabang bayi yang sekarang ada di dalam kandungan.

Siapakah mereka? Mereka ada pasangan Arjuna dengan Dewi Dresanala. Arjuna yang manusia panengah Pandawa itu telah menikah beberapa waktu lalu dengan Dewi Dresanala, putri Batara Brama.
” Kanda Arjuna, apakah sudah menyiapkan nama untuk anak kita?”, tanya Dewi Dresanala.

” Waduh, malah belum. Bukannya masih lama lahirnya anak kita?”, Arjuna balik bertanya.
” Ya ya, tapi kalau memilih nama-nama yang bagus dari sekarang,kan nantinya tinggal memilih mana yang paling bagus, yang paling cocok”.
” Ya, benar juga. Apa Dinda Dresanala sudah menyiapkan nama?”

” Sudah, sudah ada beberapa nama”.
” Coba apa saja namanya”.
” Tapi malu ah, nanti jangan-jangan Kanda Arjuna tidak setuju dengan nama pilihan saya”.
” Ya nggak apa-apa, kan nanti bisa kita rundingkan”.

” Ya ya. Ini ada nama Madona, Naomi, Aliya. Bagus enggak ya?”
” Lho, itu kan nama perempuan. Iya kalau aka kita perempuan, bagaimana anak kita kalau laki-laki?”
” Wah, iya ya? Hm .. siapa ya namanya kalau anak kita laki-laki?”

Arjuna hanya tersenyum melihat Dewi Dursanala yang sedang semangat mencari nama untuk anak mereka. Persis seperti orang-orang yang istrinya sedang hamil muda, selain nyidam, mereka juga asyik berburu nama kesana kemari, mencari nama yang dianggap paling bagus.

 

Hal ini justru dimanfaatkan oleh toko buku dengan menjual buku berisi nama-nama bagus beserta artinya. Maka akibatnya, selang beberapa tahun kemudian banyak anak namanya sama atau mirip, karena mereka sama-sama memberi nama dari sumber buku yang sama. Begitulah yang terjadi di jaman wayang, entahlah di jaman lain.

” Bagaimana kalau Ronaldo? Atau Goku? Atau Simon?”, tanya Dewi Dresanala.
” Lho, itu semua kan nama-nama jaman dulu. Kita sekarang kan hidup di jaman wayang, jadi namanya yang ngetren di jaman wayang ini saja”, kata Arjuna sambil mengelus perut Dewi Dresanala dengan seyum penuh kebahagiaan.

Dewi Dresanala mengangguk sambil tersenyum manja. Begitulah kalau orang sedang merajut cinta, bukan cinta sementara saja, namun cinta untuk selamanya. Saking asyiknya bercengkerama, tanpa sepengetahuan mereka, ternyata sudah beberapa lama ada yang datang tanpa mereka menyadarinya.
” Hm”, seseorang berdehem di belakang mereka.

” Oh pikulun Batara Brama. Hamba menghaturkan sembah. Mohon maaf kami tidak mengetahui kedatangan pikulun”, kata Arjuna yang segera bangkit dari dudukunya di kursi bersama Dewi Dresanala, kemudian menyembah dengan hikmat.

 

Ternyata yang datang adalah Batara Brama, ayah Dewi Dursanala ya mertua Arujuna. Arjuna memanggil dengan pikulun, sebuah sebutan penghormatan hanya dari manusia kepada dewa atau dari dewa ke dewa yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya.
” Hm, sembahmu sudah kuterima”, jawab Batara Brama pendek.

” Pikulun, Ramanda saya juga menghaturkan sembah”, kata dewi Dresanala.
” Ya ya, sembahmu kuterima”.
” Pikulun mohon maaf, ada hal penting apa sehingga pikulun datang sendiri, bukan menyuruh pelayan memanggil hamba ke kediaman pikulun”, kata Arjuna kemudian.

” Ya ya, aku ke sini hanya ingin menengok kalian saja”, kata Batara Brama.
” Bagaimana rasanya tinggal di kayangan ini Arjuna, apa kamu kerasan?”
” Hamba kerasan pikulun. Apalagi saat ini putri paduka sudah mulai mengandung”.

” Ya ya. Syukurlah kalau kamu kerasan tinggal di kayangan ini”, kata Batara Brama.
” Begini Arjuna. Aku mau bertanya sedikit kepadamu”, Batara Brama berhenti sebentar sambil menghela nafas. Arjuna juga bersiap, sebab sepertinya ada hal penting yang akan dibicarakan.

” Menurut kamu isinya hidup ini ada berapa?”, tanya Batara Brama.
” Ada dua pukulun”, jawab Arjuna setelah berfikir sejenak.
” Oh begitu? Tolong dijabarkan”, kata Batara Brama.

” Betul, isinya hidup ini ada dua, ada siang ada malam, ada kecil ada besar, ada senang ada susah dan seterusnya”, Arjuna menjelaskan.
” Ya ya. Kamu bijak. Lalu, apa yang kamu rasakan di hatimu saat ini Arjuna?”, Batara Brama bertanya.
” Hamba sedang senang, bahagia karena Dewi Dresanala sudah mulai mengandung anak hamba”.

” Oh begitu. Ya aku mengerti”, kata Batara Brama.
” Jika demikian, jika harus menerima kesusahan apa kau siap”.
” Siap pikulun, sebab kalau ada senang memang ada susah”

” Syukurlah kalau kamu menyadari, bahwa setelah senang akan datang kesusahan”, kata Batara Brama.
“Begini Arjuna. Sebenarnya aku ini mengawinkan kamu dengan Dresanala itu suatu kesalahan besar. Kamu hanya manusia biasa, tidak selayaknya menikahi anakku. Kamu juga sebagai manusia biasa tidak layak tinggal di Kayangan Deksina ini. Oleh karena itu, tidak usah menunggu waktu, sekarang juga kamu tinggalkan kayangan ini”.

” Duh pikulun, apa kesalahan hamba sehingga mendapat hukuman seperti ini?”, kata Arjuna.
” Bukankah sudah kujelaskan? Tinggalkanlah kayangan ini sebelum aku menjadi marah”.
” Duh, pikulun . . . “, Arjuna tidak bisa berucap lagi. Betapapun dia hanya manusia biasa. Sudah sangat hebat bisa menghuni kayangan beberapa bulan. Jadi kalau sekarang harus meninggalkan kayangan dia tidak berkeberatan. Batara Brama adalah dewanya api, sangat berbahaya kalau dia marah, sebab apinya api akan muncul dari dirinya.

” Bagaimana dengan istri saya, Dewi Dresanala?”
” Sekarang dia bukan istrimu lagi, dia adalah anakku. Maka lupakanlah dia untuk selamanya dari hatimu”
” Duh, pikulun. Ada apa ini? Kok tiba-tiba jadi seperi itu?”, kata Dewi Dresanala yang tak kalah kagetnya. Air matanya tertumpah membasahi pipinya.

” Dresanala. Kamu sudah mendengar apa yang aku sampaikan kepada Arjuna tadi. Arjuna juga berkata sendiri bahwa setelah kesenangan ada kesusahan. Kini tiba giliran kesusahan. Maka jangan kau bersedih anakku”, kata Batara Brama.
” He Arjuna tunggu apa lagi? Segeralah tinggalkan kayangan ini”.

Arjuna kaget, bingung dan takut, maka kemudian katanya terbata-bata.
” Baiklah pikulun, hamba mohon pamit dan mohon restu. Dinda Dresanala, sabarlah. Lupakanlah Arjuna dari hatimu. Ini sudah menjadi kehendak dewa, kita tidak bisa melawan garisnya”.

Arjuna kemudian menghaturkan sembah kepada Batara Brama dan berpamitan kepada Dewi Dresanala. Kemudian dia segera meninggalkan kayangan Argadahana. Hatinya hancur, sedih, pilu, harus meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anaknya. Meninggalkan istri yang sangat dicintainya untuk selamanya; (bersambung minggu depan/ ……………..  (Widartoks 2016; dari grup FB-MKPB Telkom)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close