Nuryati Solapari Mantan TKI ber-Gelar Doktor
Bandung, Kompas.com-Nuryati Solapari (37) berhasil mempertahankan disertasinya “Penerapan Prinsip Keadilan Sosial Bagi Perlindungan Pekerja migran Indonesia Dalam Pemenuhan Hak Menurut Sistem Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”
Dalam sidang guru besar FH Unpad yang dipimpin Dekan Fakultas Hukum Unpad Dr An An Chandrawulan SH LLM, di Bandung (12/8). Sehingga, mantan TKI di Arab Saudi ini meraih gelar Doktor dari FH Unpad Bandung dengan predikat memuaskan.
“Gelar akademik ini saya abdikan untuk para TKI,” kata Nuryati Solapari ketika dihubungi, (13/8/2016). Sidang tersebut antara lain dihadiri oleh ibunda Nuryati, keluarga, dan mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat.
Nuryati yang lahir di Subang, Jawa Barat, 2 Juni 1979 mengisahkan dia menjadi TKI karena untuk mengumpulkan uang guna membiayai kuliah setelah tamat dari SMA. Ia tamat dari SMA Prisma di Kota Serang, Banten, sebagai lulusan terbaik.
Ia jadi pengasuh bayi (babby sitter) pada keluarga di Arab Saudi. Setelah kontrak kerjanya selesai pada 2001 dan uangnya cukup untuk masuk perguruan tinggi, dia kembali ke Tanah Air. Nuryati kuliah di FH Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Serang, Banten. Dalam kuliahnya, dia mengisi waktu bekerja di sebuah restoran siap saji.
Setelah meraih gelar S-1, Nuryati lanjut program pascasarjana S-2 ke FH Universitas Jayabaya, Jakarta. Lulus dari Universitas Jayabaya, Nuryati bekerja sebagai dosen di FH Sultan Ageng Tirtayasa, sembari jadi pekerja sosial dalam memberi advokasi dan pemberdayaan ke calon TKI, mantan TKI, dan keluarga TKI.
Ia lalu ikut program S-3 di FH Unpad hingga meraih Doktor. Nuryati menceritakan suasana haru menyelimuti ketika detik2 Ketua Sidang Dr. An An Chandrawulan menyatakan dia lulus dengan predikat memuaskan. Derai air mata Nuryati tak tertahankan. Ibundanya pun tampak menitikkan air mata haru.
Dalam desertasinya, Nuryati menyatakan terjadi ketidak-adilan bagi pekerja migran di tiap tahapan baik itu pada prapenempatan, masa penempatan dan purna-penempatan. Karena itu, menurut dia, perlu ada bantuan hukum yang difasilitasi negara dalam setiap tahapan itu, bila memang dibutuhkan oleh TKI.
Walaupun dia menyatakan banyak ketidakadilan bagi TKI, namun Nuryati yakin bahwa menghentikan penempatan TKI merupakan kebijakan yang tidak tepat. Karena sebut dia, ini menyangkut hajat hidup yang terjadi di kalangan berpendidikan rendah yang hanya bisa menjual jasanya di luar negeri.
“Negara harus hadir agar mereka bisa bekerja ke luar negeri dengan perlindungan negara” katanya dalam disertasi. Menurut Nuryati, perempuan yang bekerja ke luar negeri tidak melanggar hukum Islam karena kondisi memaksa akibat suami sulit punya pekerjaan atau keluarga miskin. (Erlangga Djumena; Antara dan http://regional.kompas.com/read/xml/2016/08/13/21090001/Nuryati.Solapari.Mantan.TKI.yang.Meraih.Gela)-FatchurR