Pada masa akhir hidup Nabi Muhammad SAW, beliau sempat menunjuk Usamah bin Zaid memimpin pasukan besar menyerang negeri Syam yang saat itu dalam pengaruh Romawi. Pasukan ini disiapkan sebagai kelanjutan perang Mu’tah. Kedua pasukan telah bertempur sengit dengan kerugian besar pada masing2 pasukan.
Sahabat2 utama gugur, termasuk Zaid bin Harits, ayahanda dari Usamah. Keputusan Rasulullah ini mengagetkan para sahabat yang lain, karena usia Usamah saat itu baru 18 tahun! Mereka khawatir akan pengalaman panglima pasukan yang cukup besar ini. Termasuk dalam pasukan ini, Abu Bakar dan Umar.
Tepat ketika pasukan akan bergerak ke Utara, dari markas komando di Jurf, 7.7 km dari Madinah, tersiar berita Rasulullah wafat. Terjadilah kebingungan diantara pasukan. Sebagian sahabat, termasuk Umar menyarankan untuk membatalkan ekspedisi ke Syam ini, Madinah perlu diperkuat, jangan sampai goyah sepeninggal Rasul. Madinah yang lemah akan mengundang musuh2 untuk menyerbu.
Namun segera setelah Abu Bakar dilantik sebagai Khalifah, ia memerintahkan pasukan tidak boleh bubar, bahkan tidak diijinkan meninggalkan Jurf. Abu Bakar yang biasanya lembut, kali ini dengan keras menolak usulan Umar untuk membatalkan serangan ke Syam. Ia juga menolak mengganti Usamah dengan pemimpin yang lebih tua dan berpengalaman.
Abu Bakar, Khalifah, Panglima Tertinggi sendiri pergi ke Jurf mengantarkan pasukan berangkat perang. Ia memohon ke Usamah, panglima yang ditunjuk Rasul, untuk mengijinkan Umar tetap tinggal di Madinah mendampingi Khalifah agar kota itu tidak terlalu lemah. Abu Bakar, sang Khalifah berjalan kaki diatas debu dan pasir melepas pasukan bergerak, ia meminta Usamah tetap duduk diatas kudanya. Pasukan berangkat dengan semangat yang menggelora.
Sejarah kemudian mencatat, keputusan Abu Bakar ini benar, pasukan kembali dengan membawa kemenangan. Namun Umar pun tidak salah, Kabilah-kabilah kecil berusaha mengganggu Madinah namun berhasil diusir oleh pasukan yang ada. ((Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR
