Umar dan putranya (TA 132)
Umar sudah jadi khalifah selama 10 tahun, ada terpikir juga menyiapkan penggantinya. Siapakah yang akan diserahi mandat amanah dan pucuk kendali pemerintahan Islam yang saat itu meluas termasuk Persia dan Masjidil Aqsa.
Ia bimbang dan risau, siapakah yang akan mengurus umat Muhammad SAW sepeninggalnya kelak. Seorang sahabatnya, al-Mughirah bin Subah, kemudian bergeser mendekat. “Akan kutunjukan orang yang paling tepat, wahai Amirul Mukminin”, Mughirah .
Kemudian menarik napas sejenak dan kemudian berkata pelan namun dalam, “Orang itu adalah Abdullah bin Umar”. Mendengar usulan sahabatnya itu, bahu dan dada Umar berguncang dan menggigil, lalu ia hampir berteriak,
“Aku tidak berharap apapun dalam mengurus kepentingan kalian (kaum Muslimin) dan aku tidak bangga atas jabatan khalifah ini. Tidak. Sehingga aku berambisi menyerahkannya kepada seorang keluargaku. Bila aku mengemban tugas ini dengan baik, maka aku ikut dapat pahalanya. Tetapi, bila tugas itu buruk, cukup aku saja yang akan mempertanggung jawabkan di akhirat kelak”.
“Aku melarang keluargaku untuk ikut dan menikmati jabatan khalifah ini. Bila kelak atas jabatan ini aku selamat atas penghisaban Allah dan tidak dapat pahalapun, aku sudah sangat bahagia”.
Mungkin Mughirah benar. Calon terbaik saat itu adalah Abdullah bin Umar. Ia sahabat terkemuka. Ia menjadi tauladan atas kewara’an, kezuhudan dan ketaqwaan. Ia mengikuti jejak ayahnya. Tidak ada keburukan atas tindakan-tindakannya.
Andaikata saat itu Umar menerima saran sahabatnya itu, sejarah Islam mungkin akan berbeda, namun sudah menjadi takdir, pengganti Khalifah Umar bukan anaknya. Namun kelak cicit Umar yang juga bernama Umar, menjadi Khalifah yang terkenal dan mengemban tugasnya dengan sangat baik.
(Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR