Adab memberi nasihat (TA 168)
Salah satu ustadz yang pengajiannya sering saya ikuti, pengajar di IAIN Sunan Kalijaga, ia juga membimbing mahasiswa S3. Ketika mengupas tafsir ayat2 Al Qur’an dilakukan lengkap dan luas termasuk latar belakang bahasa Arabnya. Bahasa Inggrisnya lancar, karena ia pernah belajar ilmu di negerinya Madame Thatcher.
Pengetahuannya luas, ia bisa bicara tentang kecepatan TGV atau Shinkansen sampai kecepatan F16 versi Madiun dan versi yang dipakai pilot AS saat melintas di Selat Lombok. Pak Ustadz yang belum terlalu tua ini bisa bicara sejarah Persia sampai sejarah Kumpeni (Company) di Indonesia.
Sering menjadi Khotib shalat Jum’at, shalat Ied, atau pembicara dalam Tauziah di mushola yang pendengarnya hanya belasan. Baginya membagikan ilmu adalah amalan yang tidak tergantung jumlah jema’ahnya, bahkan bila hanya seorangpun yang hadir, ia akan bertauziah.
Murid, menurut beliau berarti yang menghendaki, dari asal kata murad, yang dikehendaki (ilmu), jadi untuk menghormati pencari ilmu beliau tetap mengajar, walaupun hanya seorang pendengarnya. Anehnya, setiap pengajian, sebagai pembicara, ia juga nyumbang ke kencleng yang disediakan.
Sebagai orang Jogja, beliau santun. Bila beda pendapat dengan ulama lain, dipilih kata yang baik dalam menyatakan pendapatnya yang berbeda. Menurutnya memberi nasihat orang itu sulit, sering tidak sampai hati, mengeluarkan kata nyangkut di tenggorokan, takut yang diberi nasihat tersinggung.
Sebaliknya yang diberi nasihat hendaknya bersyukur, berterima kasih masih ada yang memberi nasihat. Ia harusnya menghormati nasihat orang lain, karena untuk memberi nasihat, orang sudah bersusah payah dan melalui banyak pertimbangan. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR