Pengalaman Anggota

Menjemput maut (TA 169)

Tulisan saya ini agak sensitif, seribu maaf bagi yang tidak berkenan, delete saja. Se-mata2 cerita pengalaman pribadi dan terus terang belum saya temukan tuntunan agamanya. Dokter Ahmad (samaran) tiba2 tanya ke istri saya, yang tergolek di ICU beberapa lama setelah ber-tahun2 berjuang untuk kesembuhannya,
“Ibu mau dimana nanti menunggunya (maksudnya menghembuskan nafas terakhir)? Di rumah atau di rumah sakit”, saya kaget, tapi istri saya langsung menjawab tanpa berpikir panjang, “Di rumah sakit”, saya maklum, berulang kali saya merawatnya di rumah dan dia tahu bagaimana repotnya.
Belum hilang rasa terkejut saya, dokter yang alim itu menoleh kearah saya, “Bapak harus bersyukur, Ibu sakitnya lama, sehingga Bapak bisa mempersiapkan diri sebaik-baiknya”.

Kata2 dokter itu seakan aliran setrum yang menyengat. Selama ini saya tidak berpikir kearah sana. Semua terfokus ke usaha penyembuhan. Belum ada pikiran bagaimana kalau dia wafat dan terlebih-lebih bagaimana persiapan pemulasaran jenazahnya.

 

Saya sangat berharap dia sembuh, bahkan, maaf, saya siap bila dia tetap hidup walau terus berbaring ditempat tidur. Apa yang dikatakan dokter itu benar, itu bagian dari manajemen resiko. Segera saya susun run-down yang harus dilakukan dalam secarik kertas, hal2 yang harus dilakukan bila ia meninggal. Saya panggil Anno, yang jaga di rumah.

Anno dan saya berbicara dibibir teras di lantai atas rumah sakit. Dia kaget, ketika saya tunjukan daftar 18 hal yang harus dia lakukan, “Bapak kok begitu sih? Ibu kan harus sembuh?”. Ia semula enggan, tapi akhirnya ia mau mendengar instruksi saya.
“Begitu kamu menerima telepon ibu tidak ada, kamu lakukan semua ini”. Kemudian saya jelaskan satu persatu. Mulai menelepon siapa, menghubungi RT, sewa tenda, sewa kursi, meja jenazah dan semua sampai detail. Sobekan kertas itu lantas saya serahkan dia.

Saya juga menelepon 2 sahabat dekat saya, juga saya berikan daftar tugas yang kelak mereka harus lakukan, seperti a.l. sewa bus, sewa truck, siapa2 yang ditelepon dll. Untungnya ke-2nya mengangguk tanpa banyak bertanya. Saya pesankan kepada mereka, semua biaya tolong ditalangi terlebih dahulu.

Ternyata apa saya yang lakukan sungguh sangat bermanfaat. Saya betul-betul terbebas dari urusan penyelenggaraan jenazah yang sangat lancar, sehingga saya dapat tetap menerima pelayat atau menunggui jenazah sampai ke acara pemakamannya.

Untungnya istri saya yang sekarang sangat terbuka dan menurutnya pembahasan masalah kematian itu bukan suatu yang harus dihindari dan dia mendesak ada run-down serupa. Ia langsung membuat daftar “tugas”, bila sendiri ia wafat, malah jauh lebih rinci dari daftar saya dahulu.

 

Siapapun dapat melaksanakan tugas itu, karena jelas tertulis apa dan siapa yang dihubungi lengkap dengan nomor teleponnya. Orang mau pesta pernikahan yang jadwalnya sudah direncanakan saja, membikin run-down, apalagi yang mau meninggal, jadwalnya sewaktu-waktu bisa terjadi.

Akan halnya dengan saya, terus terang justru saya sendiri, entah mengapa masih enggan. Sampai saat ini sama sekali belum ada mood untuk menyusun itu. Padahal istri saya sudah mendesak, umur Bapak sudah 70 lho? (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close