Psikologi

Dagang lebih bernilai

Hakikat perniagaan di negeri ini saya gambarkan dalam cerita pengusaha kecil yang punya produk, katakan keripik ubi. Untuk dapat masuk ke supermarket besar, produk ini harus lewat uji-saring ketat, dari kualitas hingga kemasan. Akhirnya ia diterima, terpampang tersembunyi di salah satu sudut raknya.

Tapi sistem pembayaran keripik ubi itu konsinyasi; 3 bulan dipajang baru dihitung yang laku. Laporan bisa diambil sekaligus sisa barang. Lalu pembayaran tunai diterima se-cepat2nya sebulan kemudian. Tapi kalau si pemilik usaha kecil ubi ini saat menyetor dagangan hendak beli beras atau gula di supermarket itu, bisakah ia minta dihitung nanti dari hasil dagangannya? Tidak. Dia harus tunai.

Ini tata ekonomi, orang miskin membiayai orang kaya. Pemilik usaha kecil menopang bisnisĀ  pemodal besar supermarket. Maka kita selalu bahagia pergi ke pasar tradisional, karena kita temukan nilai2 yang mahal. Saking mahalnya, 500 orang terkaya di dunia versi Forbes bersekutu takkan sanggup membelinya.

Tempo hari, terlihat di Pasar Prawirotaman Yogya, seorang ibu penjual bawang merah dan putih asyik mengupasi sebagian dagangan yang keriput kulitnya. Tak banyak yang disandingnya, hanya setampah kecil. Lalu seorang lelaki muda, sambil senyum ke sana kemari menjajakan pisang satu lirang, yang dilihat keadaannya akan bagus kalau dimakan hari ini segera. Besok tidak.

Dan tetap asyik dengan pisaunya, sang ibu mendongak, lalu dengan tawa ringan yang memamerkan giginya, “Tolong pisangnya gantungkan di cantelan motorku itu ya Dik, ini uangnya ambil ke sini.” “Ya Mbak, lima ribu saja buat Njenengan.”

Ketika si Mas usai menaruh pisang, sang ibu menyumpalkan tiga uang lima ribuan ke tas plastik si Mas yang berisi jajanan ketika dia mendekat. Semula lelaki itu tak menyadarinya, tapi setelah berjalan beberapa langkah dia kembali. “Weh, kebanyakan Mbak”, katanya.

“Tidak apa2, buat jajan anakmu Dik. Lagipula pisang segini banyak ya ndak mungkin 5000.”
“Ndak, segitu harganya Mbak. Jajannya juga sudah ada kok.” Lalu uang itu dikembalikan. Tak mau kalah, Si Ibu segera menyusul Si Mas yang berlari. Memasukkan lagi uang lebihan 10.000 itu ke tas plastiknya. Si Mas senyum geleng2 kepala. Lalu dengan penuh kesopanan, dia pamit pergi.

Siang hari ketika si Ibu hendak pulang, seorang pedagang bakso menghampirinya. “Ini mbak, baksonya.”
“Lho saya tidak pesan itu?”
“Lha tadi Mase penjual pisang yang memesankan itu. Terus dia bilang diracik sama ngasihkannya nanti saja kalau Njenengan mau pulang.”

“O Allah… Rejeki. Sembah nuwun Gustiiii…”
Adakah anda temukan di tempat belanja orang berebut membahagiakan sesama seperti ini? Mungkin sesekali kita perlu ke pasar yang anda lihat becek dan sumpek itu. Sebab di sana ada yang tak dapat dibeli dengan harta, tapi dapat dirasakan mengaliri hati dengan sejuta haru dan makna.

 

(Djohan Noor; dari grup WA-78; sumber dari @salimafillah ; http://www.jamilazzaini.com/hakikat-berdagang-yang-lebih-bernilai/)-FR

http://www.jamilazzaini.com/hakikat-berdagang-yang-lebih-bernilai/)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close