Psikologi

Mental bukan Gelar

(Dari Prof Dermawan Wibisono; TI 84, dosen SBM ITB)-Saat dapat beasiswa ke Australia 1995, mahasiswa Indonesia diinapkan 3 malam di rumah penduduk di perkampungan untuk meredam shock culture yang dihadapi.

Saya dengan kawan dari Thailand menginap di Balarat, di peternakan Ausie yang tinggal suami istri bersama anak tunggalnya. Luas peternakannya kira2 sekecamatan Arcamanik. Jumlah sapi dan domba, ratusan. Pemliknya tak tahu pasti, karena tak pernah menghitung dan sulit memastikan dengan eksak.

Suatu sore saya terlibat perbincangan dengan anak tunggalnya di pelataran rumah di musim panas yang panjang, di bulan Januari 1995. Aussie: “Why so many people form your country take a PhD and Master degree here?”

Saya:  “Why not? Your country give a grant, not loan, for us? So, it is golden opportunity for us to get higher degree. Why you just finish your education at Diploma level, even it is free for Aussie to take higher degree?

Aussie: ” I don’t need that degree, my goal is just to get a skill how to make our business broader. Now I am starting my own business in textile and convection, so I just need the technique to produce it, not to get any rubbish degree ”

Dua puluh tahun kemudian saya termenung, berusaha mencerna fenomena yang terjadi di negeri ini. Banyak orang ter-gila2 pada gelar doktor, profesor, sama seperti tahun 1970an ketika banyak orang tergila-gila pada gelar ningrat RM, RP, GKRH.
Orang yang berusaha dapat gelar itu tak terlalu paham dengan substansi yang dikandung dalam gelar yang diisandang. Pernah dengan iseng kutanya ke supervisorku di Inggris, saat mengambil PhD: ” Why don’t you take a professor?” tanya saya lugu kepada supervisorku yang belum profesor padahal Doktornya cumlaude dan sudah membimbing 10 doktor baru.

Dengan serta merta ditariknya tangan kanan saya. Ditatapnya mata saya tajam-tajam.
“Look,” katanya dengan muka serius:
” Professor is not a status symbol or level in expertise, but professor is mentality, is a spirit, is a way of life, is a wisdom, so get it, is just the matter of time if you have ready for all requirements… But have you ready with the consequence of it?”

Dan profesor saya lebih cepat, saya dapatkan dari pembimbing saya yang arif dan bijaksana itu. Merenungi dua kejadian itu, semakin saya sadari, bahwa Indonesia memiliki segala sumber daya untuk maju, tapi mentality lah yang menjadi kendala utama.

Social sciences dan social behaviour menjadi hal terpenting dalam study yang harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan IQ, EQ dan SQ yang tinggi. Dan celakanya, sudah lama kadung diyakini di sini bahwa ilmu eksakta lebih sulit dari pada non exacta.

 

Dan persyaratan masuk jurusan non exacta yang di Australia butuh IELTS 7.5 dibandingkan dengan engineering yang hanya butuh 6.0, berbanding terbalik dengan yang diterapkan di sini. Akibatnya, negara menjadi amburadul karena yang banyak mengatur negara dan pemerintahan bukanlah orang yang memilki kemampuan untuk itu.

Dari mana mesti mulai membenahi hal ini? Pendidikan dasar dan Pendidikan Tinggi. Seperti Finlandia yang pendidikannya terbaik di dunia. Guru2nya profesi terhormat dengan pemenuhan kebutuhan diri cukup. Jadi guru didapatkan dari the best of class dari level pendidikan yang ditempuh. Sehingga penduduk Finlandia hampir 100% memiliki degree Master. Bukan didapatkan dari pilihan kedua, pilihan ketiga, atau daripada tidak bekerja.

Melihat acara Kick Andy beberapa hari lalu: Nelson Tansu dan Basuki, sebagai tamu undangan, adalah contoh konkrit, dua orang expert Indonesia yang qualified yang bekerja di negara USA dan Swedia, dan mereka tergabung dalam 800 orang expert Indonesia yang diakui di luar negeri dan bekerja di luar negeri.

 

Artinya Indonesia bisa, Indonesia memiliki kemampuan. Yang menjadi masalah adalah how to manage them in Indonesia environment? How we arrange them, how to make synergy between government, industry, university to bring Indonesia together to be world class?

Melihat management pemerintahan yang amburadul?
Tidak usah susah-susah menganalisis dengan integral lipat tiga segala. Lihat saja satu spek sederhana: gaji Presiden yang 62.5 juta dan gaji menteri yang 32.5 juta dibandingkan dengan gaji direktur BUMN dan lembaga keuangan yang mencapai lebih dari 100 juta per bulan, itu sudah kasat mata, bahwa menentukan gaji saja sudah tidak memperhatikan: range of responsibility, authority, impact to the Indonesia society, dan sebagainya, apalagi menentukan yang lain. Semua asal copy paste dari luar tanpa melihat esensi yang dikandungnya.

Aku termenung, mengingat pembicaranku dengan ayahanda saat kelulusanku dulu 26 tahun yang lalu. Kepada beliau kuutarakan niatku untuk merantau ke luar negeri, dan apa jawab beliau:  “Tidak usah pergi, kalau semua anak Indonesia yang pintar ke luar negeri, siapa nanti yang akan mendidik orang Indonesa sendiri?”

Kini aku tergulung dalam idealisme, aktualisasi diri, dan kepatuhanku kepada orang tua.

Hal yang paling kutakuti dalam hidup adalah jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak sidiq, amanah, tabliq, fathonah. Dan terutama dipimpin oleh orang yang tidak lebih pandai, sehingga semuanya jadi kacau. Dan kekacauan terjadi di mana-mana, dalam berbagai level.

(Renungan dan kegusaran seorang prof ITB dikirimkan oleh Prasetya B. Utama-dari grup WA-BPTg; sumber https://lampungsai.com/serba-serbi/yang-penting-mental-bukan-gelar-dari-prof-dermawan-wibisono-ti-84-dosen-sbm-itb/)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close