Wayang Gatutkaca(6)-Vila sigala gala
// Pengantar. Espisode ini, cerita wayangnya digubah dengan gaya kekinian, harap maklum //
Alkisah : Sebagai terusan cerita, ketika raja Hastina Pura sebelumnya, yaitu Pandu Dewanata meninggal, pewaris tahtanya putra tertuanya: Puntadewa.
Saat itu Puntadewa belum dewasa, maka belum bisa diangkat. Sementara menunggu Puntadewa dewasa, maka kekuasaan kerajaan Astina dititipkan dan dipegang oleh Destarastra, kakak dari Pandu. Sayangnya pula Destarastra ini terlahir buta, jadi tidak bisa menjalankan tugas sebagai raja seutuhnya.
Ketika Astina diperintah Destarastra, rakyat hidup menderita. Ini karena pemerintahan praktis dipegang Dewi Gendari yang istri Destarastra dan Patih Sengkuni adik dari Dewi Gendari. Mereka ber-foya2 daripada membangun kerajaan yang adil makmur.
Anak2nya, yaitu Kurawa 100 jadi ana2 manja dan kurang dalam ilmu kepemimpinan, manajemen pemerintahan, dan ilmu kesaktian dan ilmu keprajuritan. Mereka lebih senang impor barang2 dan hasil pertanian dari negara lain, dibanding berusaha kuat dan mandiri dalam pertanian seperti dicanangkan leluhurnya puluhan tahun sebelumnya.
Dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Negara, tahap pertama negara harus mandiri di bidang pertanian. Lanjut dunia indistri, itupun tahap awalnya industri pertanian, baru ke industri lain. Setelah pertanian kuat dan swasembada pangan (termasuk perikanan-peternaka-kehutanan), tidak ada impor barang pertainan (termasuk perikanan-peternakan), barulah industri lain digarap.
Mereka Kurawa, bisa hidup foya2 sebab dapat upeti dari saudagar2. Para saudagar ini mempengaruhi kebijakan punggawa Astina. Tak heran pertanian-peternakan-perkebunan-kehutanan yang didukung alam luas dan subur penuh potensi tanaman asli (plasma nutfah) yang sangat banyak.
Unik, tidak dimiliki negara lain, juga sektor perikanan yang alamnya berupa sungai, danau dan laut luas penuh ikan, jadi tidak maju, sebab kebijakan berpihak ke petani, peternak dan nelayan, diganjal saudagar. Maka jika panen raya harga jatuh, jika gagal panen mereka menderita. Banyak petani dan nelayan beralih profesi jadi buruh di berbagai sektor, termasuk menjadi sopir (termasuk ojeg).
Hal ini petensial menurunkan kemampuan swasembada pertanian / perkebunan dan perikanan. Para saudagar ini mempengaruhi kebijakan di bidang lain, seperti pertambangan, industri, keuangan, penegakan keadialan. Di bidang penegakan keadilan, hukum sering dibeli dengan uang.
Untung Hastina ini kaya hasil alamnya. Entahlah kalau sumberdaya alam sudah habis, bagaimana nasib negara ini. Maka pada saat itu rakyat Hastina Pura banyak berdoa agar negara segera kembali ke jaman kejayaan, jaman diperintah oleh Pandu Dewanata, yang memerintah dengan sangat bijaksana.
Setelah Pandawa dewasa, tahta kerajaan diserahkan dari Destarastra ke Puntadewa sebagai anak tertua Pandu. Patih Sengkuni dan Kurawa yang tahu pewaris tahta anak2 Pandu, mereka benci ke para putra Pandu (Pandawa Lima). Kalau ada kesempatan, kalau perlu mereka ingin singkirkan Pandawa.
Saat Kurawa dan Pandawa dianggap menginjak masa dewasa, Sengkuni membuat pesta penyambutan kedewasaan Kurawa dan Pandawa. Puntadewa dan Pandawa yang diundang menyambut gembira acara ini, dengan harapan setelah dianggap dewasa, kekuasaan akan diserahkan ke Puntadewa.
Pesta penyambutan kedewasaan itu diadakan jauh dari istana Hastina Pura, di kawasan nan asri yang dipenuhi rumah vila. Vila2 itu baru dan dibuat bagus2 dengan bahan dari kayu pilihan sehingga nyaman ditinggali. Masing2 vila diberi nama indah. Pembuatnyapun arsitek nomor wahid di negara Hastina.
Berbagai seni tari seluruh penjuru negara didatangkan, ada wayang kulit semalam suntuk, ada wayang golek dalang ternama, orkes keroncong, orkes melayu, dangdut, band, sampai musik jazz, ada pula layar tancap ber-“sound system” stereo dan “full soround”. Semua hiburan itu versi jaman wayang. Banyak penjual makanan, minuman dan mainan cari rejeki di tengah keramaian ini.
Kurawa yang terdiri dari 100 orang menempati vila2, Pandawa plus ibunya, Dewi Kunti di vila dari kayu nan cantik : Vila Sigala-gala. Vila itu bahasa Jawa atau Sunda adalah bale dan bahasa Indonesia balai artinya rumah. Ada istilah Bale Kambang (rumah terapung), Bale Somah (rumah tangga); Bale Endah, ada pula Balai Kota; Balairung, dsb. Jadi Vila Sigala-gala bisa disebut Bale Sigala-gala / Balai Sigala-gala.
Acara penyambutan kedewasaan itu beberapa hari. Suatu hari serombongan orang kampung datang ke vila yang ditempati Kurawa. Mereka rakyat yang kena gusur pembangunan tanpa dapat ganti rugi layak, bahkan ada yang tidak dapat ganti rugi sama sekali, padahal sudah berSertifikat (SHM) dan bayar pajak PBB rutin tiap tahun atas tanah dan rumahnya itu.
Di siang itu mereka minta makanan dan minuman yang disediakan untuk Kurawa yang melimpah ruah. Kedatangan mereka diusir petugas keamanan Kurawa karena mengganggu pesta saja. Mereka ke vila yang ditempati Pandawa.
Sesampai di vila Pandawa yaitu Vila Sigala Gala sudah sore. Mereka utarakan maksudnya, ingin minta makan dan minum. Puntadewa / Samiaji menerima mereka. Mereka diajak masuk vila, ke ruang makan dan makan bersama Pandawa. Mereka terdiri 6 orang. Ada yang berbadan besar dan kecil. Pandawa dan tamu2 menikmati makan malam bersama, sebab sudah waktunya untuk makan malam.
Mereka menikmati lahap hidangan makan malam, sebab siangnya Pandawa ikut pertandingan dan permainan, para tamu dari pagi belum makan. Mereka semua, Pandawa, Kunti dan tamu2 makan dengan lahap, kecuali Bima tidak ikut makan dan minum. Dia berada di kamar kecil, karena perutnya sakit dan melilit, ingin ke belakang dan sudah tidak bisa ditahan lagi.
Lama Bima di toilet. Setelah Bima plong, dia keluar dan mau bergabung dengan saudara2nya, ibunya dan tamu. Betapa terkejut Bima, karena semua yang ada di situ sudah ‘teler’, mabuk, tidak seorangpun sadar. “Lho, kok teler semua? Ini akibatnya orang suka minum2an keras berlebihan”, kata Bima dalam hati. Satu persatu di-goyang2 badannya, tidak ada yang bangun. Dari mulut mereka keluar busa.
” Ada yang tidak beres. Ini pasti keracunan”, begitu pikir Bima. Belum hilang kebingungan Bima, tiba2 dari bagian vila kanan muncul api, pertanda ada kebakaran. Belum sempat memeriksa sumber api, di bagian depan vila muncul api nan besar, lalu sebelah kiri dan disusul bagian belakang vila juga terbakar.
” Wah, pasti vila ini sengaja dibakar”, katanya dalam hati. Bima yang berbadan besar, lebih besar dari orang besar umumnya, menggendong ibu dan ke-4 saudaranya. Tamu yang 6 orang tidak bisa digapai lagi sebab pundak kiri-kanan dan kedua tangan Bima dipenuhi badan ibu dan saudara2nya yang lemas seperti orang mati tersebut.
Bima bingung, ke depan ditunggu api, ke belakang, ke kiri dan ke kanan api besar yang menjilat-jilat menunggu. Dengan menggendong lima orang, Bima kebingungan ke sana kemari, sementara api semakin membesar dan bagian vila di sana-sini sudah mulai rubuh dengan api dan bara yang menyala.
Dalam kepanikan Bima, tiba2 seorang pelayan memanggil Bima dan mengajak ke bagian bawah vila. Ternyata vila ini punya pintu rahasia ke bawah tanah yang hanya pelayan itu yang tahu. Bima mengikuti pelayan itu masuk ke lorong bawah tanah yang makin menurun dan menurun. Tiba2 mereka terperosok ke sebuah lubang.
Bima bingung dan tidak bisa berbuat apa2, badannya meluncur, merosot tanpa bisa menahannya. Anehnya lubang itu seperti kaos kaki yang besar, seperti luncuran darurat di gedung bertingkat. Bima, saudara dan ibunya meluncur terus ke bawah dan di dalam kegelapan.
Ajaib, setelah sekian lama meluncur, di kedalaman beberapa puluh meter dari permukaan tanah, mereka berhenti. Ketika keluar dari ‘prosotan darurat’ itu, mereka menemukan lorong yang besar dan ada rel-nya.
Itu artinya mereka menemukan jalur KA bawah tanah. Tak lama, dari kejauhan ada KA lewat, Bima dan pelayan tadi menyetop KA dan ternyata mau berhenti. Bima masuk KA bersama pelayan tadi, tentunya keempat saudara dan ibunya juga dibawa masuk. Kereta kemudian berjalan kembali.
Cukup lama kereta itu berjalan dengan kecepatan tinggi, akhirnya sampai di suatu stasiun bawah tanah yang terang benderang dan ramai. Pelayan tadi menjelaskan mereka berada di stasiun di sebuah kota bawah tanah bernama Sapta Pertala.
Kalau di Jepang, Inggris atau Rusia stasiun bawah tanah punya rel susun 3 ke bawah tanah, di Sapta Pertala –Sapta artinya tujuh dan Pertala atau Pratala artinya bumi– rel-nya susun 7, artinya di bawah permukaan tanah ada rel, di bawahnya lagi ada rel lain, dibawahnya lagi ada rel lain, sampai ada tujuh jenjang rel di bawah tanah.
Karena Bima bawa lima orang keracunan berat dan harus ditolong, maka petugas KA bawah tanah yang tahu keadaan mereka lalu dengan mobil membawa Bima, ibu dan sudaranya ke dokter terkenal yang tak lain penguasa Sapta Pertala : Antaboga (Sang Hyang Antaboga) yang juga dokter ahli racun.
Ber-hari2 Samiaji, Permadi, Pinten, Tangsen dan Kunti dirawat di RS oleh Antaboga dibantu anak perempuan bernama Nagagini, dan perawat2 dan paramedis. Bima yang sehat bersama Nagagini tiap hari bahu-membahu merawat Kunti dan saudara2nya, dari menyuap makan dan minum, me-lap basah.
Juga mengingatkan makan obat dan ganti infus. Lama2 Kunti dan para Pandawa sembuh. Bersamaan dengan itu hari demi hari, Bima dan Nagagini makin akrab dan secara tidak disadari benih cinta tumbuh diantara mereka berdua . Singkat cerita, Kunti dan Pandawa sembuh, Bima dikawinkan dengan Nagagini dengan pesta sederhana, disaksikan kerabat Pandawa, Kunti dan rakyat Sapta Pertala.
Beberapa bulan kemudian Pandawa dan Kunti pamit mau pulang ke dunia atas tanah, karena banyak tugas kemanusiaan yang harus dilakukan, termasuk merebut kembali Astina dari tangan Kurawa, yang menjadi haknya. Nagagini yang telah mulai hamil ditinggal di Sapta Pertala.
Menurut perhitungan Pandawa, pasti Kurawa sengaja meracuninya dan membakar Vila Sigala Gala bersama Pandawa. Hal ini dibenarkan pelayan yang menyelamatkan Bima dan saudaranya itu. Ternyata dia intel. Dia anak buah Widura, paman pandawa dan kurawa. Bersambung Jum’at depan…..; (Widartoks 2017; dari grup FB-ILP)- FR