Pengalaman Anggota

Kuliner-Di mana letak enaknya teh?

Kemarin, saya minum teh. Kali ini teh impor, maaf sedikti pamer, maksudnya oleh2 dari saudara yang bepergian ke negara yang punya budaya minum teh. Saudara saya ini, bukan orang kaya yang banyak uangnya lalu jalan-jalan ke sana, dia seorang guru.

 

Hanya keberuntungan saja, istilah kawan saya “rejeki anak soleh”, kebetulan siswanya ikut lomba ke negara itu dan saudara saya mendapat tugas untuk mendampingi. Kesempatan yang mungkin dimimpikanpun tidak.

Nah, teh itu seperti “teh baik” lainnya dibuat dari pucuk daun pilihan, seperti yang ada di iklan TV. Rasanya? Seperti yang pernah saya rasakan sebelumnya, ya tidak cocok di lidah saya. Padahal saya yakin banyak orang mengatakan ini teh baik, bukan KW, pilihan dst. Lha kok saya tidak cocok? Ini soal rasa, soal yang kadang sangat pribadi. Anda malah bingung? Begini ceritanya.

Menurut saya, rasa enak itu pada dasarnya ada 3 : manis, gurih, asin. Buktinya bayi suka 3 rasa itu, kalau dikasih langsung mau. Coba dikasih pedas? Bayi mengangis kepedesan. Dikasih asam, bayi akan cengar-cengir menahan rasa asam. Dikasih pahit, bayi menolak juga, maka banyak ibu menggunakan barang pahit (misalnya brotowali, paria) ketika berusaha menghentikan anaknya yang 2 tahun untuk berhenti menyusu.

Rasa asam, pahit, pedas itu melalui “doktrin”, latihan lama baru bisa dikatakan enak oleh penikmatnya. Itu gambaran umum tentang rasa. Sekarang kita bahas tentang rasa teh.

Tanaman teh itu asal muasalnya dari negara lain, tanaman pendatang. Kemudian dikebunkan oleh Pemerintah penjajah. Untuk apa? Ya untuk diekspor dan penghasil devisa. Teh ditanam di daerah dingin: Puncak dan Bogor, sekitar Bandung, Wososobo, wilayah Tegal lereng gunung Slamet dsb. Tentu warga pribumi yang jadi petaninya, pemetik tehnya, pekerja pabriknya.

Seperti yang ada di iklan TV, maka ibu2 memetik pucuk daun teh, lalu diproses jadi teh kering, berwarna hijau (disebut teh hijau), warna hitam (teh hitam) dsb. Bagaimana dengan pekerja dan pemetik teh? Ya tidak bisa ikut minum, sebab semua dieskpor. Kecuali disisakan untuk diminum Tuan-Nyonya Belanda.

Dalam memetik teh itu, kadang terikut daun yang agak tua dan ranting teh yang agak besar. Maka kemudian para pekerja mengambil pucuk tehnya saja (bisa daun dan tangkai tapi yang di ujung, ada pula yang daunnya saja, yang muda) untuk diproses sebagai bahan ekspor.

 

Mereka membawa daun sisa dan ranting yang tidak terpakai ini ke rumahnya. Di rumah lalu diseduh seperti Tuan dan Nyonya Belanda menyeduh pucuk daun teh itu.

Lama-lama menyeduh daun dan ranting teh ini pemakainya meluas dan menjadi kebiasaan. Maka kini para pribumi ikut meminum teh, namun bukan pucuknya, tetapi daun dan rantingnya saja. Apa ada bedanya dengan pucuk teh? Jelas ada. Di pucuk daun tidak ada rasa sepet.

 

Di daun yang lebih tua dan ranting agak tua juga itu ada rasa sepetnya. Karena kebiasaan, maka lama-lama orang pribumi (maksudnya bukan Tuan dan Nyonya Belanda), termasuk saya, menganggap teh yang enak itu ya yang ada rasa sepetnya. Kalau tidak ada rasa sepet, malah tidak nikmat.

Jadi, saya kurang cocok, teh dari negara lain dan lokal yang hanya pucuk daun, sebab tidak ada sepetnya. Itu soal rasa sepet dan tidak sepet. Sekarang soal pemakaian gula di minuman teh. Khususnya saat minum teh pagi hari dan atau sore “resmi” minum teh. Ini tidak lepas dari sejarah dan soal kebiasaan.

Pemerintah Belanda, dulu, banyak membuka perkebunan teh di Jabar. Di Jateng dan Jatim, banyak didirikan pabrik gula dan perkebunan tebu. Maka di Jateng dan Jatim, hasil gula pasirnya melimpah. Rakyat jadi terbiasa minum manis karena ditambah gula pasir.

 

Ini berbeda dengan di Jabar, sebab di daerah ini kurang pabrik gulanya. Ingat jaman dulu transportasi masih sulit, membawa gula pasir ke Jabar dari Jateng bukan perkara mudah. Maka orang Jateng-Jatim terbiasa dan suka minum manis, sedang rakyat Jawa Barat kurang suka.

 

Orang Jabar lebih suka minum teh tidak manis. Kalau di Jateng, terkenal istilah minum teh “nasgitel”, “panas, legi kentel”, artinya panas, manis dan kental. Manisnya juga manis beneran. Di banyak keluarga, termasuk keluarga saya, terbiasa minum teh tubruk namun dengan gula sedikit, agak manis saja, bahasa Jawanya “tebeng”. Tidak terlalu manis.

Kalau aroma lain ceritanya. Tapi sudah panjang ya tulisan saya, jadi tidak usah dibahas. Yang jelas bunga melati di teh itu menambah aroma wangi, namun menurut saya merusak rasa teh. Jadi saya tidak suka kalau banyak bunga melatinya. Ada pula wangi entah wangi apa, yang membuat saya kurang suka. Maka kalau ada teh ini, dibuka dulu bungkusnya dan dibiarkan agar aromanya hilang. Tapi ini soal selera.

Bagaimna dengan anda? Suka yang rasa pucuk teh atau daun dan ranting yang ada rasa sepetnya? Suka yang panas-manis-kental, sedikit manis atau tidak manis? Suka wangi atau tidak wangi? Yang jelas, anda suka minuman teh juga bukan? Semoga. (Widartoks 2017; dari grup FB-ILP)- FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close