Pengalaman Anggota

Klinik Rimbun itu (FE 104)

Pintu menuju ke kamar operasi itu akhirnya terbuka dan seorang perawat wanita yang hampir seluruh tubuhnya terbungkus baju hijau tua mengeluarkan setengah badannya sambil bertanya kepada saya:

 

“Keluarga pasien mau melihat operasi? Silahkan masuk. Lewat pintu sana pak.”, katanya sambil menunjuk ke pintu lain sebelah selatan. Saya segera bangkit meninggalkan anak saya yang masih tekun terus menerus membaca surat Yasin sambung menyambung dari kitab Al Qur’an yang terbungkus kain berwarna pink berenda.

 

Dibalik pintu yang saya lewati, ternyata ada beberapa bilik kecil berjajar. Ada bilik ruang makan para dokter, terlihat dari bekas2nya di atas meja, nasi kotak. Kemudian sebuah ruangan kecil dan akhirnya sebuah ruangan sangat kecil berisi rak baju operasi dan gantungan tempat mencantolkan pakaian ganti.

 

Saya dipersilahkan mengambil pasangan celana dan baju yang masih terlipat rapi yang berwarna hijau tua. Perawat memberikan tutup mulut-hidung dan penutup kepala yang juga berwarna hijau. Setelah itu kepada saya diberikan sandal dan barulah saya dipersilahkan masuk ke ruang operasi.

 

Beberapa dokter tampak merubung tubuh istri saya yang tidak nampak, karena terbungkus kain penutup berwarna hijau, mestinya ia tengkurap, karena punggungnya yang akan dioperasi.  Lampu-lampu sorot menerangi tubuh pasien. Sebuah lampu yang bertangkai flexible tampak menyorot persis di bagian tubuh yang akan dioperasi.

 

Sebuah layar Televisi besar terpampang diatas. Pada layar tampak menyolok warna daging berurat-urat putih, basah oleh cairan, lender dan darah, kemudian Dokter Adam, yang memimpin operasi menoleh kearah saya sambil menunjuk ke sebuah potongan yang berwana putih, sangat menonjol tampak pada layar besar diantara warna daging dan darah merah.

 

“Tulang inilah yang akan kita potong”, suaranya dibalik bungkus yang menutup mulutnya. Suaranya tidak terlalu jelas terdengar.

 

“Inilah syaraf-syaraf yang dibebaskan dari tekanang tulang”, katanya lagi, sambil meyibakan dengan sebuah logam serupa sumpit, saya tidak bisa membedakan mana yang disibak dan mana yang tetap, semua berwarna merah, tapi saya mengangguk saja.

 

Dokter yang trampil itu masih menerangkan prosedur2 yang akan dilakukan oleh tim operasi, tapi saya tidak mampu mendengarnya dengan jelas. Semua dijelaskan dengan lumayan panjang, akhirnya ia menawarkan, “Ada pertanyaan ?”. Saya menggeleng saja, sambil mengangkat kedua tangan mempersilahkan mereka bekerja.

 

Saya kemudian melangkah keluar masuk kembali ke ruang ganti baju.

-“Baju-bajunya biar di tinggal dibawah saja pak, kata perawat yang mengantarkannya”.

Ketika saya menyusuri lorong, diujung dekat pintu duduk seorang dokter yang sudah agak sepuh, yang kemudian Dr.Adam menyebut sebagai gurunya, tersenyum ramah kepada saya.

 

Saya kemudian membungkuk dihadapannya ,

-“Boleh tanya dokter?”, dokter sepuh, yang kemudian saya tahu kemungkinan dokter spesialis anesthesia, dr.Pandit, mengangkat kepala sambil mematikan handphone-nya.

 

-“Ya, pak?” Saya mengajukan pertanyaan yang selama ini sudah mengganjal di hati kami, saya dan istri, yang menjadi pertimbangan kami untuk melakukan tindakan operasi dengan endoskopi di RS ini.

 

-“Begini dokter, mengapa fasilitas teknologi endoskopi ini kok ada di RS sekecil ini, padahal di rumah sakit besar seperti Panti Rapih dan RSA Gajah Mada tidak punya?”. Dokter itu kemudian tersenyum dan mempersilahkan saya,

 

-“Silahkan duduk pak”, katanya sambil menarik napas dan mencari-cari dari mana ia mulai bercerita…………….  (SH; dari grup WA-VN)-FR  *** (bersambung)

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close