Tradisi Lebaran di Betawi
Seorang perempuan setengah baya membawa sebaskom ketan hitam dan semangkuk ragi memasuki ruang berukuran 3×4 meter di samping dapurnya. Tangannya cekatan namun hati2 menaruh ketan hitam yang dikukus di atas nampan beralas daun pisang.
Ia tak berbicara sepatah pun pada anak gadis yang menungguinya di ruang itu. Saat mencampur ketan hitam dan ragi, ia lakukan bertahap. Tidak sekali campur. Sebelumnya, ia mencuci dan mengukus ketan hitam sejak pagi. Menjelang siang ia aduk ketan hitam yang sudah dikukus, lalu dicampur air panas.
Begitulah separuh proses pembuatan tape uli, makanan khas Betawi, tradisinya harus dilakukan wanita “bersih”. Artinya yang membuat tape tidak lagi dapat haid atau tidak boleh hubungan badan dengan suami sehari sebelumnya. “Bersih lahir batin, makanya ibu saya selalu diam saat bikin tape. Kalau saya menunggu prosesnya, ya cuma diem” ujar Lenny (32) di kampung Betawi RT 10 RW 08 Setu Babakan.
Ibunya, Ani (61), mewarisi keahlian mengolah tape dari neneknya yang juga membuat aneka kue khas Betawi seperti kembang goyang, dodol, geplak dan wajik. Menurut Ketua RT 10 RW 08 Setu Babakan Namin Main (50), tradisi sebelum Lebaran kaum wanita di kampungnya membuat kue untuk hantaran saat silaturahmi.
“Kalau yang pria mengapur (mengecat tembok dengan cat terbuat dari kapur) sebelum Lebaran tapi kini tak pernah dilakukan,” ujar Namin. Kalau dulu sebelum Lebaran ada tradisi menyembelih kerbau atau sapi, dikatakan Namin, kini jarang. “Di kampung sini gak ada yang sembelih, tapi gak tau kalau kampung lain,” kata pria yang telah menjabat ketua RT sejak 1993 itu.
Ia menuturkan tradisi sembelih kerbau biasanya andilan (patungan) per 30 orang untuk membeli kerbau. “Biasanya tiap orang yang ikut patungan akan mendapat potongan daging dan bagian tubuh kerbau yang lain lengkap,” jelasnya.
Tradisi lain yang sudah mulai pudar yakni bersilaturahmi keliling kampung berjalan kaki dan berziarah bersama. “Dulu kami berjalan beriringan ke kampung tetangga hingga perbatasan Depok, sekarang ISTN. Persis seperti semut, kalau ketemu rombongan lain di jalan kami saling salaman, baru jalan lagi,” ungkap bapak 2 anak itu.
Saat ini, tradisi itu jarang karena sebagian besar penduduk memiliki sepeda motor. “Paling kalau jalan di sekitar kampung, dan rasanya tidak segreget dulu. Kalau dulu jalan bareng itu kan ga ada yang punya motor, kalau ada hanya sepeda, itupun orang-orang kaya,” tutur Namin.
Ia berharap tradisi khas Betawi menjelang Lebaran yang sekarang masih dilakukan dapat diteruskan ke generasi selanjutnya. “Kita boleh pake produk macem-macem dari luar negeri, tapi orang Betawi tetep doyan tape uli,” ujarnya sambil terbahak.
Begitulah Namin berusaha berdiri di tengah terpaan jaman yang berubah. Sampai sekarang Kampung Setu Babakan juga menjadi monumen kultur yang “belum” dimakan jaman. (http://regional.kompas.com/read/2008/10/03/07071144/tradisi.betawi.saat.lebaran.pudarkah)-FatchurR