Arsip Lama 2: Pura di Lereng Tambora(FE 079)
Satu persatu kami naik keatas truk dan setelah semua naik, 12 orang dan lima orang pemandu, truck pengangkut kayu atau kopi ini, meninggalkan desa dan dengan goncangan jalan gunung yang terjal, menuju ke lereng Gunung Tambora.
Kecuali saya, semua dari Dumai. Sepasang suami istri separuh baya, pengusaha di Dumai, seorang karyawan Caltex dan putrinya yang masih remaja dan yang lain adalah karyawan perusahaan minyak asing itu. Jadi diantara kami ada dua wanita, istri pengusaha dan putri salah satu anggauta.
Dalam goncangan dan olengan bak truk itulah saya sebagai anggauta baru di “babtis” dan diberi nama panggilan, entah mengapa, mungkin karena saya ditanya apa motif saya naik Tambora ini, saya jawab, ‘Saya tidak tahu’, maka nama saya sekarang ‘I don’t know’.
Ssejak itu seperti anggauta lain saya tidak pernah dipanggil lagi dengan nama asli saya. Saya cukup beruntung dengan nama yang netral, sebab ada anggauta lain dengan nama lebih parah dan memalukan. Acara penobatan diakhiri pengguyuran kepala saya dengan air oleh ketua clan, ‘Torpedo’.
Deru mesin truck masih menggerung keras, ketika angkutan pendaki mulai meninggalkan tanaman2 kopi dan masuk kedalam rimbunan pohon yang makin rapat. Beberapa pendaki yang semula berdiri di bagian depan bak, satu persatu mulai turun dan duduk di dasar bak, karena ranting dan cabang pohon mulai banyak dan menyabet kepala yang masih nongol diatas.
Satu orang pendaki, mulai menderita gatal di leher, mungkin kesabet ranting pohon jelatang yang memang banyak dan tinggi. Dengan menggertakan gigi, pendaki yang berpengalaman itu menahan gatal yang luar biasa, ia sudah paham, gatal ini dalam beberapa menit akan lenyap sendiri asal tidak digaruk.
Setelah beberapa lama, akhirnya truck berhenti, jalan tanah sudah habis sampai disini. Tidak ada kelanjutan, inilah akhir perjalanan dengan truck dan awal pendakian. Kami turun dan ikut pemandu yang berjalan paling depan, sambil memanggul ransel dipunggungnya ia buka jalan dengan pedang yang panjang. Semak dan ranting yang menghalangi ditebasnya.
Tiba-tiba setelah melewati kerimbunan pohon-pohon yang tinggi, rombongan tiba pada sebuah tanah datar yang cukup luas. Diujung lapangan ada sebuah Pura, tempat ibadah umat Hindu. Pura itu dikelilingi oleh tembok dan di dalam tembok ada beberapa bangunan ibadah.
Semua tembok berwarna gelap kehijauan dan pada beberapa sudut tampak berlumut, tanda bahwa Pura ini sudah lama berdiri. Kami disambut oleh penghuni Pura dengan ramah dan diajak berkeliling di komplek di dalam pagar.
Suasana dan lokasi Pura itu meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi saya. Tempat itu luar biasa sepi, karena jarang ada tamu berkunjung dan sulit dijangkau. Diluar pagar berjajar rapat pohon-pohon yang tinggi, yang selain daunnya yang rindang banyak juga tanaman-tanaman lain yang bergayut hinggap pada dahannya. Sungguh suatu tempat yang ideal untuk menyepi dan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi ; Bbersambung…………..
Catatan : Ini tambahan dari pak Ida Bagus Surya ……
Pure tsb sdh dipugar dan selesai 2 thn lalu. Pure tsb sebagai tirta yatre danghyang nirartha ke Sumbawa / Tambora . Danghyang nirartha adalah pendeta hindu yg disucikan dr kerajaan Hindu di Jawa yaitu kerajaan kediri. Tirta Yatre beliau ke kerajaam Tambora th 1400 an sebelum gn Tambora meletus.
—–
Wah… terima kasih pak Ida Bagus Surya, ternyata Pura itu mengandung catatan sejarah yang panjang, luar biasa…. betapa susahnya merenovasi bangunan di tengah hutan. Pantas suasana di halaman dan didalam seolah ada aura yang menyejukan. Beruntung sekali saya sempat melihat Pura itu…
(Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR