Psikologi

Kasih sayang menjerumuskan

Pada suatu musim gugur, sekelompok angsa tiba di pulau danau Angsa. Mereka terbang dari ujung utara yang jauh, berencana melewati musim dingin mereka di selatan. Di pulau itu tinggal nelayan tua bersama istrinya. Suami istri ini tampak senang dengan kedatangan sekelompok angsa ini.

 

Mereka mengambil makanan untuk ayam dan ikan hasil tangkapan mereka dan diberikan pada angsa2 itu. Saat tiba musim dingin, kerumunan angsa ini ternyata tidak melanjutkan perjalanannya ke selatan.

 

Permukaan danau membeku, sehingga mereka tidak bisa mendapat makanan, pasangan suami istri yang berumur senja itu membuka pondok mereka membiarkan angsa2 itu masuk untuk menghangatkan badan dan memberi mereka makanan, sampai tibanya musim semi permukaan danau mencair.

 

Hari demi hari berlalu, tahun berganti tahun, setiap musim dingin, pasangan suami istri tua itu terus mencurahkan kasih sayang mereka. Sampai suatu ketika, mereka sudah tua, meninggalkan pulau itu, dan sejak itu angsa2 itu juga menghilang. Mereka bukan terbang ke selatan, tetapi mati kelaparan semasa danau membeku pada tahun kedua.

 

Nelayan dalam kisah itu seperti sosok orang tua yang mencurahkan cinta dan kasih sayangnya pada angsa2 itu, mengasuh dan merawat mereka layaknya terhadap anak2 sendiri, makan dan hidup ditanggung sepenuhnya.

 

Curahan cinta dan kasih sayang itu berlangsung dari hari ke hari, tahun demi tahun, sehingga kita pun mendesah dan menggumam, “Pasangan suami istri yang baik hati, betapa beruntung dan bahagianya angsa2 itu”

 

Angsa2 yang berakhir tragis itu memberi pesan pada kita, curahan kasih sayang berlebihan dari suami istri nelayan itu, menyebabkan angsa2 itu larut dalam kehidupan serba enak dan nyaman, sehingga mengembangkan sifat malas, kehilangan kemampuan untuk bisa bertahan hidup, akibatnya tak mampu beradaptasi dengan lingkungan, hingga ditelan perubahan lingkungan yang tak pernah dihadapinya.

 

Dalam kehidupan nyata se-hari2, ada banyak orangtua yang menciptakan kasih sayang yang serba enak dan nyaman untuk anak2nya. Saat Anak2 kecil, kalau diraup dalam genggaman takut jatuh, kulum di mulut takut lumer, bila anak2 minta ini atau itu selalu dituruti. Tidak membolehkan anak2 melakukan sedikitpun pekerjaan rumah tangga, melarang anak2 kesusahan atau lelah sedikitpun.

 

Membiarkan anak melewati hari2 serba nyaman seperti tuan besar, “pakai baju tinggal menjulurkan tangan, makan tinggal buka mulut.” Ketika anak2 dewasa, para ortu lagi2 sibuk mencarikan pekerjaan yang enak tidak menyusahkan mereka, danmenyiapkan / meninggalkan warisan melimpah, meski ortu bersusah payah dan menderita karena itu, tapi rela melakuka demi anak2 yang mereka sayangi.

 

Ini tipikal orang tua model “pasangan nelayan” dengan curahan kasih sayangnya yang tak terkendali seperti cerita itu. Namun, renungkan akhir yang tragis dari angsa2 itu. Apa curahan kasih sayang seperti masih menjadikan kita perasaan hormat dan kagum?

 

Curahan kasih sayang yang tak “bercela”, rasa cinta dan sayang yang membabi buta menciptakan kehidupan yang serba enak dan nyaman ini, justru merupakan “perangkap”.

 

Mereka yang terperosok ke “perangkap” ini, selain ketergantungan dan sifat malas, mereka tidak punya apa2. Begitu menghadapi “danau membeku” (kesulitan) dalam kehidupan sehari-hari, maka akhir mereka tidak akan pernah lebih baik dari akhir tragis yang dialami angsa-angsa itu.

 

Semua orang butuh cinta dan kasih sayang, namun, ketika cinta dan kasih sayang ini berubah menjadi pemberian yang menyenangkan, perlindungan yang meliputi segala-galanya, maka ia bukan lagi cinta dan kasih sayang, tapi menjadi sebilah pisau lembut yang mematikan. (Sumber : Kebajikan / De 德 ; dari grup WA-sebelah)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close