Wisata dan Kuliner

Jalur Boga Blabak Muntilan (1) (FE 109)

Alkisah jaman dahulu kala, orang makan tahu goreng, ya hanya berkawan dengan cabe rawit, itu yang paling cocok. Kebiasaan mengudap tahu hanya dengan cabe ini masih dipertahankan di Sumedang, sejak jaman Pangeran Kornel.

 

Jenis tahunya memang istimewa, kulit tahu sedikik bersaput dan dalamnya kosong melompong. Hikayat kemudian menceritakan bahwa penduduk Cirebon, masih kurang puas, bila tahu hanya dengan cabe saja, mereka kemudian berinovasi dengan membubuhkan  kuah manis, setengah asam, yang kemudian berkembang menjadi tahu gejrot yang legendaris itu.

 

Lain padang lain selera, di Singaparna, tahu ditemani pula oleh kupat, kecap, kemudian biar menambah segar ditambahkan tauge, kini terkenal dengan tahu kupat Singaparna. Penduduk Cepu Blora, berkreasi dengan tauge jenis gemuk pendek dan bulir kacangnya dibiarkan utuh, enak juga.

 

Orang Surabaya dan Jawa Timur umumnya, menambahkan pada bumbunya petis, menjadikan bumbunya lebih pekat dan gurih. Tahu tek-tek (karena penjualnya menjajakan dengan memukulkan sutil pada wajannya) atau tahu gunting, karena mengiris tahunya dengan perkakas garpu dan gunting, tanpa pisau.

 

Pada beberapa tempat di Solo, orang berkreasi dengan sebelum di siram kuah, diatas tahu kupatnya ditenggerkan telor dadar panas. Sungguh sedap.

 

Di dusun Blabak, beberapa km sebelum masuk kota dari arah Muntilan, bersama pemangku JVR Jogja, kami mencoba tahu Blabak yang sering menjadi pembicaraan para pemburu kuliner.

 

“Di daerah ini banyak warung tahu kupat, Pak. Tempatnya ya cukup bersih, lega dan memadai. Tapi menurut penduduk di sini yang paling enak adalah Tahu nDompleng. Sayang tempatnya sempit dan sedikit kumuh”, saya menjelaskan. “Bapak pilih yang mana?”, tanya saya.

 

“Kuliner sejati, ya yang penting rasa, pak, bukan tempat”. Oke, saya sudah warning tentang lokasi, jadi sahabat saya itu tidak akan kecewa bila tempatnya cukup buruk.

 

Keistimewaan dari Tahu Kupat Blabak ini adalah kuahnya yang sudah disiapkan terlebih dahulu, jadi dimasak dahulu dengan daun salam, gula jawa dan bumbu-bumbu lain. Kemudian ada bumbu segar yang ditumbuk dadakan, termasuk cabenya.

 

Saya tidak tahan pedas, jadi sedeng saja, tapi sahabat saya minta pedas. Jenis tahu putih, adalah kunci kelezatan tahu Dompleng. Tahunya besar dan tebal itu digoreng ala kadarnya saja, tidak sampai kering. Celupan minyak panas harus melimpah sehingga tahu besar itu mengapung dipermukaannya.

 

Tahu diiris dalam talenan kayu, yang sudah cekung saking sudah tua usianya. Irisan kubis goreng yang agak layu kemudian dibubuhkan. Kemudian ditaburkan bubuk kacang yang kasar, barulah terakhir kuahnya disiramkan.

 

Sebelum dihidangkan tidak lupa ditaburi bawang goreng, irisan seledri menjumput sendiri tergantung selera. Saya tidak ingin komentar mengenai rasanya, karena takut pujian saya berlebihan, tapi buktinya pengunjungnya pada jam sibuk sampai meluber ke teras toko sebelah dan deretan mobil antri.

 

Sebelum beranjak pulang, Oom Sar, iseng bertanya mengapa kok namanya ndompleng?….. “Dulu awalnya kami masih ndompleng ke toko sebelah”…jawabnya…. Kalau boleh sedikit kritik, porsinya terlalu kecil. Tapi itu memang blessing, karena sahabat saya mengajak meneruskan berburu kuliner lokal ke kota Muntilan. (bersambung)-(Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)

 

Respon 1, dari AR :

Tergantung selera. Tasik depan pool DAMRI enak juga, Jika Lebaran sya ke Tasik pasti mampir. (Ade R)-FR

 

Respon 2, dari SSA :

Kalau dikota bandung, kupat tahu ini ada “aliran” nya. Aliran singaparna dengan rendosan kacang suuk, dan alkateri dengan kuah halusnya.

 

Diluar ini ada lagi *ketoprak*yang mirip aliran singaparna.

Beda dengan aliran JATENG, yang berupa kuah bening dg aroma bawang putih menyengat, ditambah unsur cuka. (Sunarto SA)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close