Embun Pagi-Ikhlas
Rosyad, mantan santri, menjelang Ramadhan ini, tiba2 rindu bertemu dengan pengasuhnya di Pondok, Kyai Shodiq. Menjelang dhuhur ia berkemas untuk mengunjunginya. Karena tidak memiliki apa2 yang bisa dibawa untuk buah tangan, ia mengambil linggis dan pergi ke kebun di belakang rumahnya.
Dicabutnya dua pohon ketela, di bersihkannya dari tanah yang melekat, dimasukan ke dalam tas plastikdan ditentengnya ke Pondok.
-“Assalamu’alaikum”, ia uluk salam di pintu.
-“Wa’alaikum salam”, dari dalam terdengar jawaban suara yang sudah akrab di dengarnya.
-“Eh kamu Rosyad. Bagaimana kabarmu? Keluargamu? Ada berita apa, kok kadingaren”, wajah sepuh dengan rambut putih menyatu dengan kopiah yang berwarna putih keluar dari pintu rumah.
-“Baik-baik mBah. Keluargaku juga baik. Fatimah barusan ujian, akan masuk SMP. Nafi, baru belajar berjalan”, jawabnya.
-“Mari masuk Nak”, kata Kyai,
-“Itu apa yang kau bawa?”, tanyanya lagi
-“Pohung mBah, baru nyabut”
-“Ya bawa ke dapur sana, taruh di bawah amben”.
Mereka kemudian duduk di atas tikar, di ruang dalam. Suasana tentrem, hanya terdengar suara garengpung dari pohon duku tinggi di samping jendela.
-“Kok sepi mBah? Pada kemana santrinya?.
-“Ya, pada pulang. Tinggal adikmu Amani, sedang di kebun wetan sana, mbabat daun salak”
Mereka kemudian berdua asyik ngobrol. Kyai Shodiq ini memang orang tua yang sangat menyenangkan. Ilmunya dalam, pengetahuannya luas, pengalamannya banyak. Selesai shalat dhuhur, berjama’ah, Rosyad sudah cukup melepas rindu dan pamit pulang.
-“Terima kasih ya Nak, aku sudah kau tengok”, sahut Kyai bangkit.
-“Tuh di kandang ada domba betina dan anaknya dua, kamu bawa pulang”, lanjutnya
-“Kasian tidak ada yang ngurus nanti kapiran. Mudah-mudahan bisa beranak pinak dan barokah buat kamu”, katanya lagi.
Rosyad pulang sambil menuntun domba yang dikintil oleh dua anaknya yang meloncat-loncat sepanjang jalan. Ia berjalan menyusur pinggiran kebon salak di dukuh Karang-gawang. Tepat di belokan kantor desa, ia bertemu dengan temannya, Iyad.
-“Dari mana Syad? Kok nuntun wedus?”, tanya Iyad
-“Dari mBah Shodiq, ini di kasih domba”, jawab Rosyad.
-“Weh lha bejo kamu. Lha kamu ke sana bawa apa?, tanya Iyad
-“Yah, tadi saya bawa pohung, sak-kresek”, jawab temannya lagi.
Iyad berpikir dalam hati. Bawa pohung saja dikasih wedus. Lha kalau bawa lebih, ndahneho. Bisa-bisa dikasih sapi. Iyad tidak jadi pulang ke rumah. Ia balik kembali mampir ke warungnya mbok Sirin, membeli dua buah durian. Ia kemudian sowan Kyai Shodiq sambil nenteng dua buah Durian yang baunya harum, membuat orang kemecer.
-“Eh kamu Yad, mari masuk. Temanmu Rosyad baru saja mungkur tadi”, Kyai menyambut bekas muridnya itu.
-“Kamu kok masih ingat kesenenganku, durian. Sana taruh di atas amben dapur, nanti habis makan tak incipane”.
Mereka ngobrol ngalor-ngidul. Tapi Iyad sudah tidak bisa tenang. Pikirannya sudah ingin pulang bawa sapi. Ia kemudian pamitan. “Kok kesusu tho Nak. Mbah tidak punya apa-apa. Tuh ada pohung di bawah amben, cangkingen. Baru nyabut katanya, mestinya mempur kalau di kukus”.
Iyad pulang, berjalan menunduk lesu, sambil nenteng kresek isi ketela. (Sadhono Hadi; EP 027; dari grup WA-VN)-FR