Mengalahkan Asing-Bukan membenci Asing
(Oleh Dahlan Iskkan; detail.id)-TIONGKOK ibarat vacuum cleaner. Kita bisa kesedot. Walau Tiongkok tak bermaksud menyedot pun, negara sekitar kesedot sendiri. Ekonominya. Kini Tiongkok kelebihan kapasitas. Barang2 mereka jadi murah. Pabrik2nya terlalu banyak. Dan terlalu besar.
Pabrik apa pun. Bidang apa pun. Benar2 kelebihan pabrik. Kebesaran pabrik. Tanpa bermaksud membanjiri negara lain, banjir produk Tiongkok terjadi dengan sendirinya. Apa yang bisa kita perbuat? Marah? Menghancurkan mesin vacuum cleaner itu Menyumbat slangnya? Agar kita tidak kesedot?
Rasanya sia2 dan destruktif. Untuk kedua belah pihak. Terutama kita sendiri. Tidak realistis. Ibarat membuat asap dengan cara membakar diri sendiri. Kita harus menyesal. Dulu sekali. Sekitar (2005). Kita tidak mau memanfaatkan kebijakan “rukun tetangga” dari Tiongkok.
Malaysia dan Thailand, yang panen raya. Pejabat kita doeloe tak tahu ada kebijakan ini: Tiongkok membuka diri menerima produk pertanian dari negara tetangga. Tarif pajaknya khusus. Seperti sayur dan buah tertentu. Kebijakan itu disebut early harvest policy. Kita melewatkan begitu saja. Justru kita kebanjiran buah dari Tiongkok.
Kita terlambat. Tapi, kesempatan masih luas. Penduduk mereka besar: 1,3M. Nafsu makannya terlalu baik: perlu makanan apa saja. Mereka mampu membelinya.
Semua orang kuat punya titik lemah, Tiongkok sekalipun. Ia tidak bisa menghasilkan “buah tropik” atau “sayur tropik”. Titik itu yang harus kita totok dengan kekuatan totok yang telak. Perkebunan buah tropik harus menjadi kekuatan utama kita. Harus jadi senjata totok yang kuat.
Entah siapa yang akan bisa jadi panglima di sektor itu. BUMN? Yang dulu mulai tanam pisang, manggis, jambu, dan durian besar2an? Apa kabar perkembangannya? Titik lemah lain : Orang Tiongkok senang bepergian. Berarti turisme. Bisa jadi senjata totok berikutnya. Kita tidak perlu bercocok tanam. Cukup senyum2 sepanjang tahun. Apa susahnya tersenyum?
Ups, jangan2 tersenyum lebih sulit dari bercocok tanam. Sebab, yang diperlukan senyum tulus. Dari bibir sampai ke hati. Bukan senyum plastik. Panglima di sektor itu sudah ketahuan: swasta. Lion Air. Sudah teruji melakukan terobosan hampir satu tahun terakhir. Terobosan ini tak main2. Sulit dilakukan siapa pun: membuka penerbangan ke jantung-jantung Tiongkok. Dari dan ke Manado.
Adakah orang gila yang mau membuka penerbangan dari kota seperti Chongqing ke Manado? Selain Rusdi Kirana? Si pemilik Lion? Di mana itu Chongqing? Jangankan letaknya. Bagaimana mengucapkan nama kota itu saja tidak mudah.
Itu kota paling pedalaman. Dulu kota itu bagian dari Provinsi Sichuan. Lebih miskin dari NTT. Kini Chongqing berdiri sendiri. Sebagai kota di bawah pemerintah pusat. Penduduknya lebih dari 52 juta. Hampir 2x penduduk Jatim. Gedung bertingkatnya melebihi gedung bertingkat di Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan yang dijadikan satu.
Kotanya ber-gunung2. Indah. Dibelah Bengawan Chang Jiang, sungai terpanjang ketiga di dunia. Mungkin awalnya penduduk Chongqing juga tidak tahu di mana itu Manado. Lion juga buka penerbangan Manado-Wuhan. Kota pedalaman Tiongkok yang lain lagi. Ibu kota Hubei. Provinsi yang berpenduduk sekitar 100 juta.
Gila.4x seminggu Lion Air menerbangi Manado-Tiongkok. Itu hanya bisa dilakukan orang yang kelebihan kapasitas. Singapura yang dulu dikenal pandai menyedot penumpang dari negara lain. Kini Lion dengan kelebihan kapasitasnya mencoba menyedot penumpang negara lain.
Tahun-2017, dalam 6 bulan Lion bisa sedot 40 ribu penumpang Tiongkok. Dibawa ke Manado. Kota kecil itu sampai ter-kaget2. Tahun-2018 diperkirakan Dino Gobel dari North Sulawesi Tourims Board, bisa 2x lipatnya. Ternyata mereka menyukai Pulau Lihaga yang masih perawan. Bukan Bunaken.
Saya kagum pada langkah Lion. Itu usaha nyata untuk “melawan” Tiongkok secara benar. Bukan berteriak anti asing. (Bahan dari : http://www.detail.id/2018/09/kalahkan-asing-bukan-anti-asing.html)-FatchurR *