Aku cinta Indonesia

Tiap 10 Tahun di Lubang Yang Sama

(jpnn.com)-Mengapa setiap 10 tahun terjadi krisis ekonomi? Persis.  Setiap 10 tahun: 1988 (TMP), 1998 (Krismon), 2008 (Lehman Brothers/Bank Century) dan 2018 ini (Belum tahu disebut apa). Itu bukan mistik. Itu lebih seperti siklus sepuluh tahunan.

 

Tahun 1978 (ibunya Via Vallen sudah lahir atau belum ya?) ekonomi Indonesia booming. Berkat kebijakan orde baru. Yang menggariskan ekonomi sebagai panglima. Pertumbuhan sebagai lokomotifnya. Menggantikan kebijakan orde lamanya BK. Yang politik jadi panglima. Konfrontasi jadi agitasinya.

 

Sejak 1978 itu ekonomi meledak. Untuk ukuran negara miskin. Swasta berkembang pesat. Juga modal asing. Sumber dana dimudahkan. Deregulasi bank dilakukan. Pengusaha boleh mendirikan bank kapan saja. Hanya bermodal Rp 10 miliar. Semua grup punya bank. Memberi kredit ke perusahaannya sendiri. Dari dana deposito masyarakat. Ekonomi berkembang.

 

Bahan baku tidak cukup. Belum sempat disiapkan. Inflasi naik. Terlalu banyak uang beredar. Terlalu mudah dapat kredit. Ekonomi maju. Bank berlomba memberi pinjaman. Umumnya gak hati2. Bisa menerima tanah kuburan. Sebagai jaminan. Tanpa dicek bahwa itu tanah kuburan. Saking mudahnya. Ekonomi seperti balon. Dindingnya tidak kokoh. Dipompa terus. Menggelembung besar. Meledak.

 

Dilakukanlah Tight Money Policy (TMP). Pada 1988. Suasananya seperti mobil lagi lari kencang. Tiba2 direm. Mendadak. Kelimpungan. Banyak perusahaan selip. Atau terguling. Masuk jurang. Dua tahun  ekonomi seperti berhenti. Tapi itu hukum ekonomi. Yang harus dipahami. Tahun ketiga ekonomi jalan lagi. Pengusaha nakal kian berkurang. Bank kian hati2.

 

Tahun ke-4 ekonomi lancar lagi. Menggebu lagi. Tahun ke-5 lupa. Sudah  bergairah. Seperti tidak pernah terjadi TMP. Mencari kredit mudah lagi. Bahkan banyak kredit murah dari luar negeri. Dengan bunga hanya 4 persen. Dalam dolar. Hampir tiap minggu ada lembaga keuangan datang. Ke kantor saya. Dari Singapura. Atau Hongkong. Atau AS. Menawarkan dana murah itu.

 

Siapa pun tergiur. Ibaratnya: ambil kreditnya, tukarkan ke rupiah, pinjamkan ke pengusaha lain, sudah untung. Gak usah kerja. Saya tidak tergiur. Saya ini orang bodoh. Yang punya prinsip: cari uang itu harus dengan bekerja. Banyak teman saya mem-bodoh2kan saya. Biar saja.

 

Ia sendiri mengambil pinjaman amat besar. Untuk ekspansi ke segala penjuru: beli2 hotel. Bangun lapangan golf. Beli real estate. Ekonomi begitu panasnya. Lantas: dooorrrr!. Krismon. Pada tahun 1998. Ia susah sekali. Tidak mampu membayar pinjaman. Semua assetnya disita. Ia susah sekali. Susahnya orang kaya raya. Tetap saja kaya raya. Begitulah.

 

Sampai tahun ke-3 ekonomi berhenti. Di mana2 orang pidato krismon. Tahun ke-5 banyak yang sembuh. Bank tinggal beberapa gelintir. Tapi sehat semua. Kredit bisa cair lagi. Ekonomi bergerak lagi. Tahun ke-6 banyak yang lupa lagi: apa itu krismon. Banyak perusahaan yang lebih kuat setelah krismon. Mereka belajar banyak. Dari krisis ke krisis. Tahun 2007 ekonomi meledak lagi. Terutama di AS.

 

Inflasi sangat rendah. Bank menggelontorkan dana lagi. Banyak yang salah analisa: inflasi rendah saat itu dikira hasil efisiensi. Sehingga tidak bahaya. Kalau dana murah terus digelontorkan. Maka terjadilah krisis (2008). Indonesia selamat saat itu. Berkat bail out. Untuk menyelamatkan perbankan. Yang sekarang (10 tahun kemudian) di-salah2kan itu. Sekarang baru disadari: inflasi rendah jelang (2008) bukan karena efisiensi.

 

Karena apa?

Karena membanjirnya barang murah. Ke seluruh pasar dunia. Yang asalnya dari negeri panda. Kita belum tahu: apakah 10 tahun lagi krisis berulang. Belum tentu. Tergantung kecerdikan tiap bangsa. Sayang banyak yang lupa. Sehingga terulang lubang yang sama.  (Sugito-W9 sumber dari Dahlan Iskan; Bahan dari :  https://www.jpnn.com/news/tiap-10-tahun-di-lubang-yang-sama)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close