Selingan

Petasan awalnya untuk menimpuk Setan

(republika.co.id; Oleh Alwi Shihab)-Pada malam pergantian tahun, masyarakat di daerah2 menyiapkan datangnya tahun baru. Malam itu seperti jadi tradisi jika petasan wajib merayakan pergantian tahun. Padahal, malam itu tidak ada di ajaran Agama, apalagi dengan membakar petasan.

 

Padahal, ber-tahun2 aparat keamanan melarang main petasan, khususnya bulan Ramadhan, karena membahayakan keselamatan. Berbagai razia di daerah2 pada pedagang dan pembuatnya. Tapi suara petasan memekakkan telinga hingga kini terdengar di kampung2.

 

Mungkin banyak yang belum tahu petasan itu asal dari Cina. Dibawa oleh imigran Cina ke Nusantara (abad ke-19). Di negeri asalnya petasan digunakan mengusir, setidaknya me-nakut2i setan, iblis, memedi, dan roh jahat.

 

Itu berkaitan kepercayaan mereka. Ketika terjadi wabah penyakit di Cina, banyak korban berjatuhan. Menurut kepercayaannya, wabah penyakit itu disebabkan setan dan iblis tengah murka pada ulah manusia. Untuk mengusirnya, penduduk me-mukul2 benda bersuara nyaring seperti seng, tambur dan gendang, serta menyulut petasan.

 

Pada Dinasti Ming (1368-1644), orang Cina pakai obat mesiu membuat petasan/kembang api, yang ditembakkan ke udara dan membuat pola2 indah warna-warni. Maka, petasan digunakan meramaikan pesta2, seperti tahun baru Imlek, capgomeh dan pehcun (pesta perahu) serta pesta2 rakyat. Petasan dibuat dengan mencampur bahan belerang (sulfur) dan nitrat.

 

Sampai 1970-an petasan impor dari Jepang, kini dari RR Cina. Negeri berpenduduk 1,2 miliar jiwa ini  menghasilkan 300 jenis kembang api (bahasa Mandarin disebut janghwe). Pada Olimpiade 2008, dunia dibuat kagum dengan pesta kembang api saat pembukaan dan penutupan Olimpiade di Beijing.

 

Imigran Cina ke Nusantara umumnya tanpa istri. Mereka mengawini wanita pribumi, khususnya budak yang dijualbelikan. Di Kali Besar, Jakarta Kota, ada tempat jual beli (lelang) budak. Meski anak2 mereka berdarah campuran, tetap mempertahankan tradisi nenek moyangnya.

 

Imigran Cina bertambah banyak saat era kapal uap akhir abad ke-19. Petasan dijadikan salah satu atraksi untuk merayakan pesta rakyat. Pesta capgomeh (malam ke-14 Imlek) meriah dengan atraksi petasan, hingga banyak ditonton dan dinikmati warga Cina, dan pribumi, Arab, dan Belanda.

 

Petasan Betawi

Dulu di Jakarta ada Gang Petasan, di Jalan Hayam Wuruk, masuk ke lorong. Kalau kini di tempat pembuatan petasan sering kebakaran akibat peledakan, tempo dulu tidak pernah terjadi peristiwa semacam itu.

 

Kembang api/janghwee dulu punya pabrik di Angke, Jakarta Barat, ada Jl Teratai (dulu bernama Jl Janghwee), karena ada pabrik kembang api. Orang Betawi pun ikut2an. Tapi, mereka pasang petasan bukan menakuti setan, tapi jadi alat komunikasi antarkampung. Maklum, ketika itu belum ada telepon, atau ponsel.

 

Ketika terjadi revolusi fisik 1945, penduduk Jakarta berjumlah setengah juta jiwa. Karena Belanda membangun kota ini untuk 800 ribu jiwa. Jalan Thamrin dan Jl Sudirman masih tan, bila hujan sulit dilalui. Kawasan Kuningan jadi tempat peternakan sapi dan penjual susu. Juga Buncit dan Kemang.

 

Pasar Minggu dan Ragunan itu sawah dan kebun buah2an. Disebut kampong itu  sunyi senyap. Paling2 ada 6-7 rumah. 1 atau 2 km dari sebuah kampung baru terdapat kampung lain. Dst. Kalau ada satu kampung ingin hajatan (menikahkan, khitanan dan menunaikan ibadah haji), undangan dengan membunyikan petasan paling efektif. Yang dengar rentetan bunyi petasan akan ber-tanya2

 

Dari mane tuh datangnye petasan? Ada yang memberi tahu, oh, si Anu ingin menikahkan anaknya”. Atau, “Si Anu ngundang ingin pegi haji”. Ketika petasan dipasang di Kemang, penduduk di Kampung Mampang akan bertanya ada apa tuh orang Kemang masang petasan. “Oh si Anu mengundang ingin nikahkan anaknya”.

 

Waktu itu, banyaknya petasan menunjukkan status sosial. Makin banyak pasang petasan ia makin dipuji. “Oh, si Anu yang mau pegi haji petasannya segerobak” kata yang mendengarnya. Sampai kini, di kampung2 pinggiran Jakarta bila besan datang ke rumah calon mempelai wanita akan dibunyikan ber-renteng2 petasan.

 

Kala itu ada petasan impor dan lokal. Petasan impor dari Jepang dan lokal dari Parung, Bogor. Petasan impor selain lebih mahal, suaranya lebih keras dan nyaring. Petasan Parung tak begitu keras, dan tidak jadi kebanggaan. Ah petasan kampung, ejekan yang dikemukakan kala itu.

 

Kata tokoh Betawi, H Irwan Syafi’ie (80 tahun), dulu petasan bagi orang Betawi untuk membangunkan warga saat makan sahur. Warga Betawi juga pasang petasan saat Idul Fitri, dikaitkan kegembiraan setelah berpuasa sebulan. (Alwi Shihab; Karta Raharja Ucu; Bahan dari : https://www.republika.co.id/berita/selarung/nostalgia-abah-alwi/17/12/29/p1q990282-petasan-awalnya-untuk-nimpuk-setan)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close