Kelas Tiga
Catatan akhir dari kisah Trilogi petualangan seorang kakek adalah pengalaman naik kereta api kelas ekonomi. Rasanya sudah lama sekali saya tidak naik sepur kelas ekonomi. Saat jaman sepur belum normal, kelas ekonomi adalah kelas penderitaan.
Keretanya penuh sesak, lantai, bordes, sampai di WC pun ada penumpangnya. Keretanya gelap, bau dan pengab. Setiap setasiun berhenti dan setiap berhenti pedagang asongan menyerbu masuk, dengan segala kebisingannya.Tempat duduknya terbuat dari anyaman rotan yang dipenuhi dengan kutu busuk.
DKA (Djawatan Kereta Api) juga tidak bertanggung jawab atas keamanan barang dari penumpangnya. Cerita tentang tas, kaca mata, jacket yang hilang adalah cerita sehari-hari, bahkan oleh-oleh yang ditaruh di meja juga bisa raib tak berbekas digondol alap-alap.
Tapi pengalaman naik kelas ekonomi ka Bogowonto dari setasiun Pasar Senen sampai ke Jogja Tugu, jaman sekarang, (pertengahan Nopember 2018), sungguh berbeda. Keretanya bersih. WC nya bersih, air mengalir, pokoknya berbeda jauh sekali dengan naik kereta kelas 3 jaman doeloe.
Pada beberapa hal, naik kelas tiga malah lebih nyaman dari kelas eksekutif. AC di kelas ekonomi lebih bersahabat dari pada AC di kelas Eksekutif, setelan suhu sekitar 24 derajat, tidak dingin tapi juga tidak panas, dibandingkan dengan AC kelas eksekutif yang kadang sampai 18 derajat, penumpang menggigil bila tanpa jacket, selimut atau kaos kaki.
Konstruksi kursi yang dua-dua beradu punggung juga nyaman dan kokoh, dibandingkan dengan kursi kelas eksekutif yang labil, mudah goyang bila di injak oleh penumpang dibelakang kita, yang kadang tanpa sadar menghentak-hentakan kaki mengikuti irama lagu di head-set.
Penumpang kelas ekonomi memiliki kolong kursi yang longgar, yang tidak dimiliki oleh penumpang kelas eksekutif, sehingga bisa untuk menyelipkan tas bawaan, selain kopor yang diatas tempat duduk. Pemandangan disekitar tempat duduk kelas ekonomi juga jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan pemandangan di kursi eksekutif yang hanya melihat punggung.
Bila ada rejeki, kita juga bisa ngobrol asyik dengan penumpang-penumpang lain termasuk yang duduk dihadapan kita. Bagaimana dengan duduk mundur? Semula saya khawatir akan pusing bila duduk mundur, ternyata biasa-biasa saja, tidak masalah. Ketika jam 06:15 pagi saya turun di setasiun Tugu, badan rasanya segar-segar saja setelah menempuh perjalanan 8 jam lebih.
Saya bisa saja memesan taxi on-line untuk pulang ke rumah, tapi saya memutuskan untuk melanjutkan petualangan saya dengan naik becak menuju ke perempatan Pingit. Pengemudi becak meminta ongkos Rp.20 ribu dan saya naik tanpa menawar lagi. Seperti biasa moda transport becak ini gesit menyeberang rel di pangkal Malioboro dan ujung Mangkubumi.
Saya kemudian diajak melawan arus lalu-lintas di jalan Mangkubumi dan masuk Gowongan. Sebentar saja sudah di jalan Diponegoro dan saya diturunkan di perempatan Pingit. Hari masih pagi ketika saya sudah duduk di bus kecil jurusan Tempel, penumpang lain kebanyakan anak sekolah.
Dengan membayar Rp. 10 ribu saya turun di Gundengan, jalan di gang menurun, saya menarik koper saya yang beroda, melewati rumah mas Tarto, kicauan Kacer-nya riuh menyambut, hijaunya daun rumpun bambu garasinya pak Iswah,rimbunnya tegalan mBah Nur dan masuk ke halaman rumah…… oh my green sweet home, here I’am coming…. (FE 124)
(Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR