Pengalaman Anggota

 Ikut panen padi

Ini kenangan paling lama yang masih bisa kuingat ketika kecil umur 6  tahunan. Rumahku baru pindah kekota tetapi orang tua masih punya sawah didesa kelahiran, dan setiap musim panen selalu kedesa untuk mengambil hasilnya.

 

Ibu mewakili bapak, mengurus proses pemetikan padi, menjemur sampai pengangkutannya dengan gerobak kuda  kekota. Selama masa panen itu kami  tinggal dirumah mendiang kakek ber hari2.

Lokasi sawahnya jauh di tengah2 jarak antara dua desa, yakni Ampih dan Lajer yang seolah luasnya seperti lautan, memisahkan dua pulau nyiur kelapa, yang karena itu pula disebut blok Segaran.

 

Pada saat mengangkut padi, aku yang kecil ditugasi menunggu dipinggiran desa, karena dibawa bertahap. Pada kesempatan itu, biasanya banyak pedagang  penjual makanan dusun, ada pecel, kue cucur hingga dawet gentong yang diciduk pakai siwur batok kelapa,  ber-deret2 ditanggul pinggiran selokan.

 

Ada yang khas, mereka hanya menerima pembayaran dg segenggam batang padi sebagai alat penukarnya. Didesaku sistim ini disebut “urub”. Jadi pedagang itu, ketika pulang bisa bawa padi, bukan uang. Ibuku yang wanita mandiri, mengurus jemuran padi dihalaman rumah. Setelah kering nantinya akan diangkut gerobak dibawa pulang ke Kebumen.

 

Ketika datang saatnya, kami, dan tenaga2 pembantu harus jalan kaki sejauh 5 km membututi gerobak sampai bertemu jalan raya. Sepanjang jalan ibuku banyak bercerita tentang kehidupan desa,  diselingi istirahat diketeduhan pohon trembesi tua pinggir jembatan, sambil  minum penghilang haus yang sengaja dibawa;  karena itulah walaupun kanak2,  aku tidak merasa capai.

 

Ada tiga desa yang dilewati dikiri kanan jalan, Jogopaten, Kedondong dan Kalibagor. Selebihnya sejauh mata memandang terbentang sawah yang menguning karena memang lagi musim panen.

 

Dietape terakhir, kami memisahkan diri dari  gerobak guna menunggu bis kekota. Siang hari ketika sampe rumah, sambil menunggu kedatangan gerobak, ibu dibantu bibi bibi, mulai mempersiapkan tempat penyimpanan, juga lesungnya untuk menumbuk padi pada keesokan hari.

 

Sahabat pernah dengar seni kotekan? Ketika bibi2 usai menumbuk padi, sambil istirahat menghilangkan jenuh, mereka ber regu menumbukkan alu ke lesung (alat penumbuk yang terbuat dari kayu pohon kelapa). Ritmenya bergantian dan teratur, ditentukan oleh peran masing2 penabuh : “kotek kotek gandung gandung” terus menerus mengiringi lagu sidennya.

 

Meledaklah ketawa mereka, manakala ada yang salah tabuh. Dengan seni ini, tanpa terasa, mereka bersemangat mengubah padi jadi beras. Ada pakem iramanya, tapi aku lupa. Yang kuingat hanya ada yang menabuh (kebanyakan) sambil berdiri, tetapi ada juga ada yang sambil jongkok mukul dari samping lesung. Dan biasanya dia itulah yang berperan sebagai leadernya.

 

Yah,  kenangan itu tak terasa sudah berlangsung puluhan tahun dari usiaku kini. Hehehe, baru kusadari ternyata aku memang sudah tua, bukan lagi kanak kanak yang jalan membututi gerobak kuda. (Soenarto SA; dari grup WA-VN)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close