Mengorek Telinga Pakai CottonBud
Saya berpengalaman tentang telinga. Tahun 2009 saat baru masuk kuliah, telinga saya seperti tertutup. Kondisinya masih kadang-kadang. Makin hari makin parah. Saat tidur di asrama, kalau tidur miring ke sebelah kiri maka telinga pun seperti tidak mendengar sebelah walaupun posisi tidur sudah beralih.
Rasanya seperti sedang kemasukan air habis berenang. Pokoknya nggk enak. Lalu saya tahan napas dan memberikan udara dari dalam mulut ke telinga. Beberapa kali berhasil menghilangkan pengap di telinga tersebut, namun lama kelamaan sudah tidak bisa di plong-in lagi.
Mama ku bilang, coba masukin air lagi (diagnosa Mama karena kemasukan oleh air) supaya air yang di dalam telinga ikut terbawa oleh air yang dimasukan. Ternyata percobaan gagal. Percobaan kedua adalah dengan menggunakan cotton bud.
Yaa, kalau itu air, maka akan terserap ke kapasnya. Ternyata tidak. Dan kotoran yang terambil hanya sedikit. Mama ku mencoba meyakinkan kalau beberapa hari lagi akan sembuh dengan sendirinya. Beberapa hari kemudian…
Belum sembuh juga, rasanya tidak enak. Akhirnya Mama membawaku ke puskesmas. Biar gratis karena ditanggung Askes. Dokter di puskesmas menyatakan kotoran telinga menumpuk dan menyumbat telinga. Dokter pun menyarankan agar tidak menggunakan cotton bud karena dialah penyebabnya.
Cotton bud membuat kotoran dalam telinga terdorong ke dalam. Lama-kelamaan menyumbat telinga. Dokter umum itu membuat surat rujukan ke rumah sakit ke bagian spesialis THT untuk disedot (pakai alat khusus bukan pakai sedotan) kotorannya.
Saat masuk ruang dokter RS, nggak ada rasa takut sih soalnya ingin buru-buru diambil kotoran pengganggu. Apalagi dokternya ganteng kayak Matt Damon. Dibersihinnya pake alat penyedot (nggak tau namanya). Beberapa menit, plong deh telinga.
Rasanya bisa dengar hingga 100 Mt. Dokter itu menyinggung soal membersihkan telinga. Sama seperti dokter di puskesmas. “Jangan pakai Cotton bud. Malu lho lagi ngobrol trus nggak kedengeran. Kalau dilanggar, paling 8 bulan lagi pasti balik lagi kesini” kata dokter. Saya Cuma ngangguk terpesona.
Enam bulan kemudian saya balik ke dokter THT karena telinga kanan mengalami hal sama. Harusnya dulu minta dibersihin yang kanan juga. Kali ini dokternya bukan yang ganteng, tapi ramah. Kembali dinasehati tidak pakai cotton bud. Dokter itu menyarankan agar mengunyah makanan lebih lama, 20x sisi kanan dan kiri.
Setelah dari dokter THT dua kali berturut-turut dalam setahun, saya benar benar menjaga kebersihan telinga. Awalnya pakai pembersih telinga yang mirip “congkelan” itu. Hati-hati saat menggunakannya karena ukuran diameternya yang lebih kecil dari cotton bud.
Berbahaya juga sih soalnya saya pernah terluka bagian dinding telinga saya gara-gara congkelan. Waktu kecil, mama sering membersihkan telingaku dengan itu. Tapi ternyata, setelah baca-baca, kita sebenarnya tidak perlu menggunakan pembersih telinga.
Dengan alami, kotoran akan keluar sedikit demi sedikit. Itulah fungsinya wudhu saat membersihkan daun telinga untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang keluar dari dalam telinga. Saat dokter mengatakan lebih lama mengunyah juga ada fungsinya.
Gerakan rahang saat mengunyah akan memberikan motion pada kotoran telinga untuk bergerak ke arah daun telinga. Kemudian daun telinga pun akan bersih saat wudhu minimal lima kali sehari. Mengunyah lama juga baik untuk kesehatan lambung dan mulut.
Lambung tidak akan berat bekerja dan cepat memproses makanan. Kalori yang terserap pun lebih sedikit. Sama saja seperti diet bukan? Penelitian juga menunjukkan kalau mengunyah makanan lebih lama akan membuat gigi lebih kuat dan bersih.
Hal tersebut karena produksi saliva atau air liur lebih banyak ketika mengunyah lebih lama. Air liur sendiri mengandung zat-zat yang dapat melindungi email gigi dan mencegah kerusakan gigi. (http://m.kompasiana.com/post/read/677442/2/jangan-mengorek-telinga-pakai-cotton-bud.html)-FatchurR