Gak bisa melihat diri sendiri
Semua petinju profesional memiliki pelatih. Petinju sehebat Mohammad Ali pun memiliki pelatih. Jika mereka berdua disuruh bertanding jelas Moh. Ali yang menangkan pertandingan tsb. Mungkin kita bertanya, mengapa Moh. Ali butuh pelatih kalau jelas2 dia lebih hebat dari pelatihnya?
Moh. Ali perlu pelatih bukan karena pelatihnya lebih hebat, namun karena ia butuh seseorang yang melihat hal2 yg “Tidak dapat d̲̅iå lihat sendiri”. Hal yang tidak dapat kita lihat dengan mata sendiri itulah yang disebut dengan “BLIND SPOT” atau “TITIK BUTA”.
Kita hanya bisa melihat “BLIND SPOT” tsb dengan bantuan orang lain. Dalam hidup, kita butuh seseorang untuk mengawal kehidupan kita, sekaligus untuk mengingatkan kita seandainya prioritas hidup kita mulai bergeser. Kita butuh orang lain : ↷ Ýg menasihati, ↷ Ýg mengingatkan,
↷ yg menegur jika kita melakukan kekeliruan, yg tidak pernah kita sadari.
Mari menjadi orang yang membawa dampak positif terhadap keluarga dan komunitas. Kita bukan manusia sempurna. Biarkan orang lain menjadi “mata” kita di area ‘Blind Spot’ kita sehingga KITA BISA MELIHAT apa yang TIDAK BISA KITA LIHAT dengan pandangan diri kita sendiri.
Let’s from now on, say that i’m strong in the strength of My Lord. Marilah sama2 kita katakan mulai saat ini, saya kuat karena bersama Allah. (Andre Wahjudibroto; dari grup WA IAMDP)-FR
———
Sajian psichologi lainnya :
- Tak pernah benci
- Gendong Aku sebulan sebelum menceraikanku
———–
Tak pernah benci
Daun yang ‘jatuh’, tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya dijatuhkan begitu saja. Tak melawan, bahkan mengikhlaskan semua. Hidup harus menerima dengan penerimaan yang indah. Hidup harus mengerti dengan pengertian yang benar.
Bahwa hidup harus memahami dengan pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa, penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah, meski harus lewat kejadian yang sedih, dan menyakitkan.
Biarkan saja daun itu jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya dan akan membawanya pergi entah kemana. (Nur Afandhi; dari grup WA78/79)-FR
————
Gendong Aku sebulan sebelum menceraikanku
Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan apartment kami. Teman-2 memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lalu kugendong nya masuk ke rumah. Dia tersipu malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yg kuat dan bahagia.
Ini kejadian 10 thn lalu. Hari-2 berikutnya berjalan biasa. Kami punya seorang anak, aku pengusaha bekerja dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset perusahaan meningkat, kasih sayang antara aku dan istriku sepertinya menurun. Istriku seorang PNS. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yg bersamaan.
Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat bahagia, namun kehidupan yang tenang seperti lebih mudah terpengaruh oleh perubahan tak terduga. Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.
Hari itu aku berdiri di balkon yg luas. Jane memeluk dari belakang. Hatiku terbenam dalam cintanya. Apartmen ini aku belikan untuknya. Jane berkata, “Kau laki-2 yg pandai memikat wanita.” Kata-2nya mengingatkan pada istriku. Ketika baru menikah, dia berkata : “Laki-2 sepertimu, ketika sukses akan memikat banyak wanita.” Memikirkan hal ini, aku ragu. Aku tahu, aku telah mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane “Kamu perlu memilih beberapa furniture, ok? Ada yg perlu aku lakukan di perusahaan.” Dia terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya me-lihat2 furniture. Pikiran bercerai makin jelas walau tampak mustahil. Bagaimanapun, sulit utk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku mengatakannya, dia akan terluka.
Sejujurnya, dia istri yang baik. Tiap malam, dia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk di depan tv. Makan malam segera tersedia. Kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya hiburan bagiku. Suatu hari aku tanya ke istriku dengan canda, “Kalau misalnya kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?”
Dia menatapku tanpa berkata. Kelihatannya dia percaya, perceraian tidak akan datang. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya ketika nanti dia tahu aku serius. Ketika istriku datang ke kantor, Jane langsung keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan menyembunyikan yang terjadi ketika berbicara dengannya. Istriku seperti dapat petunjuk.
Dia tersenyum ke bawahan-2 ku. Tapi aku lihat ada perasaan luka di matanya. Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa ragu lagi. Ketika pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku genggam tangannya “Ada yg ingin kubicarakan.” Dia duduk dan makan dalam diam. Aku lihat perasaan luka dari matanya.
Aku tidak bisa membuka mulutku. Tapi aku tetap harus mengatakan ini. Aku ingin bercerai. Aku mulai pembicaraan degan tenang. Dia seperti tidak terganggu dengan kata-2 ku, sebaliknya malah bertanya lembut, “Kenapa?” Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempar sumpit dan berteriak padaku, “Kamu bukan seorang pria!”
Malam itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, dia ingin cari tahu apa yg terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit memberikan jawaban, bahwa hatiku telah memilih Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya. Dgn perasaan bersalah, aku membuat perjanjian cerai yg menyatakan istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami & 30% aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu dan merobek-2nya. Wanita yg telah menghabiskan 10 thn hidupnya dgn ku telah menjadi seorang yg asing bagiku. Aku menyesal karena telah me-nyia2kan waktu, daya dan tenaganya,
tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yg telah aku katakan karena aku sangat mencintai Jane. Istriku menangis dgn keras, yg telah aku perkirakan. Bagiku, tangisannya adalah semacam pelepasan.
Pikiran tentang perceraian yg telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang menjadi tampak tegas dan jelas. Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis sesuatu di meja makan. Aku tidak makan, tapi tertidur cepat karena lelah seharian bersama Jane. Ketika terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak mempedulikan dan langsung kembali tertidur.
Paginya, dia menyerahkan syarat perceraian. Dia tidak ingin apapun dariku, hanya menginginkan perhatian sebulan sebelum perceraian. Dia minta dalam satu bulan itu, kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami menghadapi ujian dalam sebulan itu dan dia tidak mau mengacaukan si anak dengan kabar perceraian orangtuanya.
Aku setuju permintaannya. Dia minta satu hal lagi, untuk mengingat bagaimana aku menggendongnya ke kamar pengantin di hari pernikahan. Dia minta 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia gila. Aku terima permintaan yg aneh karena hanya ingin membuat hari-2 terakhir kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.
Aku beritahu Jane tentang syarat perceraian istriku. Dia tertawa keras dan berpikir hal itu berlebihan. “Trik apapun yg dia gunakan, dia harus menghadapi perceraian”, kata Jane menghina. Aku dan istriku sdh lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan utk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendong di hari pertama, kami berdua tampak canggung.
Anak kami bertepuk tangan. Katanya, “Papa gendong mama” Kata-2nya membuat aku terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan, aku berjalan 10 meter, dgn dirinya dipelukanku. Dia menutup mata dan “Jangan bilang anak kita perceraian ini.” Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkan di depan pintu. Dia pergi menunggu bus utk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.
Hari ke-2 kami berdua lebih mudah bertindak. Dia bersandar didadaku. Aku mencium wangi pakaiannya. Aku sadar, sudah lama tidak sungguh-2 memperhatikan wanita ini. Aku sadar dia sdh tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yg telah aku lakukan padanya.
Hari ke-4, ketika menggendongnya, aku merasa kedekatan kembali. Wanita ini seorang yang telah memberikan 10 thn kehidupannya padaku. Hari ke-5 & ke-6, aku sadar rasa kedekatan makin tumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu, semakin mudah menggendongnya. Mungkin karena rajin olahraga membuatku semakin kuat.
Suatu pagi, istriku pilih pakaian yg dia ingin kenakan. Dia coba beberapa pakaian, tapi tidak menemukan yg pas. Dia menghela nafas, “Pakaianku semua jadi kebesaran.” Tiba-2 aku tersadar dia jadi kurus. Ini lah alasan aku bisa menggendongnya dgn mudah. Aku terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan kepahitan luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh kepalanya.
Anak berkata, “Pa, waktunya menggendong mama.” Bagi dia, lihat ayah menggendong ibu keluar berarti penting dihidupnya. Istriku melambai ke anakku utk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku, takut akan berubah pikiran saat terakhir. Aku gendong dia, jalan dari kamar ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku. Aku menggendongnya dgn erat, seperti ketika di hari pernikahan kami.
Berat badannya yg ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendong nya, sulit bagiku utk bergerak. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dgn erat dan berkata,
“Aku tidak memperhatikan kalau selama ini kita kurang kedekatan.”
Aku ke kantor, keluar mobil cepat tanpa mengunci pintunya. Aku takut, penundaan apapun mengubah pikiranku. Aku jalan keatas, Jane membuka pintu dan aku berkata “Maaf, Jane, aku tak mau perceraian.”
Dia menatap heran, menyentuh keningku. “Kamu demam?”, tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, aku bilang aku tidak akan bercerai.”
Pernikahanku selama ini membosankan karena aku dan istriku tidak menilai detail kehidupan kami, bukan krn kami tidak saling mencinta. Kini aku sadar, sejak aku menggendong ke rumah di hari pernikahan, aku harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan kami. Jane tiba-2 tersadar. Dia menamparku keras sekali, membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.
Di toko bunga, ketika aku pulang, aku pesan satu buket bunga utk istriku. Penjual bertanya apa yg ingin aku tulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai maut memisahkan kita”. Aku sampai di rumah dgn bunga ditanganku, senyum di wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya utk menemukan istriku terbaring di tempat tidur. Dia sudah meninggal.
Istriku telah melawan kanker selama ber-bulan2 dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak memperhatikannya. Dia tahu dia akan segera meninggal, dia ingin menyelamatkan ku dari reaksi negatif anak kami, seandainya kami jadi bercerai. Setidaknya, di mata anak kami aku adalah suami penyayang. Hal-2 kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting dalam suatu hubungan.
Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di bank. Semua ini menunjang kebahagiaan tapi tidak bisa membahagiakan. Jadi, carilah waktu jadi teman bagi pasanganmu dan lakukan hal-2 kecil bersama utk membangun kedekatan itu. Milikilah Pernikahan yg sungguh-2 dan bahagia. (Hidayat B Praptono; dari grup WA78/79)-FR