Toshiba-Panasonic-Sony merana tapi Toyota Honda berjaya
The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp dan Toshiba. Artikel legendaris yang pernah saya tulis 4 tahun lalu, kini kembali bergema. Kita kenang kembali artikel monumental itu karena hadirnya sejumlah kabar kelam. Pabrik Panasonic dan Toshiba di Indonesia akan ditutup dan mem-PHK sebagian karyawan.
Secara global, Toshiba mengumumkan kerugian hingga 50 triliun rupiah. Sementara Sharp Jepang sebentar lagi akan mati, dicaplok oleh Foxconn, raksasa elektronik dari China. Namun pertanyaannya, kenapa sang samurai lain, yakni Toyota dan Honda tetap berkibar gemilang?
Apakah artikel The Death of Samurai itu hanya separo mitos? Hanya bualan sensasi dari bloger katrok bernama Yodhia Antariksa? Kisah kejatuhan raksasa elektronik Jepang Sony dan Toshiba meninggalkan duka kelam dan perih. Pertanyaannya : jika samurai elektronik itu terkapar luka dalam padang kurusetra kompetisi bisnis, kenapa samurai otomotif Jepang tetap tegak mengibarkan panji kemenangannya?
Kini Toyota resmi jadi perusahaan otomotif terbesar no. 1 di dunia, melibas Volkswagen dan GM (juga membuat Ford Indonesia ndak laku, dan menutup dealernya di tanah air). Lalu Honda tetap jadi raja jalanan, mobil dan jutaan sepeda motornya seperti laron. Desan2 mobil Honda selalu gemilang, seperti gambar yang saya pasang di awal tulisan ini.
Mobil itu namanya Honda BRV, dan akan dirilis bulan depan, tapi yang inden ribuan. Diramalkan Honda BRV jadi Car of the Year 2016. Jika Sony dan Toshiba dan Panosonic kian galau masa depannya, kenapa Toyota dan Honda terus bisa menari penuh sukacita? Ada tiga faktor menjelaskan hal itu terjadi. Mari kita telisik satu demi satu.
Faktor # 1 : Different Industry Landscape. Guru Strategi Mike Porter menulis risalah memukau tentang “industry competitive analaysis” : karakteristik industri dimana Anda berada menentukan nasib hidupmu. Dan industri elektronik/digital berbeda dengan industri otomotif, terutama dalam rate of innovation-nya.
Sejak 100 tahun silam, sejatinya tak banyak inovasi radikal dalam industri mobil – mesin mobil sekarang secara prinsip sama persis dengan mobil seratus tahun silam. Dalam 20 tahun terakhir, perubahan yang radikal terus terjadi dalam industri elekronik digital. Gelombang revolusi digital terus terjadi tiap hari.
Dengan high speed innovation itu, mudah bagi old players Sony dan Panasonic terpelanting, dan melongo melihat kecepatan rivalnya. Dengan laju inovasi yang lamban dan tidak radikal, seperti dalam dunia otomotif, old players akan terus bisa bertahan. Maka hampir semua raja otomotif adalah old companies seperti Mercedes, BMW dan Toyota.
Terpenting : entry barriers di industri otomotif jauh lebih rumit dari bikin hape. Tak mudah membangun pabrik mobil dengan seketika. Hanya bermodal pabrik kecil Anda bisa bikin smartphone hebat seperti Xiaomi dan One Plus. Ya, membuat mobil jauh lebih rumit daripada membuat smartphone – betapapun canggihnya gadget ini. Again, kenapa incumbent (old players) bertahan : sebab new players yang mampu membangun pabrik dan merk mobil baru sedikit. Tidak seperti industri digital elektronik.
Faktor # 2 : Buying Decision Process. Dalam ilmu perilaku konsumen dikenal istilah complex buying decision steps. Membeli mobil melibatkan uang ratusan juta pasti butuh decision making lebih kompleks. Dalam proses ini konsumen benar2 melihat kredibilitas brand, dan tak mau ambil risiko.
Brand2 lama seperti Toyota-Honda jauh lebih mudah membangun trust. Mobilnya jadi laku. Dan karena laku, akhirnya membuat resale value mobil mereka makin bagus. Ini makin membuat konsumen makin percaya. Siklus ini sulit dipatahkan new players. Dulu projek mocin – motor china yang murah Jialing gagal total. Konsumen tidak mau mambil risiko beli produk motor yang belum teruji kehebatannya.
Dalam pembelian smartphone atau piranti elektronik yang harganya hanya jutaan, acapkali konsumen lebih berani mencoba brand2 baru (seperti Oppo, Lenovo atau Xiaomi). Ditopang fitur menarik plus harga bersaing, pelan2 brand baru ini bisa menggerus old players dan membuat mereka terjungkal.
Harga mobil ratusan juta membuat konsumen mikir 1000x untuk beli brand baru. Harga smartphone yang dibawah tiga jutaan, acap mampu mendorong konsumen berani ambil risiko beli merk2 baru (new players). Itulah kenapa, kompetisi didunia elektronik dan digital jauh lebih brutal. Market leaders acap mudah terpelanting diganti new players, yang kemudian mati digilas new players yang lebih baru.
Grundig mati karena Sony. Sony mati karena Samsung. Samsung mati karena Oppo. Dan kelak Oppo akan mati digilas Maspion Sidoarjo atau Polytron dari Kudus. Dalam industri mobil, kejadian mengerikan seperti itu hampir mustahil terjadi. Toyota-Honda mungkin terus bertahan hingga 100 tahun ke depan.
Faktor # 3 : Innovation Power. Kalau aspek yang terakhir ini mungkin memang karena sebab internal di masing-masing perusahaan. Maksudnya, para manajer di Toyota dan Honda kemungkinan besar memang lebih kreatif dan inovatif dibanding para manajer di Sony dan Toshiba dan Panasonic.
Selain desain2 keren, Honda dikenal inovasinya bagus soal engine. Dominasinya dalam MotoGP membuktikan kehebatannya dalam inovasi soal mesin motor. Toyota Prius salah satu karya monumental dalam soal inovasi mobil dengan teknologi hybrid. Ini juga bukti bahwa dalam soal inovasi, Toyota bisa menjadi top leader. Tidak seperti rekan mereka di Sony yang suka melongo melihat kecepatan rivalnya.
DEMIKIANLAH, tiga faktor kunci yang barangkali bisa menjelaskan kenapa samurai otomotif Jepang terus bisa berkibar. Yakni faktor karakteristik industri, faktor buying decision making, dan juga karena faktor inovasi internal perusahaan.
Dalam industri elektonik digital, mungkin benar kata-kata The Death of Samurai; Namun dalam industri otomotif, kalimat yang benar adalah ini : Long Live Samurai; Arigato San. (http://strategimanajemen.net/2016/02/08/kenapa-sony-panasonic-dan-toshiba-merana-namun-toyota-dan-honda-tetap-berjaya/)-FatchurR