Aki-aki belajar menyanyi (FE 123)
Saya terlalu 4T (Tidak Terasa Terlalu Tua), ketika menolak tawaran anak saya yang akan mengantar saya ke Setasiun Gambir. “Nggak perlu diantar, jauh . Nanti kamu pulang lagi, macet”, saya mencegahnya.
“Jaman sekarang jaman kepenak. Ada taxi on-line”, lanjut saya dengan pede. Saat itu memang saya terlalu pede, langsung ke Setasiun Gambir dan akan membeli “go-show”, biasanya sih selalu dapat ticket pulang ke Jogja.
Saya langsung menuju ke loket sebelah utara. Hanya ada satu orang yang sedang antri. Ketika giliran saya dimuka loket, ibu petugas yang berseragam ungu, tanpa ekspresi menjawab permintaan saya.
“Habis pak. Ke Jogja hari ini, semua sudah habis”, padahal saat itu masih siang, jam empat pun belum.
“Yang malam bu?”, tanya saya lagi.
“Semua sudah habis pak”, jawabnya datar. Dan saya kebingungan. Lha bagaimana saya pulang. Padahal hari Senin saya ada tugas, harus sudah ada di Jogja.
Mungkin karena iba melihat saya, seorang kakek yang kebingungan bak kera kena sumpit, petugas yang baik hati itu menawarkan solusi,
“Masih ada kereta ekonomi Bogowonto, berangkat dari Setasiun Senen Pak”, katanya membantu.
“Bisa beli disini bu?”, tanya saya, segera saja sumringah.
“Tidak pak, tapi bisa dari mesin di depan. Masih ada 67 tempat duduk”, sebuah informasi yang sangat berharga.
Saya segera menuju ke sisi luar timur dari bagian utara setasiun Gambir dan melihat ada belasan mesin ticket yang berjejer. Setelah mencoba beberapa kali gagal dari beberapa mesin yang bisa memberikan uang kembali, akhirnya saya bisa memilih kereta, memilih tempat duduk dan ….sepotong kertas booking yang saat itu luar biasa nilainya itu muncul dari mesin.
Saya masih memiliki waktu lima jam menunggu. Agak menyesal juga saya menolak diantar anak saya, bila tidak, saya masih banyak waktu untuk melanjutkan ngobrol dengan anak bungsu saya.
Saya kemudian memutuskan untuk makan di sini. Setasiun Gambir adalah salah satu tempat makan di Jakarta yang murah, enak dan banyak pilihannya. Saya memilih makan di Hok-Ben, yang sejak awal berdiri sudah saya kenal. Kebetulan dahulu pemiliknya adalah kontraktor Telkom dan darinya saya banyak sekali belajar filosofi tentang bisnis restoran, yang ternyata sangat sukses bertahan.
Usai makan, saya keluar dan pesan taxi on-line ke setasiun Pasar Senen. Dari aplikasi yang canggih itu, saya bisa mendapat taxi, tahu nama dan wajah pengemudinya, jenis dan nomor mobilnya bahkan saya bisa tahu berapa taripnya. Sungguh menolong. Saya tahu, jarak Gambir ke Senen tidaklah jauh, namun tarip yang dikenakan sungguh kebangetan dan tidak masuk akal. Rp. 3.000,- Tiga ribu perak saja.
Lebih murah dari seikat kangkung di pasar Rawamangun. Setelah agak payah juga saya menemukan tempat ia menunggu, ya karena saya tidak paham di mana letak Roti “O” di setasiun ini, terpaksa saya bolak balik sepanjang setasiun. Entah mengapa saya tidak membatalkan pesanan, mungkin karena kasihan, kesalahan bukan di pihak pengemudi.
Pada umumnya pengemudi taxi-on line ramah dan menyenangkan. Mereka juga berharap mendapatkan “bintang” dari penumpangnya. Kali ini pengemudi saya asli Padang, lulusan ISTI Jogja. Setelah keluar dari tempat bekerjanya karena intrik dan hasad (QS Surat Al Falaq 113:5), anak muda itu kemudian kerja serabutan.
Selain pengemudi Taxi, ia juga bisnis jual beli kursi sofa, ia beli kursi sofa bermutu yang sudah kumal, diperbaiki lagi dan dijual lagi, ia juga guru olah vocal. Pelanggannya, anak-anak kecil yang belajar vocal yang benar,cukup banyak. Bila sejak kecil sudah mengenal vocal yang benar, jelasnya, kelak ia akan bisa bernyanyi dengan baik dan benar. Ia akan pandai menyesuaikan nada.
Wah? Ini rezeki buat saya. Betapa beruntungnya saya.
“Itu penyakit utama saya”, komentar saya bersemangat.
“Nada organ kemana, suara saya juga entah kemana, nggak jelas”, lanjut saya. Kemudian saya minta ia mengajari saya. Kemudian bergemalah suaranya yang lantang tapi jernih di dalam ruang mobil yang kecil itu…… dooooo……… reeeeee……..miiiiiii. Tidak itu juga, ia juga memberikan tip bagaimana mengatasi suara saya yang sering nggalur ….. pilih irama yang cocok pak, tidak perlu sama dengan irama yang asli.
Lho kok persis saran istri saya di rumah, saya kacau kalau iramanya soft rock, lebih pas kalau bosas atau ballad. Namun sayang seribu kali sayang (meminjam baitnya penyanyi Said Effendi), pelajaran menyanyi ini sudah harus berakhir karena kami sudah memasuki halaman setasiun Senen.
Saya sudah harus turun. Selain tidak sampai hati saya membayar tiga ribu, saya juga memberi lebih, sekedar ongkos kursus singkat menyanyi. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
(seri pertama dari rencana tri-logi kisah kakek tua)