Puasa Melahirkan Kesungguhan Dalam Pengabdian
(ramadan.sindonews.com; oleh Imam Shamsi; Presiden Nusantara Foundation)-
Di malam2 terakhir Ramadhan, ujian itu makin besar. Kerap ada godaan berbentuk kegiatan2 yang merugikan. Di antaranya menyibukkan diri dengan ragam persiapan Idul Fitri.
Ada pula yang mengalami keadaan futuur (hilang semangat) di akhir2 Ramadhan. Semangat di awal, tapi kehilangan semangat di akhir Ramadhan. Mereka yang setengah menyerah di malam2 akhir Ramadhan ini merugi besar. Apalagi dalam pandangan Islam, amalan2 itu banyak dinilai pada akhirnya.
“Al-a’maalu bi khawaatiimiha” (amalan2 itu banyak ditentukan bentuk akhirnya). Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan ini mulia dan istimewa. Menyia-nyiakannya berarti lepasnya kesempatan emas yang Allah berikan kepada kita.
Salah satu amalan yang dianjurkan di 10 malam terakhir Ramadan itu i’tikaf, yang tak pernah ditinggalkan Rasul SAW. Secara fiqh i’tikaf dipahami : Berdiam diri di masjid sebagai ibadah karena Allah SWT.
Defenisi sederhana ini menyimpulkan amalan ini bentuk mujadah (kesungguhan) dalam meraih ridho dan rahmah Ilahi. Selain kesungguhan, amalan ini bentuk konsentrasi (menjauhkan diri dari gangguan2) dalam beribadah kepada Allah dalam hari-hari itu.
Rasul SAW menyunnahkan pada umatnya beri’tikaf 10 hari. Beliau melakukan hal sama. Bahkan di akhir hayat beliau, menurut riwayat lain, Rasulullah melakukan i’tikaf selama 20 hari. Dari cara Rasul SAW dipahami ajaran ini dimaksudkan menghadirkan konsentrasi penuh bermujahadah menuju taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah di 10 malam terakhir Ramadhan.
Saya tak bermaksud mendiskusikan isu2 fiqhiyah i’tikaf. Tapi sekadar menyelami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami maknanya, amalan ritual yang agung ini tidak sekedar berakhir dengan hitungan2 pahala semata.
Ibadah2 yang kita lakukan untuk sekadar pahala2 tidak memiliki nilai tambah (added value). Ibadah2 itu seolah bagaikan “jual-beli” yang kembali modal. Seolah ibadah yang kita lakukan itu barteran pahala dari Allah. Kita lakukan karena berharap diberi (rewarded). Itu tidak salah. Sebab hadits mengatakan dalam menjalanakan ibadah, ambillah puasa misalnya, mengharap balasan itu wajar.
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang berpuasa karena iman dan ihtisaaban (berharap pahala) Allah mengampuni dosa masa lalu”. Ibadah2 itu tidaklah salah. Bahkan menjadi penyebab ampunan. Tapi tidak memberikan dampak nyata dalam kehidupan pelakunya.
Tujuan I’tikaf
Pertama, i’tikaf membangun kedekatan dan kebersamaan dengan Allah SWT. Ini masa terbaik untuk menyendiri, tanpa gangguan apapun dalam kebersamaan dengan Allah SWT. Dengan begitu seorang hamba jadi kuat, damai, tenteram, tidak mudah goyah oleh goncangan hidup duniawi.
Kedua, i’tikaf bertujuan membangun komitmen pengabdian (Ibadah) dengan sungguh2. Di saat inilah dunia sementara dikesampingkan. Yang ada jiwa ubudiyah pada Allah SWT. I’tikaf mengajarkan agar hidup duniawi ini tidak harusnya mengganggu hubungan kita dengan Allah SWT.
Ketiga, i’tikaf dimaksudkan bertafakkur, dan jadi jalan mendasar dalam proses menemukan hidayah. Tafakkur dan dzikir itu dua sayap yang membawa kita terbang menuju kebesaranNya. Momen i’tikaf menguatkan keduanya.
Keempat, i’tikaf juga sebagai masa2 introspeksi diri atau muhasabah. Yaitu perhitungan terhadap diri sendiri. Jika tafakkur berakhir dengan penemuan kebesaran Allah, maka muhasabah bertujuan untuk menemukan jati diri.
Kelima, i’tikaf juga momentum menemukan nurani kemanusiaan kita. Nurani itu biasa disebut kata hati yang selalu jujur. Dengan menemukan nurani itu seseorang akan menjalani hidup dunianya dengan kejujuran (honesty).
Intinya, i’tikaf itu bagian dari proses membangun pribadi hamba yang solid. Bukan sekadar ritual seolah jadi rutinitas tahunan di hari2 terakhir Ramadhan. Dan semoga Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua. Amin.
Â
Di bulan yang suci ini, khususnya di 10 malam terakhir, kami ajak semua jadi bagian dari perjalanan dakwah  dan Berikan donasi terbaik (rhs; Bahan dari : https://ramadan.sindonews.com/read/1408596/69/puasa-ramadhan-melahirkan-kesungguhan-dalam-pengabdian-1559149787)-FatchurR *