Agar pebisnis CP tidak nakal
Aturan pemerintah soal penyelenggara jasa pesan premium sangat ditunggu oleh pelaku industri konten. Aturan baru diharapkan dapat menggairahkan kembali para pelaku industri kreatif digital pascakasus sedot pulsa.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), pada minggu pertama bulan Mei ini, akan segera mengeluarkan revisi Peraturan Menteri Kementerian Kominfo Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat ke Banyak Tujuan (broadcast).
Gatot S Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, mengatakan pada awal Mei 2012, revisi aturan akan segera terbit menggantikan aturan lama. Saat ini, aturan sedang dilakukan uji publik selama satu atau dua minggu.
Ia mengakui revisi permen itu begitu lama. Pasalnya, BRTI ingin mendapatkan solusi yang komprehensif untuk meminimalkan celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan penyedia konten nakal. “Permen Nomor 1 Tahun 2009 banyak bolongnya, dan ini merugikan CP (content provider),” kata Gatot di Jakarta, Selasa (17/4).
Revisi permen nantinya menjadi dasar bagi para penyedia konten untuk memulai bisnis mereka yang sempat lesu pasca pemberlakuan surat edaran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) 18 Oktober 2011 yang disebut dengan “Black October” oleh pelaku industri kreatif digital.
Surat edaran BRTI menyebutkan penyedia konten tidak dibolehkan melakukan penawaran penawaran konten melalui SMS/pop screen/voice broadcast, dan deaktivasi semua layanan premium, seperti SMS, MMS, nada dering, games, dan wallpaper, dengan cara unreg massal.
Hasilnya, pelaku industri kreatif, seperti artis, pengembang game, dan penyedia konten, menjadi tiarap. Mereka tidak lagi dapat menjalankan bisnisnya secara normal karena larangan yang diterbitkan oleh BRTI itu berpengaruh pada pendapatannya.
Industri kreatif yang selama ini menggantungkan pendapatannya pada promosi lewat SMS dan SMS premium untuk produknya tentu sangat terpukul. Para artis, misalnya, pendapatannya dari royalti nada sambung atau ring back tone (RBT) terjun bebas ke titik terendah.
Revisi Permen, menurut Gatot, juga akan mengatur sanksi secara lebih tegas. Peringatan pertama dan ketiga dikukan dalam waktu tiga minggu. Setelah itu, dilakukan verifikasi atas kecurangan. Jika terbukti ada kesalahan, izin layanan konten dan operator dicabut.
Rancangan permen yang akan segera dikeluarkan mengharuskan anggota penyedia konten terdaftar di BRTI, seperti nama perusahaan, alamat, dan produknya. Menurut Gatot, dengan terdaftar nantinya pemerintah akan lebih mudah melacak jika terjadi permasalahan.
Dalam aturan baru, modus pencurian pulsa dihindari dan merupakan hal terlarang. Auto reg atau pendaftaran otomatis sangat diharamkan. Penawaran konten juga harus mendapatkan persetujuan pelanggan.
Nantinya, konten premium harus dikonfirmasi, misalnya: “Apakah Anda akan berlanggan konten ini?” Jika ya, dilakukan konfirmasi: “Apakah Anda yakin akan berlangganan konten ini?”
Pengumpulan nomor atau address harvesting dilarang. Biasanya, para penyedia konten nakal memperoleh nomor dari nomor penjual pulsa saat mengisi pulsa. Namun, pemerintah tidak akan terlalu mengatur (over regulated).
Pebisnis Nakal
Sekretaris Umum IMOCA (Indonesian Mobile & Online Content Provider Association), Ferrij Lumorang, mengatakan kondisi orang-orang kreatif yang bergerak dalam industri tersebut memang sangat memprihatinkan. “Pendapatannya dari RBT tidak sampai 10 persen dari sebelumnya karena tidak adanya iklan untuk mereka lewat SMS,” kata dia.
Ferrij mengakui masalahnya memang pada penyedia konten. Mereka banyak yang nakal. Sebagai salah satu penyedia layanan konten, Ferrij merasa dirugikan dengan keadaan ini. “Mereka itu pencuri yang berkedok content provider, bukan content provider yang kemudian menjadi nakal,” kata dia.
Perkumpulan Media Lintas Komunitas (MediaLink) meminta pemerintah segera membuat aturan yang memadai. Aturan harus memberikan kepastian kepada industri konten dengan aturan yang mapan. Munculnya era konvergensi antara media telekomunikasi dan penyiaran akan memunculkan wilayah abu-abu.
“Grey area yang memungkinkan kasus yang merugikan konsumen seperti pencurian pulsa dapat terulang lagi,” ujar Mujtaba Hamdi, Koordinator Program MediaLink.
Permen harus mampu meregulasi industri konten. Dengan demikian, dapat memberikan ruang bagi para pelaku industri kreatif untuk berkembang di samping memberikan kepastian hukum kepada konsumen. (hay/E-6; http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/88830)-FatchurR