Maafkanlah
Rekan-rekan ada sedikit tulisan yang perlu direnungkan dari sumber : pengusaha muslim;
Salah satu pembicara favorit saya di salah satu radio yang saya sering dengarkan saat sedang menyetir kendaraan baik sedang pergi atau pulang kantor dan dari mengelola bisnis adalah Arvan Pradiansyah. Kita kenalan yuk dengan artikel beliau yang saya baca di satu milis sebelah beberapa tahun yang lalu.
Sudahlah, Maafkan Saja
Aneh ya, kita sering, bahkan dengan sengaja memasukkan “makanan-makanan beracun” ke dalam pikiran kita. Kita tak sadar bahwa inilah sumber penderitaan kita. Salah satu makanan yang paling berbahaya tersebut bernama: ketidakmauan kita untuk memaafkan orang lain
Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena dunia berjalan tak sesuai kemauan kita. Kita marah karena pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak melakukan yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam kemarahan ini berhari-hari dan bertahun-tahun.
Banyak kejadian yang memancing emosi. Pengendara motor yang memaki kita, mobil yang menyalib dan hampir membuat kita celaka, orang yang membobol ATM kita, pembantu yang membohongi kita, dan bos yang pelit luar biasa. Kita mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah merugikan kita sendiri.
Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan orang lain berdampak hebat terhadap tubuh: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistem kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia.
Saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mahasiswa yang mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Kebanyakan mereka memendam berbagai kemarahan, kepada ortu dan orang-orang di sekitar mereka. Salah seorang telah 10 tahun memendam kebencian kepada wanita istri kedua ayahnya.
Si ayah yang dijuluki orang paling sholeh di kantornya tanpa diduga mempunyai ”simpanan.” Wanita ini kemudian dinikahinya, dan akhirnya meninggal karena stroke lima tahun lalu. Tapi, kemarahan dan kebencian si anak hingga kini belum juga mereda.
Musuh kita bukan yang membenci kita tetapi orang yang kita benci. Ada cerita seorang lelaki bekas tahanan politik di jaman Orde Baru yang mengunjungi kawannya sesama eks tapol. Sambil mengobrol dia ditanya, “Apakah kamu sudah melupakan rezim Orba?” Jawabnya, “Ya, sudah”, Si kawan berkata, “Saya belum. Saya sangat membenci mereka”. Lelaki itu tertawa kecil dan berkata, “Kalau begitu, mereka masih memenjara dirimu”.
Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita. Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita, bukan di luar. Karena itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya, belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan.
Banyak orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain tetapi untuk mereka sendiri.
Orang yang suka memaki dan bersikap kasar sebenarnya tak menyadari bahwa mereka sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan kena batunya. Inilah konsekuensi logis dari hukum alam.
Mempraktikkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Saya ingat, saat sedang duduk menunggu anak saya sekolah pada minggu lalu, seorang ibu yang lewat menubrukkan tasnya yang cukup berat ke kepala saya, tanpa permisi apalagi minta maaf.
Orang-orang yang melihat kejadian itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mencela kecerobohannya. Saya mencoba mempraktikkan konsep ini, dan langsung memaafkannya. Ibu itu kelihatannya sedang kalut. Tak mungkin ia sengaja menabrak saya begitu saja.
Untuk mencapai kebahagiaan, berikan maaf kepada orang lain. Hentikan kebiasaan menyalahkan orang lain. Ingat kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Hanya Allah-lah yang Maha Suci dan Maha Sempurna. Saya menyukai apa yang dikemukakan Gerarld G Jampolsky dalam bukunya Forgiveness, The Greatest Healer of All. “Rela memaafkan adalah jalan terpendek menuju Tuhan”.
Semoga bermanfaat dan senang rasanya telah membagi tulisan ini dengan anda . (Adi Djoko; bahan dari Arvan Pradiansyah – Dosen UI dan pengamat manajemen SDM)-FR