Iptek dan Lingk. Hidup

Empat putera petir

(Manufacing hope-23); Ini adalah tulisan kenangan beberapa tahun lalu. Saya terkesan dengan logika berpikir Prof Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri ESDM yang meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora NTB, Sabtu (21/4), yakni: kurangi pemakaian BBM.

 

Kalau sudah tahu bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga terbatas dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus mempertahankan pemakaian BBM? Almarhum sering mengajak saya berbicara soal itu. Alm merasa perdebatan soal BBM yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar.

 

Tidak menyelesaikan akar persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan upaya yang ekstra keras mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan bakar gas (BBG).

 

Alm setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Almarhum mengatakan BBM harus dikeroyok dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan listrik. Tanpa usaha keras dari 2 jurusan itu akan terus timbul kesan di masyarakat, pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih menyukai impor BBM.

 

Pertamina dikesankan senang impor BBM karena bisa jadi obyek korupsi-kolusi. Istilah mafia impor BBM begitu gencar, entah seperti apa wujud mafia itu. Seserius Pertamina berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung. Apalagi, kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat

 

Tak mungkinkah kita berhenti impor BBM? Tentu bisa. Tapi syaratnya berat: kita harus memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita kini 50 juta kiloliter/tahun. Kilang kita hanya bisa memproduksi BBM kurang dari separonya.

 

Kalau kita menghendaki tidak impor BBM, kita harus membangun kilang sebanyak dan sebesar yang ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak: Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total kapasitas produksi BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.

 

Di sinilah pokok persoalannya. Mampukah kita membangun kilang baru sebanyak kekurangannya itu?

Sejak 15 tahun, kita tidak pernah mampu membangun kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun Pres. Soeharto (1994). Presiden berikutnya tidak sempat mikir pembangunan kilang. Padahal, jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.

 

Baru tahun 2011 Pres-SBY memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun 2012 diputuskan membangun dua kilang lagi. Tapi, Pertamina tidak mungkin membiayai pembangunan kilang sendiri. Sebuah kilang kapasitas 300.000 barel, perlu investasi Rp 70 triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.

 

Pertamina harus menggandeng investor. Mencari investor tidak mudah. Di samping biaya besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun kalau diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di situ. Beda jenis minyak mentahnya beda pula desain teknologinya.

 

Para pemilik minyak mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang berminat, misalnya, minta berbagai syarat yang luar biasa berat: tanahnya seluas 600 ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.

 

Kalau masa pemerintahan SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus, ini warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.

 

Dari gambaran itu, jelas sampai 5 tahun ke depan impor BBM kita akan terus meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan mobil listrik nasional berhasil dimassalkan. Kilang baru itu, seandainya pun berhasil dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.

 

Kita tahu persis apa yang terjadi 5 tahun ke depan. Saat kilang itu nanti mulai berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi. Di sinilah Prof Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut beliau, seharusnya juga dilihat dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM, menurut beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM sebanyak-banyaknya

 

Kalau Prof Widjajono mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya tahu konversi gas bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik nasional. Namun, kami sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat upaya ini tidak mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan semangat Angkatan 45.

 

Saya bersyukur sempat menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik nasional. Ribuan email dan SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran mobil listrik nasional itu. Dan yang secara serius mengajukan konsep, desain, dan siap memproduksikannya ada empat orang.

 

Saya sudah melakukan kontak intensif dengan 4 orang. Saya sudah membuat grup email bersama di antara 4 orang ini. Kami bisa rapat jarak-jauh membicarakan program ke depan. Tanggal 21/4/2011, kami menyelenggarakan rapat sesuai program semula, meski pun rapat itu berlangsung di dunia maya.

 

Empat orang itu adalah orang muda yang luar biasa. Ada Mario Rivaldi. Dia kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB, dapat bea siswa kuliah di Jerman. Mario sudah melahirkan prototype sepeda motor listrik dan mobil listrik. Saya sudah pernah mencobanya di Cimahi. Mario siap memproduksi mobil listrik nasional. Selama ujicoba itu 3 tahun terakhir, Mario bekerjasama dengan LIPI dan ITB.

 

Ada Dasep Ahmadi kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB (Teknik Mesin), lanjut sekolah di Jepang. Dasep bekerja lama di industri mobil, jadi tahu soal permobilan. Kini Dasep mengembangkan industri mesin presisi dan memasok mesin untuk industri mobil. Dasep siap melahirkan prototype mobil listrik nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini Dasep sedang mengerjakan mobil-mobil itu.

 

Ada Ravi Desai. Anak muda ini lahir di Gujarat, tapi lama menjadi WNI. Dia lulusan universitas di India dan kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia mendirikan D Innovation Center dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC dan AC drive dan memasarkannya sampai ke luar negeri. Kini Ravi mengerjakan dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai.

 

Ada pula Danet Suryatama. Anak Pacitan ini lulusan ITS lanjut kuliah di Michigan, AS. Danet bekerja di bagian teknik pabrik mobil besar di AS, Chrysler, 10 tahun. Danet siap memproduksi mobil listrik nasional. Saat ini, mondar-mandir AS-Indonesia, dan menyelesaikan contoh mobil listrik nasional yang juga siap dikendarai.

 

Tentu saya bisa salah. Lantaran email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin saja ada nama-nama lain yang tidak kalah hebat dan siapnya namun terlewat dari mata saya. Untuk itu saya siap menerima koreksi dan nama susulan.

 

Kepada ke-4 orang itu saya informasikan betapa besar perhatian Pres-SBY pada perencanaan mobil listrik nasional. Saya kemukakan suasana pertemuan antara Pres-SBY dan 4 rektor perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI, dan ITS) yang penuh dengan semangat.

 

Waktu itu para rektor menyatakan sangat mendukung kelahiran mobil listrik nasional ini dan sudah waktunya dilahirkan. Para rektor juga mengemukakan masing-masing perguruan tingginya siap memberikan dukungan apa saja.

 

Sebenarnya saya ingin menghadirkan Prof Widjajono dalam pertemuan dengan 4 putra petir itu dalam waktu dekat. Tapi, Prof Widjajono lebih dulu meninggalkan kita. Meski begitu Prof, saya berjanji akan tetap meng-emailkan hasil pertemuan dengan 4 putra petir itu ke alamat email Anda yang pernah Anda berikan kepada saya.

 

Saya juga berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik nasional itu nanti ke alamat emailnya. (Dahlan Iskan; 23/4/2012; ex Menteri BUMN; http://dahlaniskan.wordpress.com/2012/04/23/empat-putera-petir-untuk-prof-widjajono/)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close