Psikologi

Memahami tabur-tuai

Ada kantor2 instansi pemerintah, ditemukan cermin. Diatasnya  tertulis : “Sudah rapikah anda?” Kalimat ini sepele. Tapi bagi yang menengok pantulan dari cermin itu dan menemukan dirinya kurang rapi, pertanyaan ini seolah menyindirnya.

 

Kerapian (apalagi di instansi pelayanan masyarakat) bisa mencerminkan pelayanan yang diberikan instansi ini. Jika yang di kantor itu tampil rapi, melayani dengan senyuman, bisa dipastikan, minimal bayangan kepuasan muncul dari wajah warga yang berurusan dengan kantor tersebut. Sebaliknya, jika yang melayani saja kucel, cuek, dan kadang sembari berwajah seram tanpa senyuman, kita pun akan segan dan kurang nyaman.

Dari hal kecil, bisa berdampak besar. Apa yang tercermin di balik kaca tersebut, bisa menjadi tolok ukur, “apa” dan siapa yang ada dalam diri yang berkaca. Ini mengingatkan saya pada hukum tabur tuai. Hukum ini sebenarnya sudah menjadi pemahaman umum di mana saja. Namun, saya ingin kembali mencoba membahasnya, untuk mengingatkan kita semua, apa yang kita raih hari ini, adalah “buah” dari apa yang kita tanam.

Untuk membahas filosofi tersebut, berikut saya kutip sebuah kisah klasik:
Suatu kali, di masa Dinasti Qi di Tiongkok, ada seorang perdana menteri yang terkenal dengan kecekatan dan kerja kerasnya. Namanya Tian Ji. Suatu kali, ia menerima 100 tael emas dari salah seorang koleganya karena dianggap sudah menolongnya. Ia menolak berkali-kali. Namun, karena dipaksa berulang kali, ia menerimanya dengan berat hati.

Begitu sampai di rumah, ia memberikan emas tersebut kepada ibunya. Namun, mengetahui hal tersebut, sang ibu langsung murka. Ia mengatakan, bahwa jumlah tersebut setara dengan pendapatannya sebagai perdana menteri setelah bekerja tiga tahun. “Kamu merampok uang orang atau mendapat sogokan karena kedudukanmu?” tanya ibunya dengan nada marah.

Tian Ji tertunduk malu. Ia pun mendapat banyak nasihat dari ibunya. “Sebagai orang terpelajar, seseorang harus mengatur perilakunya dengan penuh kewaspadaan. Ia juga harus bisa menjaga nama baiknya dan tak kan pernah mengambil apa yang bukan menjadi miliknya. Seorang terpelajar juga tak boleh punya hal yang disembunyikan, sebagaimana dia tak pernah curang dan mengambil keuntungan dari orang lain. Seorang terpelajar akan menolak hal yang mencurigakan dan menolak sogokan.”

“Kamu bertanggung jawab terhadap negeri ini, maka kamu harus memberikan contoh yang baik kepada semua orang,” lanjut sang ibu. “Tapi saat ini kamu sudah menerima barang yang bukan hakmu. Kamu telah berkhianat pada amanah yang diberikan dan rakyatmu. Kamu benar-benar telah mengecewakanku..”

“Sekarang, kamu harus mengembalikan emas tersebut, dan mintalah hukuman kepada raja!” seru ibunya.

Tian Ji merasa sangat malu pada dirinya sendiri setelah mendapat teguran keras dari ibunya. Dia pun segera mengembalikan emas tersebut. Ia juga segera menghadap baginda raja untuk mengakui kesalahan yang telah diperbuat, memohon hukuman, sembari mengajukan pengunduran diri karena malu telah berbuat cela.

Mengetahui hal tersebut, sang raja memuji betapa tinggi moralitas yang diajarkan ibu kepada Tian Ji. Maka, ia pun berkata kepada seluruh pejabatnya, “Seorang ibu yang bermoral tinggi, telah melahirkan anak yang bermoral tinggi pula. Sekarang aku tak khawatir lagi bahwa di negeri ini akan terjadi penyimpangan, karena engkau punya ibu yang luar biasa. Aku mengampunimu Tian Ji, atas apa yang kau perbuat.”

Raja bahkan kemudian membuat perintah kepada seluruh negeri untuk belajar moral dari ibu Tian Ji. Sebab, ia merasa, ibu yang bisa meletakkan dasar moral bagi anaknya, akan mampu jadi contoh yang luar biasa. Sejak kejadian itu, Tian Ji makin meningkatkan standar kejujuran dan kebaikan di negerinya.

Dari kisah tersebut, kita bisa belajar, bahwa apa yang “ditanam” sang ibu pada Tian Ji menjadi “buah” kebaikan yang berlaku selamanya. Bahkan, “tanaman” itu terus berkembang, karena sang ibu menjadi contoh bagi seluruh negeri tentang bagaimana mendidik moral untuk kemajuan bangsanya.
Inilah salah satu bentuk makna, bahwa apa yang kita tanam akan kita tuai. Maka, kalau ingin mendapat banyak kebaikan, taburlah kebaikan. Jika ingin sukses, bantu jugalah orang lain untuk sukses. Jika ingin meraih kebahagiaan, berbagilah untuk memperbesar dampak kebahagiaan. Sebaliknya, jangan pula membiasakan diri menabur dan membiarkan bibit-bibit miskin mental, agar jangan berkembang sikap negatif yang banyak merugikan.

Mari, terus tanam dan pelihara moralitas dan budi pekerti yang tinggi. Jaga sikap dan tindakan agar terus disirami kebaikan. Semoga makin banyak kebaikan yang kita petik dan tumbuh subur di negeri yang kita cintai ini. (http://andriewongso.com/articles/details/14115/Hukum-Tabur-Tuai-Mengajarkan-Banyak-Hal)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Check Also
Close
Back to top button
Close
Close