Waktoe itoe-Beruk : Takaran beras
Cerita ‘Waktoe Itoe’ ini cerita tentang Indonesia di waktu yang lalu. Kita batasi paling tidak 40 tahun yang lalu ya. Anda juga sangat ditunggu cerita pengalamannya. Cerita bisa apa saja, pokoknya menarik. Bisa juga mengambil cerita sendiri, orang tua, kakek-nenek, guru, dsb.
Sampai tahun 1960-an, pasar tradisional masih sederhana, apalagi di kampung2. Jalan atau gang di pasar itu belum disemen atau di-pavling, jadi hanya tanah biasa. Saat itu pemilik ‘kios’ atau bangunan “permanen”, berupa bale2 bambu, dengan atau tanpa atap juga belum banyak. Maka banyak pedagang menjual dagagannya di tanah, dengan digelari tikar dari anyaman bamboo; tikar dari daun pandan atau daun mendong. Tikar plastik saat itu belum ada.
Waktu itu banyak pedagang beras kecil di pasar tradisional. Mereka ini menjual beras sekala kecil, paling sampai 50 kg. Tiap hari pedagang kecil ini, ibu2, menggendong, memanggul atau memikul beras dari rumah, lalu menggelar tikar di pasar, lalu menuang beras di tikar yang terbuka dari anyaman daun pandan (duri) atau daun mendong. Selain menjual, mereka juga beli beras dari masyarakat.
Karena sekala kecil, maka tidak ekonomis kalau mereka bawa timbangan, selain harganya tidak murah, juga repot bawanya tiap hari, karena mereka ini tidak punya apa2 di pasar, selain hanya ‘kavling’ tanah seluas 1-2 M2. Beli alat ukur literan bagi mereka relatif mahal, tak sesuai dengan skala bisnis mereka.
Maka saat itu para penjual beras membawa takaran beras masing2 dari rumah. Takaran ini berupa beruk, yaitu takaran yang dibuat dari batok kelapa hampir utuh. Mungkin maksudnya takaran satu liter. Namun karena batok kelapa besarnya bermacam-macam, maka beruk ini tidak seragam, baik bentuk maupun besarnya.
Maka kadang para pembeli memilih penjual yang beruknya bersar dengan harga per takaran sama. Oh ya, saat itu banyak orang yang hanya mampu beli beras 1-2 beruk saja tiap belanja beras. Ada pula orang yang jual beras 1-2 Kg untuk beli sayur mayur yang akan dimasak hari itu. Maka para pedagang ini tetap saja laris manis dalam berdagang.
Saat itu pemandangan di pasar menarik. Para penjual beras berjejer-jejer memperdagangkan berasnya di tikar, semua berteriak memanggil-manggil para calon pembeli. Lalu berbagai macam beruk nampak di depan mereka. Sungguh pemandangan nan indah. (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR