Kok bisa ya? Lebaran nan bahagia
Pak Sabar punya kakak, namanya Pak Sukur. Keluarga Pak Sukur ini punya asisten rumah tangga, bernama Mawar. Sudah 20 tahunan Mawar ikut Pak Sukur. Dia punya suami dan dua orang anak yang sekolah di SMA dan SMP.
Mawar ini ortunya masih ada dan tinggal di kampung di Kebumen Jateng. Mawar bersaudara 9 orang dankini semua masih hidup, beranak, bercucu. Kakak tertuanya sudah punya ‘canggah’, artinya cucunya sudah bercucu. Untuk diketahui kalau bahasa Jawa, urutan tujuh keturunan adalah anak – putu (cucu) – buyut – canggah – wareng – udeg-udeg – gantung siwur.
Orang tua Mawar ini, sebutannya Nini Mawar dulu hidupnya susah, maka anak2nya tidak bersekolah tinggi, paling pernah duduk di bangku SD. Pekerjaan Mawar dan saudara2nya juga tidak hebat2, hanya pegawai atau pekerja rendahan, atau jadi asisten rumah tangga seperti mawar itu.
Saudara yang paling hebat hanya tukang cuci pesawat terbang. Kini anaknya sudah ada yang kuliah di UGM. Mawar bersaudara bekerja tersebar, ada yang di Kebumen, Magelang, Jakarta dan kota lainnya, bahkan ada yang di luar Jawa, yaitu di Pulau Kalimantan.
Sekarang jaman maju, anak-anak dan menantu2 pada maju, sekalipun bukan pegawai tinggi, semua sudah punya sepeda motor. Kedua orang tuanya menerima kiriman uang satu juta rupiah per-bulan yang dikirim secara bergantian oleh mereka bersembilan itu.
Hebatnya, tiap lebaran hari pertama mereka yang 9 orang itu, ke rumah ortu mereka di Kebumen bersama suami atau istri mereka, anak, cucu, cicit, canggah. Kalau lebaran, rumah ortu penuh sepeda motor, seperti dealer sepeda motor saja, saking banyaknya.
Saudara yang termaju, (tukang mencuci pesawat terbang) selain dapat cuti, juga dipinjami mobil oleh bossnya. Anehnya dari 9 orang itu para menantu Nini Mawar tidak ada yang protes kalau setiap tahun hari 1-3 datang ke rumah Nini Mawar, tidak misalnya minta gantian ke rumah orang tuanya.
Ada yang memang rumahnya satu daerah, ada yang orang tuanya sudah meninggal, ada pula yang sepanjang tahun hidup bersama orang tuanya, sehingga orang tuanya memaklumi kalau setahun sekali ditinggal anaknya untuk berlebaran di rumah Nini Mawar.
Dengan kemajuan jaman, Mawar bersaudara sudah punya HP semua, maka mereka saling bekomunikasi satu sama lain dengan HP. Menjelang lebaran, mereka berunding, nanti kalau pulang kampung si A bawa apa, si B bawa apa dst. Mereka juga iuran 250 ribu rupiah per orang untuk memasak ketupat, lauk pauk, seperti entog, ayam dsb.
Karena ortu mereka menyukai petai dan ikan tongkol, yang di Kalimantan menyanggupi bawa ikan tongkol. Mawari kebagian cari petai yang kadang petai sulit didapat. Pernah jelang lebaran semua pasar di-ubeg2 tidak ketemu petai. Untung di warung kampung sebelah ada yang jual petai, mungkin hasil panen sendiri.
Di kampung Mawar, ada kebiasaan jaman dulu yang masih berlangsung sampai sekarang, setiap bulan puasa sampai lebaran tiap rumah menyalakan lentera atau lampion (bahasa Jawanya ‘ting’) yang dibuat dari kertas warna – warni.
Maka kini, rumah Nini Mawar yang paling banyak lentaranya, sebab anak cucu pada membawa, bahkan sampai jalan-jalan di kampung ikut menuju rumahnya kebagian dipasang lentera.
Di hari pertama lebaran, semua shalat di lapangan, kemudian sungkem kepada kedua orang tua, lalu dilanjutkan yang lebih muda sungkem ke yang lebih tua, dari saudara ke saudara yang lebih tua, diikuti suami/istri, anak, menantu, cucu, cicit, sampai canggah. Sungguh persitiwa yang sangat mengharukan.
Selesai sungkeman dan saling bermaafan dilanjutkan dengan makan bersama oleh puluhan orang itu, sangat ramai dan membahagiakan.
Kini keluarga Nini Mawar jadi keluarga terbahagia di kampung itu. Tetangganya yang anak-anaknya lebih maju, sekolahnya sampai sarjana, kadang tidak satupun pulang di hari lebaran. Itu membuat tetangga pada iri terhadap Nini Mawar, bahkan tetangga sampai membawa makanan dan lauk pauk ke rumah Nini Mawar untuk ikut makan bersama.
Para tetangga yang lain juga berdatangan ke rumah Nini Mawar ingin merasakan kebersamaan keluarga besar nan bahagia itu.
Sungguh Nini Mawar merupakan keluarga yang paling bahagia. Memang bahagia tidak bisa dinilai dengan harta, namun apa yang dicapai keluarga Nini Mawar, sungguh sangat luar biasa! KBY. Kok bisa ya? (Widartoks 2015; dari frup FB-ILP)-FR