Wayang-Bunga rampai (7)-Kayon atau gunungan
Setelah perang brubuh selesai, dunia kembali damai dan pertunjukan utama wayang kulit selesai yang ditandai dengan pak dalang menancapkan gungan atau disebut juga kayon di tengah layar dengan posisi tegak. Adegan ini disebut “tancep kayon”.
Sekarang kiita bahas tent ang gunungan atau kayon.
Gunungan merupakan gambaran jagad besar dan jagad kecil. Bagaimana penjabarranya?
Gambar atau lukisan gunungan di bagian depan dan belakang tidak sama. Di bagian depan ada bangunan keraton yang dijaga oleh dua raksasa. Di atasnya ada pohon dengan banyak cabang yang dililit ular. Di pohon itu banyak binatang, seperti harimau, burung monyet dan banteng. Gambar bagian belakang berupa kepala raksasa dengan rambut berwarna merah.
Gunungan disebut juga ‘kayon’, yang artinya kayu-an. Maksudnya kayon adalah pohon kalpataru, pohon pengharapan, pohon pernghidupan. Makanya di pohon itu ada berbagai binatang yang menggambarkan kehidupan di dunia ini. Namun gunungan yang ada bentuknya bukan rimbun dan rindang seperti pohon beringin, justru bagian atasnya runcing, sementara yang menggelembung bagian tengahnya. Agak aneh memang. Tapi nyeni juga. Mengapa demikian? Jawabannya ada di bagian akhir tulisan ini.
Di dalam pertunjukan wayang, sebelum pagelaran dimulai, gunungan atau kayon ditancapkan di tengah ‘arena’ berupa ‘kelir’ atau kain putih tempat peraga wayang dimainkan, dengan posisi sedikit miring ke kanan, artinya pagelaran belum dimulai. Jika acara telah selesai, gunungan atau kayon ditancapkan kembali di tengah ‘kelir’ dengan posisi tegak dan disebut ‘tancep kayon’, karena kayon ditancapkan di pohon pisang (utuk menancapkan wayang-wayang kulit), pertanda pertunjukan utama wayang kulit selesai atau tamat.
Gunungan mempunyai banyak fungsi. Pertama, sebagai tanda awal suatu babak pertunjukan, saat pergantian babak. Kedua, sebagai simbol atau sebagai peraga keraton, padepokan, atau tempat lainnya. Makanya di awal babak sebuah keraton, gunungan dipasang di tengah, kemudian Pak Dalang berkata :” Inilah negara bla bla bla …” dan seterusnya.
Gunungan juga bisa berfungsi sebagai hutan, pohon, batu, tanah dan gunung. Bisa juga berfungsi sebagai air, kalau air mengalir, gunungan digerakkan dengan digetarkan agar seperti berombak. Bisa juga berfungsi sebagai peraga angin dengan menggerakkan dan menggetarkannya. Fungsi lain lagi sebagai api, nah kalau mempergakan api ini gunungan dibalik, yang ditampakkan yang bagian belakang, yang nampak berwarna merah.
Bagaimana filosofinya?
Di dunia ini ada dua dunia. Dunia pertama dunia besar, makro kosmos, dunia sesisinya. Kalau lingkup yang kecil ya sebuah kerajaan. Kerajaan itu ada ibukotanya, ada bangunan keratonnya. Maka jika sedang bicara tentang kerajaan, gunungan berperan sebagai bangunan keraton, ibukota sebuah negara. Keraton dijaga oleh dua raksasa, ya kalau bahasa sekarang pasukan pengawal kerajaan, begitulah.
Tentulah di sebuah negara itu ada tumbuhan, hutan, gunung, air angin dan api, serta binatang seperti harimau, banteng, monyet, burung dan sebagainya. Maka gunungan berperan untuk menggambarkannya. Secara garis besar gunungan menggambarkan atau memerankan sebagai tanah (tanah itu sendiri, batu, gunung dan hutan), air, angin dan api.
Dunia kedua adalah dunia kecil, mikro kosmos, yaitu diri setiap manusia. Gunungan dalam hal ini menggambarkan manusia secara utuh. Manusia, di dalam dirinya juga mempunyai ibukota, mempunyai keraton, yaitu hati (lebih tepatnya jantung hati), kalbu, ‘heart’.
Manusia secara fisik terdiri dari unsur tanah (bagian padat seperti daging dan tulang), air (darah dan cairan tubuh lainnya), angin (pernapasan) dan api (energi).
Manusia dalam hidupnya juga membutuhkan empat hal itu, tanah (maksudnya makanan), air, udara dan api (energi).
Manusia dalam hatinya mempunyai sifat empat juga yaitu tanah, air, angin dan api. Tanah itu menawarkan racun, menetralisir tegangan listrik (yang istilahnya ’grounding’), maka sifat tanah di manusia adalah pemaaf, bisa menampung keluhn orang, tenang, mengayomi.
Sifat air bisa membersihkan, yang sedang kekeringan, mendinginkan yang kepanasan, Demikian pula sifat manusia bisa membersihkan hati yang sedang kotor, mendinginkan perseteruan, memberi solusi. Sifat angin bisa merusak (kalau angin ribut), membawa debu dan menyebarkan penyakit.
Di manusia sifat ini adalah meniup-niupkan berita buruk, suka membuat isu, menghasut, dengki, fitnah. Sedang sifat api adalah membakar, sifat amarah, tapi tidak selalu jelek lho, sebab kita-kita juga lahir lantaran adanya api, api asmara.
Di manakah ‘keraton’ dari sifat manusia itu? Adanya di hati atau lebih benarnya di jantung yang dalam bahasa Inggris ‘heart’, bukan ati, hepar atau ‘liver’. Nah, kalau gunungan kita balik, atas jadi bawah dan bawah jadi atas (lihat gambar gunungan yang terbalik), maka akan nampak sesungguhnya dia merupakan gambar jantung manusia dengan bilik-biliknya dan urat-uratnya !
Gunungan merupakan karya seni yang ‘adi luhung’, indah, anggun dan penuh makna. Siapa dan kapan gunungan diciptakan? Gunungan diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Kapan? Kita bisa lihat di gunungan itu sendiri, kalau gambar gunungan kita lihat bagian belakangnya yang berwarna merah.
Di situ tergambar api yang merupakan “Candra Sengkala”, maksudnya ‘Kode’ tahun pembuatan berdasarkan peredaran bulan, alias tahun Saka. Gambar api sengkalanya berbunyi ‘ Geni dadi sucining jagad’. Geni = api = 3. Lalu ‘dadi’ yang artinya jadi = 4.
Suci = 4 dan jagad = 1. Jadi menunjukkan angka 3441, membacanya dari belakang, menjadi tahun 1443 saka atau tahun 1517 masehi. Artinya gunungan yang dibuat oleh Sunan Kalijaga ini dibuat tahun 1517 masehi, jaman kerajaan Demak.
Sungguh gunungan merupakan karya cipta yang hebat, luar biasa. Karya anak bangsa Indonesia. Widarto KS; dari grup FB-MKPB Telkom)-FR