Psikologi

Perniagaan di negeri ini

Hakikat perniagaan di negeri ini sering saya gambarkan dalam cerita tentang pengusaha kecil yang memiliki produk, misal keripik ubi. Untuk dapat masuk ke supermarket besar, produk ini harus melewati sekian uji-saring ketat, dari kualitas hingga kemasan. Setelah diterima, terpampang agak tersembunyi di salah satu sudut raknya.

Tapi sistem pembayaran keripik ubi itu adalah konsinyasi; tiga bulan dipajang baru dihitung berapa yang laku. Laporan bisa diambil sekaligus sisa barang. Pembayaran tunai baru akan diterima se-cepat2nya sebulan kemudian. Total empat bulan.

Tapi kalau si pemilik usaha amat kecil ubi ini pada saat menyetorkan dagangannya hendak beli beras atau gula di supermarket itu, bisakah ia minta dihitung nanti dari hasil dagangannya? Tidak. Dia harus membayar tunai. Saat itu juga.

Inilah tata ekonomi, orang miskin membiayai orang kaya. Pemilik UKM itulah yang menopang bisnis para pemodal besar supermarket. Maka kita selalu bahagia ke pasar tradisional, karena kita menemukan nilai2 yang amat mahal. Saking mahalnya, 500 orang terkaya di dunia versi Forbes bersekutupun takkan sanggup membelinya.
***

Tempo hari, di pasar ibu penjual bawang merah dan putih asyik mengupasi sebagian dagangan yang  keriput kulitnya. Tak banyak yang disandingnya, hanya setampah kecil.  Seorang lelaki lebih muda sambil senyum ke sana kemari menjajakan pisang satu lirang, yang dilihat keadaannya hanya akan bagus kalau dimakan hari ini segera. Besok tidak.

Dan tetap asyik dengan pisaunya, sang ibu mendongak, lalu berkata dengan tawa ringan yang memamerkan giginya, “Tolong pisangnya gantungkan di cantelan motorku itu ya Dik, ini uangnya ambil ke sini.” “Ya Mbak, lima ribu saja buat Njenengan.”

Ketika si Mas usai menaruh pisang itu, sang ibu menyumpalkan tiga uang lima ribuan ke tas plastik si Mas yang berisi jajanan ketika dia mendekat. Lelaki itu tak menyadarinya, tapi setelah berjalan beberapa langkah dia kembali. “Weh, kebanyakan Mbak”, katanya.
“Tidak apa2, buat jajan anakmu Dik. Lagipula pisang segini banyak ya ndak mungkin 5.000 to.”_

“Ndak. Memang segitu harganya Mbak. Jajannya juga sudah ada kok ini.” Lalu uang itu dikembalikannya. Tak mau kalah, Si Ibu segera menyusul Si Mas yang berlari. Memasukkan lagi uang lebihan 10.000 itu ke tas plastiknya. Si Mas tersenyum geleng2 kepala. Lalu dengan penuh kesopanan, dia pamit pergi.
Siang hari ketika si Ibu hendak pulang, seorang pedagang bakso menghampirinya. “Ini mBak, baksonya.”

“Lho saya tidak pesan itu?”
“Lha tadi Mase penjual pisang yang memesankan itu. Terus dia bilang diracik sama ngasihkannya nanti saja kalau Njenengan mau pulang.”
“O Allah…Rejeki. Sembah nuwun Gustiiii…”
***

Adakah kau temukan di tempat belanja orang saling berebut membahagiakan sesama seperti ini? Mungkin sesekali kau perlu pergi ke pasar yang kaulihat becek dan sumpek itu. Sebab di sana ada yang tak dapat kaubeli dengan harta, tapi dapat kaurasakan mengaliri hatimu dengan sejuta haru dan makna. (Dwi Astuti; dari grup BPTg)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close