Selingan

Wayang Gatutkaca(1) Hutan Wanamarta

// Kisah Gatutkaca ini sengaja dihubungkan dengan kisah2 lain, sehingga membuka wawasan,  agar diketahui benang merah antara kisah yang satu dengan lain, tokoh yang satu dengan tokoh lain. Harap maklum //

Sebagai pembukan, inilah Hutan Wanamarta rimba belantara nan lebat, luas, penuh pohon yang tinggi dan besar. Disini hidup macam2 binatang buas, menakutkan dan beracun. Banyak pohon berduri, berakar gantung, bergetah dan beracun. Di sana bersemayam penunggu hutan berupa jin menjadikan hutan itu sebagai kerajaan dan wilayahnya.

Maka jadilah hutan itu angker, terlewat gawat dimasuki, tidak ada orang berani masuk hutan itu. Diibaratkan di hutan itu ” Jalma mara jalma mati. Sato mara sato mati. Jalma mara keplayu”, demikian kata dalang. “Jalma” artinya manusia, “mara” artinya datang,

 

“sato” artinya hewan,”keplayu” maknanya lari ter-birit2. Jadi yang berani masuk ke hutan itu akan mati. Hewan piaraaan yang kesasar masuk ke hutan itu mati. Manusia masuk kehutan itu kalau tidak mati akan lari ketakutan.

Di tengah hutan itu ada beberapa manusia yang berani masuk. Mereka manusia berani mati. Mereka pandawa yang teridiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Pinten dan Tangsen, serta ibu mereka Dewi Kunti (Dewi Kunti Talibrata atau disebut Dewi Prita).

Ada apa di hutan angker itu? Mereka datang, diiringi prajurit yang tidak banyak, untuk membuka hutan dan akan membangun istana di sana, membangun pemukiman, tempat perdagangan, pertanian dan perikanan. Ber-bulan2 mereka berada di sana. Mereka bangun rumah sebagai markas, tempat tinggal sementara di tengah hutan lebat itu.

Berbagai kesulitan mereka hadapi, demi cita2nya, membangun kerajaan besar dan megah. Pagi itu  Puntadewa, Bima, Arjuna, Pinten dan Tangsen, ditemani Dewi Kunti sibuk membabat hutan, membuka sawah, membuat ladang, mengumpulkan kayu2 besar untuk membangun istana. Tanpa disadari, sepasang mata mengamatinya. Ketika bergerak dari satu tempat ke tempat lain, mata itu mengikutinya.

Ketika Bima memberi isyarat ke ibu dan saudara2nya berhenti berjalan dan diam di tempat. Saat itu terdengar suara ‘”krek krek”, pertanda ada daun kering terinjak kaki makhluk. Mereka memperhatikan asal suara itu yang berasal dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat itu. ” Siapa di situ?!”, teriak Bima yang yakin ada orang bersembunyi di sana.

Tidak ada jawaban. Semua mata tertuju ke pohon besar itu. ” Siapa di situ? Hayo keluar, atau akan aku paksa keluar”, teriak Bima lagi. Mendengar ancaman ini, tak lama dari balik pohon besar muncul raseksi, atau raksasa wanita tinggi besar, melebihi tinggi manusia normal, namun kalah tinggi dibanding Bima yang terkenal sebagai orang tinggi besar.

Semua kaget dibuatnya. Raseksi itu berjalan menghampirinya yang terkejut dan tidak bisa berkata apa2. Darimana raseksi di sini, batinnya. Raseksi itu maju dan mengarah ke hadapan Bima. Sesampai di hadapannya, dia bersimpuh memeluk kaki Bima.

” Hamba Arimbi, asal dari Kerajaan Pringgadani. Perkenankan menghamba ke Raden Bimasena”, kata rasektsi itu. Bima kaget. Kata menghamba itu artinya minta dinikahi. Begitulah, di bangsa raksasa dan raseksi, mereka terbiasa apa adanya, tidak basa basi. Kalau senang seseorang dikatakannya, termasuk minta dinikah, walau baru sekali bertemu.

Bima merasa risi dipeluk kakinya oleh raseksi yang wajahnya tidak nyaman dipandang. Apalagi tangannya kasar dan mulut bau tak enak. Yang dilakukan Bima melepaskan dari pelukan itu. ” Apa urusanmu, baru ketemu minta ikut”, jawab Bima menjauhi raseksi itu, setelah lepas dari pelukannya.

” Hamba lama mengikuti Raden, saudara dan Ibu anda. Tolong Raden, terimalah hamba”, kata raseksi  bernama Arimbi itu menghiba.
” Tidak bisa” jawab Bima keras dan segera meninggalkan tempat itu, diikuti saudara2nya.
Dewi Kunti yang seorang wanita merasa kasihan ke raseksi itu.

” Bersabarlah, jika dewa mengizinkan, sesuatu yang sulit bisa mudah”, kata Dewi Kunti mengelus pundak raseksi Arimbi yang berjongkok itu. Dewi Kunti menghibur raseksi itu, paling tidak berbasa-basi agar raseksi itu tidak terlampau kecewa. Dewi Kunti lalu pergi menyusul anak2nya menjauhi tempat itu.

Arimbi diam mematung. Suasana sepi, sebab pandawa dan ibunya meninggalkannya. Arimbi sadar, tidak pada tempatnya sekali bertemu menyatakan cintanya. Dia sadar, sebagai raseksi, wajah yang menurut para raksasa terbilang cantik, namun bagi manusia berlum ada apa2nya, atau malah menakutkan.
” Bersabarlah, jika dewa ijinkan, yang sulit jadi mudah”. Kata2 Dewi Kunti yang  menghibur itu, oleh Arimbi disalah diartikan dia harus bersabar kalau mau dapat Bima. Maka di hatinya dia bertekat sabar mengikuti Bima dan saudara2nya. Suatu saat pasti kesabaran berbuah manis. Begitu  pikirannya.

Arimbi diam mematung. Ingatannya kembali ke pekan2 sebelumnya. Di Kerajaan Pringgadani, saat itu dia dan semua saudaranya berkumpul. Dari nomor satu Arimba, dirinya, adik2nya, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa¸ Prabakesah dan Kala Bendana, semua berujud raksasa.

Arimba (Harimba yang tertua), raja Pringgadani menjelaskan tujuan pertemuan. ” Adik2ku  kalian aku kumpulkan ini bahwa : Kini kalian telah dewasa. Ketahuilah Ramanda Prabu Trembaka gugur di tangan raja Hastina :  Pandu Dewanata. Kini saatnya kita balas kematian Ramanda”, kata Arimba menjelaskan.

” Kakanda, bukankah menurut kabar, saat ini Prabu Pandu Dewanata sudah meninggal? Untuk apa balas dendam lagi?”, tanya Arimbi yang paling dewasa dibading adik2nya yang remaja. Adik2nya memandang dengan berkerut merut mencoba memahami jalan pikrian Arimba dan Arimbi.

” Tidak bisa!”, jawab Prabu Arimba.
” Hutang nyawa harus dibalas nyawa. Kalau Prabu Pandu Dewanata meninggal, kita balaskan kepada keturunannya, yaitu anak2nya”, sambungnya.
Adik2nya berfikir. Ada yang setuju mengangguk, ada pula yang masih bingung menerima penjelasan itu.

” Bukankah keturunannya tidak tahu menahu soal ini?”, tanya Arimbi lagi.
” Diam kamu Arimbi!”, kaat Prabu Arimba.
” Waktu Ramanda gugur, aku cukup besar, jadi sudah tahu rasanya kehilangan ortu gugur dibunuh oleh musuh”, sambungnya.
” Kini aku yang berkuasa di sini menggantikan Ramanda Prabu, semua harus patuh padaku”, dia berhenti sambil memandang berkeliling. Semua diam, sebab mereka tahu, kakak tertua mereka ini wataknya keras, apapun yang diinginkannya harus terlaksana. Tidak ada gunanya membantah.

” Aku dengar belum lama ini sahabatku Prabu Baka gugur di Padepokan Giripurwa. Yang mengagetkan, katanya yang membunuh adalah putra Pandu yaitu Bima. Ini menyedihkan. Karena itu aku perintahkan Arimbi  cari tahu keberadaan Bima di Padepokan Giripurwa. Jangan ragu2, bunuh dia” kata Arimba.

” Apa tidak sebaiknya saya saja Kanda Arimba. Kanda Arimbi kan wanita, tidak pantas Kanda suruh mencari musuh dan membunuhnya”, kata Brajadenta.

” Tidak Brajadenta, kamu belum cukup dewasa. Belum bisa me-nimbang2 dengan baik. Pada saatnya kamu jadi dewasa, namun belum saat ini”, jawab Arimba.
” Arimbi selain dewasa, juga punya ilmu kesaktian cukup”, sambungnya.

Arimbi berangkat sendiri ke Padepokan Giripurwa sesuai petunjuk kakaknya, Arimba. Dia diiringi prajurit2 pilihan sebagai pengawal, yang akan mengawasai Arimbi dari jauh dan hanya membantu jika diperlukan. Langkah Arimbi mantap. Pandangan hatinya lurus ke depan, menuju Padepokan Giripurwa . Bersambung …….. (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)- FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close