Ibu Septi Peni Wulandani patut kita teladani
Tiga anaknya tidak belajar di sekolah formal seperti umumnya anak2. Tapi ketiganya jadi anak teladan, dua anak kuliah di luar negeri di usia belia. Saya kagum. Kok bisa? Ibu itu Septi Peni Wulandani. Kalau kita search di google, anda tahu Ibu ini dikenal sebagai Kartini masa kini.
Beliau ibu rumah tangga profesional, penemu model hitung jaritmatika, wanita yang peduli nasib ibu2. Ibu yang mengajak wanita Indonesia kembali ke fitrahnya sebagai wanita utuh. Beliau cerita sebagai ibu rumah tangga mendidik 3 anak (kerennya anti mainstream). It’s like watching 3 Idiots. But this is not a film. This is a real story from Salatiga, Indonesia.
Berawal beliau akan menikah. Jika ada pepatah, pernikahan itu peristiwa peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat. Di usianya (20), Ibu Septi lulus dan dapat SK sebagai PNS. Saat itu, beliau dilamar seseorang. Beliau pilih menerima lamaran dan menikah.
Calon suami pasang syarat: Beliau ingin yang mendidik anak2nya hanya ibu kandung. Artinya? Beliau ingin istrinya jadi ibu rumah tangga. Harapan jadi PNS pupus. Beliau tidak ambil. Ibu Septi pilih menjadi ibu rumah tangga. Baru dengar cerita ini saya gemeteran. Akhirnya beliau menikah.
Pernikahan unik. Sepasang suami istri (pasutri) ini setuju menutup gelar2 dari kuliahnya. Ini diprotes ortu. Di undangan pernikahannya tidak ada tambahan titel/ gelar di nama mereka. Keduanya sepakat setelah nikah mereka mulai kuliah di universitas kehidupan. Mereka belajar dari mana saja.
Pasutri ini sering ikut kuliah2 umum di kampus2 cari ilmu. Gelar yang dikejar adalah gelar almarhum dan almarhumah. Tentu tujuannya khusnul khatimah. Sampai di sini, kebayang pasutri ini mencipta keluarga keren. Keluarga ini makin keren ketika hadir anak2 melengkapi kehidupan keluarga.
Dalam mendidik anak Ibu Septi, salah satu prinsipnya di parenting: Demokratis, merdekakan keinginan anak2. Juga urusan sekolah. Ortu sebaiknya memberi alternatif terbaik, biarkan anak pilih. Ibu Septi memberi pilihan2 sekolah anaknya: mau sekolah favorit A? Sekolah alam? Sekolah bla bla bla. Atau tidak sekolah? Dan anak2 memilih tidak sekolah. Tidak sekolah bukan tidak cari ilmu
Ibu Septi dan keluarga punya prinsip: Selama Allah tidak marah, berarti boleh. Yang diperintah Allah agar manusia cari ilmu. Mencari ilmu tidak melulu melalui sekolah. Uniknya, setiap anak harus punya project yang harus dijalani sejak usia 9 tahun. Dan hasilnya?
Enes, anak pertama. Ia peduli lingkungan, punya banyak project peduli lingkungan, dapat penghargaan dari Ashoka, masuk koran ber-kali2. Saat ini (17 tahun) sedang menyelesaikan studi S1 di Singapura. Ia kuliah setelah SMP, tanpa ijazah. Modal presentasi. Ia kuliah biaya sendiri jadi financial analyst. Bla bla bla banyak lagi. Keren banget.
Saat kuliah di tahun pertama ia minta dibiayai ortu, namun ia berjanji mengganti sebuah perusahaan. Uang dari ortu tidak ia gunakan, ia pilih jual makanan door to door sambil mengajar anak2 untuk biaya kuliahnya.
Ara, anak kedua. Ia suka minum susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia berternak sapi. Pada usia (10), Ara jadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya ini konon membangun suatu desa. Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah kemarin kepo, Ara saat ini kuliah di Singapura menyusul sang kakak.
Elan, si bungsu pecinta robot. Usianya belia. Ia ciptakan robot dari sampah. Ia percaya anak2 Indonesia bisa membuat robot dan bisa kreatif. Kini, ia cari investor dan terus kampanye untuk inovasi robotnya terbuat dari sampah. Saya cuma menunduk, what I’ve done until my 20. Banyak juga peserta yang lalu bertanya, “kenapa cuma 3, Bu?” hehe.
Dari cerita Ibu Septi, disimpulkan rahasia yang dimiliki keluarga ini, yaitu:
1-Anak2 itu jiwa merdeka, bersikap demokratis kepada mereka adalah suatu keniscayaan.
2-Anak2 sudah diajarkan tanggung jawab dan praktik nyata sejak kecil melalui project. Di usia 9 tahun, anak2 Ibu Septi wajib punya project yang harus dilaksanakan. Mereka wajib presentasi ke ortu tiap minggu tentang projectnya.
3-Meja makan itu sarana diskusi. Di sana bisa membicarakan tentang ‘kami’, tentang mereka, seperti sudah sukses apa? Mau sukses apa? Kesalahan yang dilakukan? Keluarga ini juga punya prinsip, “Kita boleh salah, yang tidak boleh itu tidak belajar dari kesalahan tersebut”. Mereka punya waktu untuk merayakan kesalahan yang disebut dengan “false celebration”.
4. Rasulullah sebagai role model. Kisah2 Rasul diulas. Pada usia sekian Rasul sudah bisa begini, maka di usia sekian berarti kita juga harus begitu. Karena alasan ini pula Enes memutuskan kuliah di Singapura, ia ingin hijrah seperti yang dicontohkan Rasulullah. Ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia tidak dikenal sebagai anak dari orang tuanya yang memang sudah terkenal hebat.
5-Mempunyai vision board dan vision talk. Mereka punya gulungan mimpi yang dibawa ke mana2. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang2 hebat, mereka akan share mimpi2 mereka. Prinsip mimpi: Dream it, share it, do it, grow it!
6-Selalu ditanamkan bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari nilai.
7-Mereka punya prinsip harus jadi entrepreneur. Bahkan sang ayah pun keluar dari pekerjaannya di suatu bank dan membangun berbagai bisnis bersama keluarga. Apa yang ia dapat selama bekerja ia terapkan di bisnisnya.
8-Punya cara belajar yang unik. Selain belajar dengan cara homeschooling di mana ibu sebagai pendidik, belajar dari buku dan berbagai sumber, keluarga ini punya cara belajar yang disebut Nyantrik. Nyantrik adalah proses belajar hebat dengan orang hebat. Anak-anak akan datang ke perusahaan besar dan mengajukan diri menjadi karyawan magang.
Jangan tanya magang jadi apa ya, mereka magang jadi apa aja. Ngepel, membersihkan kamar mandi, apapun. Mereka pun tidak meminta gaji. Yang penting, mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan pemimpin perusahaan atau seorang yang ahli setiap hari selama magang.
9-Hal terpenting yang harus dibangun keluarga adalah kesamaan visi antara suami dan istri. That’s why milih jodoh itu harus teliti. Hehe… Satu cinta belum tentu satu visi, tapi satu visi pasti satu cinta
10-Punya kurikulum yang keren, di mana pondasinya adalah iman, akhlak, adab, dan bicara.
11-Di-handle oleh ibu kandung sebagai pendidik utama. Ibu bertindak sebagai ibu, partner, teman, guru, semuanya. Daaaan masih banyak lagi. Profesi ibu rumah tangga itu profesi yang keren banget bukan? Ia adalah kunci awal terbentuknya generasi brilian bangsa.
Saya ingat cerita Ibu Septi di awal kondisi beliau jadi ibu rumah tangga. Saat itu beliau iri melihat wanita sebayanya berpakaian rapi pergi ke kantor sedang beliau hanya mengenakan daster. Jadilah beliau mengubah style-nya. Jadi Ibu rumah tangga itu keren, jadi tampilan juga harus keren, bahkan punya kartu nama dengan profesi paling mulia: housewife.
So, masih zaman berpikiran bahwa ibu rumah tangga itu sebatas sumur, kasur, lalala yang haknya ter-injak2 dan melanggar HAM? Duh please, housewife is the most presticious career for a woman, right? Tapi semuanya tetap pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekuensi. Jadi apapun kita, semoga tetap menjadi pendidik hebat untuk anak-anak generasi bangsa.
Dari kisah ini saya tarik kesimpulan seminar kepemudaan tidak melulu bahas tentang organisasi, isu-isu negara, dsb yang biasa dibahas. Pemuda perlu belajar ilmu parenting untuk bekal mendidik generasi penerus bangsa ini. Bukankah dari keluarga karakter anak itu terbentuk? (Fatchur Rochman; Sumber https://azaleav.wordpress.com/2013/08/01/inspirative-housewife-story/)-FR