Tukang pijatku
Mak Sari, nama panggilan tukang pijet yang langgananku. Kutemukan tidak sengaja ketika dia datang semula sebagai penjual alat dapur tradisionil, irus, serok dsb. Terus terang pernah kupandang sebelah mata, karena penampilannya yang kusut dan barang dagangan yang sudah out off date itu.
Kami beli karena rasa iba melihat dia sudah berkeliling dan untungnya tak seberapa dibanding kebutuhan biaya hidup bagi keluarganya. Dari obrolan basa basi, kucoba keahlian pijat yang katanya masih ada sisa2 profesinya sebagai dukun bayi kampung.
Diluar dugaan, disamping jadi langganan cucu bayi, akhirnya dia kuperlukan mengatasi keluhan sesak nafas dan nyeri dada, yang sering kuderita. Tanpa banyak bicara, khusus otot dibelikat punggung kiri, syaraf kecil ketiak dan lengan tangan sampai telapak kaki kiri dekat jempol ibu jari, di “lumerkannya” dengan pijatan halus, tapi sakitnya mendalam dihati, ibarat menelusuri lorong sakit yang tak bertepi.
Memang, tidak langsung menghilangkan penyumbatan arteri, tapi gumpalan syaraf & otot dilokasi yang katanya berkaitan jantung, bisa lemas kembali. Dampaknya, ada rasa lega ibarat lepas dari ikatan tali di dada. Kini mak Sari profesinya berubah, dari penjual alat dapur jadi tukang pijat yang ku klasifikasikan top dan sibuk dengan panggilan pelanggan.
Sengaja ku kabarkan kepada sahabat dan tetangga, ternyata alhamdulillah banyak yang ketagihan usapan jari tangannya yang seolah punya mata yang peka terhadap otot dan syaraf dimanapun lokasinya. Itulah mak Sari, si tukang pijat keluarga. (Soenarto SA; dari grup WA-VN)-FR