Jangan Takut Beli Ikat Pinggang
(m.jpnn.com; 03/9/18 06:16 WIB)-Beredar luas. Di kalangan pengusaha. Lewat medsos. Isinya: tawaran ikat pinggang. Ekonomi lagi sulit. Dan akan sulit. Rupiah melemah. Inflasi akan terjadi. Bank mengetatkan pemberian kredit. Suku bunga akan tinggi. Buntutnya: ada PHK.
Anjurannya: berhematlah. Kendalikan pengeluaran. Jangan boros. Siapkan uang cukup. Untuk jaga operasional perusahaan. Setidaknya untuk 6 bulan. Beri pengertian karyawan: untuk ikut berhemat. Agar jangan ada PHK. Bagi yang merencanakan proyek baru tunda dulu. Wait and see.
Anjuran itu, beredar luas itu, sumbernya dari bank. Untuk mengingatkan nasabahnya. Agar waspada. Bank yang baik selalu menjaga nasabahnya. Saya setuju anjuran itu. Turki, India, Iran dan banyak negara lagi sulit2nya. Bahkan Iran memecat dua menteri ekonominya. Dipecat oleh DPR-nya.
Kita juga sulit. Jangan salahkan Sri Mulyani. Kalau kita tidak gagal di bidang ekspor Sri Mulyani akan baik2 saja. Kalau ambisi kita tidak berlebihan semua akan baik. Tapi siapa mau all out menggalakkan ekspor? Politik, bagi mereka, lebih menggiurkan.
Apa boleh buat. Kita harus mengencangkan ikat pinggang. Siapa yang tidak mau ikat pinggang tanggung sendiri resikonya. Siapa yang belum punya ikat pinggang segeralah membelinya. Saya sudah biasa mengencangkan ikat pinggang. Bagi pengusaha seumur saya ini tidak baru. Ikat pinggang pertama saya alami (1988). Kedua (1998). Ketiga (2008). Yang keempat (2018).
Terjadi tiap 10 tahun. Seperti ada mistiknya. Padahal tidak. Saya ingat ikat pinggang pertama itu. Sumbernya: tight money policy. TMP. Begitu populer istilah TMP saat itu. Sedikit2 beralasan TMP. Kebijakan uang ketat. Kebijakan TMP untuk mengendalikan inflasi. Ekonomi lagi ‘panas’ saat itu. Terlalu baik. Semua perusahaan ekspansi. Kalau tidak dikendalikan bisa ambruk.
Akibat TMP itu sulit cari uang. Sulit cari kredit. Bunga bank 24%. Banyak yang di atas itu. Saya alami semua. Justru ketika 6 tahun terjun di bisnis. Yang masih tahap belajar bisnis. Pelajaran saya dapat: nenjalankan perusahaan dengan bunga 24%. Efisiensi kami lakukan habis2an. Bekerja lebih keras. Kami tidak pernah mengeluh. Tidak pernah minta tolong pemegang saham.
Kami berhasil lolos dari krisis. Bahkan lebih kokoh. Banyak perusahaan juga selamat. Juga lebih kuat. Yang abai pada keadaan itu bangkrut. Ada yang kelak bisa bangkit lagi. Dengan susah payah. Banyak yang bangkrutselamanya. Hal yang sama terjadi 10 tahun berikutnya. Lebih berat. Krismon itu. (1998). Saat itu kami lebih kokoh. Berkat ujian di tahun 1988.
Tapi kami tidak lengah. Tetap kencangkan ikat pinggang. Ratusan ide, puluhan terobosan, penghematan, kerja lebih keras kami lakukan. Karyawan saya larang beli baju baru. Tak boleh pakai dasi. Ke kantor boleh pakai sandal. Mutasi besar2an dilakukan. Karyawan berkorban habis2an. Mau kerja apa saja. Termasuk di luar bidangnya.
Salah satu karyawan ganti bicara. Di rapat umum perusahaan. ”Pak Dahlan juga harus berhemat. Tidak boleh lagi naik mercy” katanya. Saya ingat karyawan itu. Ia wartawan. Yang biasa kalem. Pendiam. Kali itu berani bicara kepada bos besarnya. Di depan umum pula. Namanya akan abadi di hati saya: Budi Kristanto. Saya spontan memutuskan. ”Sejak rapat ini saya tidak naik mercy” kata saya saat itu.
Saya pilih naik Hundai kecil. Bekas. Mercy dikandangkan. Dua tahun kemudian diketahui: mercy itu rusak. Tidak pernah dipanasi. Tapi perusahaan lolos dari krisis. Jadi kokoh. Bahkan luar biasa kuat. Ketika krisis lagi 10 tahun kemudian: sepele. Krisis di tahun 2008 tidak terasa apa2 di perusahaan kami. Padahal banyak perusahaan kelimpungan.
Saat terjadi krisis-2018 saya sudah pensiun. Tidak ikut merasakan. Tak ikut mengalaminya. Prinsipnya sama: Jangan takut ikat pinggang. Sepanjang tujuannya kelangsungan perusahaan. Ingat. Saya pernah 3x mengalaminya. Dengan bunga 24%. Bahkan pernah 29%. Jangan mikir politik. Pikirkan perusahaan. Dan jaga karyawan Anda. (Sugito-W9 sumber dari Dahlan Iskan; bahan dari https://m.jpnn.com/news/jangan-takut-beli-ikat-pinggang)-FR