Aku cinta Indonesia

Serba ada di Samarida

(Oleh: Dahlan Iskan; disway.id);  Saya video kamar VIP istri saya. Saya kirimkan ke teman saya. Yang di Singapura. Juga yang di Tiongkok. “Benarkah itu RS di Samarinda?” ujar mereka. Keduanya pernah ke Samarinda. Hampir 10 tahun lalu. Saat Samarinda gelap: sering mati lampu.

 

”Kelihatannya lebih bagus dari kamar Anda di RS Singapura itu” ujar teman yang Singapura. Dalam bahasa Inggris. ”Hahaha, lebih bagus dari kamar Anda di lantai 10 RS Tianjin ” komentar teman Tiongkok saya. Dalam bahasa Mandarin. ”Padahal tarifnya 25% nya” jawab saya. Dengan kepala membesar.

 

Maka tidak menyesal saya membatalkan ini: membawa istri ke Singapura. Meski terlanjur bikin janji dengan dokter di sana. Dunia kedokteran tidak boleh hanya adu penampilan fisiknya. Kualitas layanannya ikut menentukan. Juga peralatannya. Dan yang utama kualitas medikalnya.

 

Saya tak ingin memperjudikan istri saya. Sekedar untuk kebanggaan kampung halaman. Begitu tiba di RS Wahab Syachrani ini saya kelilingi fasilitasnya. Saya kuat2kan kaki saya. RS ini tanahnya 33 ha.  Memang jauh di atas bayangan saya: kamar operasinya 26. RS di daerah yang dulu terpencil punya OK begitu banyaknya. Dengan AC sentral.

 

Sudah mampu mengoperasi jantung: tiap hari. Punya MRI. Punya CT scan yang 126 slice. Coba tanya di kota Anda: siapa yang punya 126 slice. Masih ada 2 lagi yang di bawah itu. Untuk kanker, punya petscan. Hanya ada 4 RS di Indonesia yang punya petscan. Kota Surabaya pun belum punya. Dan belum ada rencana punya. Baru sebatas ingin punya.

 

Dengan petscan itu benih kanker sekecil 2 mm bisa dideteksi. Untuk terapinya, sudah punya radio nuklir. Pasien yang terkena kanker teroid diterapi radio nuklir. Lalu dimasukkan ruang isolasi 3 hari. Ruang ini khusus: terisolasi dari radiasi nuklir. Pembuatan ruangnya harus atas pengawasan Bapeten: badan yang bertanggung jawab untuk keamanan nuklir.

 

Penggunaannya juga seijin Bapeten. RS Wahab Syachrani Samarinda ini punya 6 ruang isolasi seperti itu. Enam. Edan. Saya pun mantap: menyerahkan istri saya pada tim dokter di kampung kelahiran istri saya itu. Yang sudah 40 tahun ditinggalkannya.

 

Saya berdiskusi dengan tim dokternya: dokter Boyke Soebhali, dokter Kuntjoro Yakti, dokter Satria Sewu, dokter Moh Furqon dan dokter Teddy Ferdinand Indrasutanto. Juga melihat alat FURS: pencari posisi batu ginjal yang bisa fleksibel. Bisa belok2 mencari di slempitan mana batu itu berada.

 

Dr Rachim Dinata, kepalaRS, hadir: memperkenalkan dokter2 itu. Lalu menyilahkan kami diskusi. Rachim Dinatalah di balik semua prestasi itu. Ia dokter ahli bedah. Lulusan Unpad Bandung. Kini dokter Rachim telah membalik dunia: dari kuno ke modern. Tak hanya alat dan fisiknya. Juga sistem dan SDM-nya.

 

Penghasilan dokter di RS ini 4x lipat dari penghasilan dokter di RS kota saya. Dr Rachim menyebutkan angka2nya. Tapi biarlah imajinasi menuliskan angkanya sendiri. Dr Rachim menerapkan sistem prestasi. Di atas hirarkhi. Di atas senioritas. Di atas penampilan fisik. Dr Boyke misalnya: lebih bertampang rocker daripada dokter. Rambutnya gondrong. Celananya jean. Bawaannya ransel. Mainannya gitar.

 

Suatu saat pasien yang sok terdidik tanya padanya: apakah ia mahasiswa yang lagi magang. Si pasien terperanjat ketika tahu: yang ditanya itu dokter spesialis urologi. ”Ada 4 dokter gondrong di sini,” ujar dr Nurliana Andriati Noor. ”Yang penting kegondrongannya tidak menganggu kerja dokternya” tambahnya.

 

Di akhir diskusi saya serahkan istri saya ke tim dokter. Lakukan apa pun yang terbaik menurut dokter. Saya tandatangani 2 pernyataan: setuju dibius total dan setuju dilakukan operasi. Jadwal ditetapkan: keesokan harinya. Jam 9 pagi.

 

Istri saya pernah operasi syaraf tulang belakang. Akibat HNP, 20 tahun lalu. Saya diajak Prof Hafidz Surabaya ikut ke ruang operasi. Tiga tahun lalu istri saya operasi ganti lutut. Saya diajak dokter Dwikora Surabaya ikut ke ruang operasi. Kemarin, saya diajak dokter Boyke ke ruang operasi. Saya lihat FURS masuk ke ginjal. Lalu di-belok2an. Memasuki ruang2 di dalam ginjal. Mencari batu itu sembunyi.

 

Ketemu: Satu batu. Lalu FURS itu diajak menjelajah ruang2 lain dalam ginjal. Ketemu: Satu lagi. Lebih besar. Total: 2 batu. Yang satu batu lagi sudah dikeluarkan di Surabaya 2 minggu lalu. Yang posisinya sudah di saluran kencing. Yang sudah bernanah. Yang menyebarkan infeksi ke seluruh tubuh. Yang membuat istri saya koma. Yang memaksa saya mendadak pulang dari AS.

 

Dokter Boyke terus menggerakkan alatnya. Diiringi lagu2 barat. Yang ia setel dari stock yang ada di HP-nya. Anak ‘wedok’ saya, Isna Fitriana, mendekatkan mulutnya ke telinga saya. ”Wo, kegemaran dokter Boyke rupanya sama dengan saya: lagu2 Bon Jovi,” bisik anak wedok saya itu.

 

Ternyata dr Boyke seperti anak saya itu: gemar bersepeda. Sepedanya sama: merk Wdnsdy. Baca: Wednesday. Yang diproduksi Azrul Ananda. Anak sulung saya. Oleh dokter Boyke batu yang lebih kecil itu diusik. Dipindah dari tempatnya. Dijadikan satu dengan batu yang lebih besar.

 

Saya pikir mau dihancurkan bersamaan. Ternyata dibandingkan ukurannya. Lalu batu yang lebih kecil dimasukkan jaring. Yang dipasang di ujung alatnya. Jaring ditarik. Ukuran batu itu lebih kecil dari saluran air kencing. Maka batu  dikeluarkan. Tidak dihancurkan.

 

Yang besar dijaring. Dicoba ditarik. Ternyata lebih besar dari saluran kencing. Maka batu itu dikembalikan lagi ke asalnya: akan ditembak dengan laser. Saya pikir batu itu akan langsung hancur saat dilaser. Ternyata laser itu hanya mencuil-cuil batu. Maka lasernya terus ditembakkan. Ratusan cuilan terlepas dari batu. Lama2 batunya tinggal secuil.

 

Menembaknya kian sulit. Cuilan terakhir itu lari2. Terbawa arus air yang disemprotkan: untuk mendinginkan bagian ginjal di sekitar laser yang panas. Selesai. Satu jam persis. Cuilan2 batu itu ukurannya sebutir pasir. Akan keluar bersama air kencing. Satu jam kemudian istri saya kembali di kamar yang lebih baik dari lantai 10 RS Tianjin tadi.

 

”Saya ingin lihat batunya” ujar istri saya. Maka saya serahkan batu yang tidak dihancurkan. Juga satu cuilan batu sebesar pasir hasil tembakan laser. Istri saya sempat berharap dokter Boyke kecele: tidak menemukan batunya. Mengapa? Dua hari sebelumnya istri saya merebus kelapa hijau muda. Lalu meminum airnya. Keesokan harinya dia rebus lagi kelapa hijau muda. Diminum lagi.

 

Dengan cara itu dia harap batu bisa keluar sendiri. Seperti yang banyak dishare di medsos. Ternyata fakultas kedokteran  tidak bisa digantikan kelapa hijau rebus. (dis; Bahan dari : https://www.disway.id/serba-ada-di-samarinda/)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close