Pengalaman Anggota

Setasiun Pasar Senen

Sebelumnya gak pernah saya menginjakkan kaki di setasiun Pasar Senen. Saat masih sekolah saya sering me-lihat2 buku di seberang setasiun, Toko Buku Gunung Agung, Kwitang. Ketika itu saya hanya bisa ter-kagum2 melihat alat2 tulis dan buku yang bagus bagus di Gunung Agung, tanpa mampu membeli.

 

Paling-paling saya hanya bisa beli buku bekas di emperan sebelah timur, terutama buku2 cetakan Rusia. Di sudut yang lain dulu ada bioskop kelas murah dan dibelakangnya konon ada Jakarta’s red district yang terkenal, Kramat Tunggak.

 

 

Berbeda dengan setasiun gaya modern Gambir, yang rel dan setasiunnya membujur melayang jauh diatas tanah dalam, setasiun Pasar Senen kental dengan gaya arsitektur lama, sekalipun sepanjang sisi selatan sudah tertutup deretan kios dan restoran, namun lengkungan tembok tua, masih jelas nampak.

 

Jenis dan jumlah penjual makanan di sini tidak kalah dengan setasiun Gambir. Sayang, perut saya sudah terlalu kenyang untuk mencicipi masakan yang tampak lezat2. Setasiun Senin tak memiliki bidang tanah lebar untuk parkir, untuk bisnis dan pelayanan, sehingga terpaksa semua berderet sepanjang alur rel KA.

 

Saya memiliki waktu cukup banyak, sehingga satu persatu deretan kios saya jalani dan saya nikmati, lagipula penumpang kereta Bogowonto belum boleh langsung masuk ke peron setasiun.

 

Setasiun Senen termasuk setasiun sibuk. KA pergi dan datang silih berganti, dari arah jalur utara dan arah jalur selatan pulau Jawa. Seperti kebanyakan setasiun besar, pintu keluar masuk 2 buah, dari arah monument sosial, atau dari arah Pasar Senen. Kedua pintu itu padat penumpang turun dan penumang yang akan berangkat.

 

Supir yang menawarkan angkutan, kuli yang memaksa membantu angkat barang, calo angkutan bercampur bersama dengan penumpang dan penjemput. Tentu sulit menertibkan tempat2 ramai seperti itu, terutama selepas kereta datang menurunkan semua penumpangnya.

 

Menjelang jam 8 malam, KA dari Semarang tiba di Pasar Senen dan saya melihat rombongan belasan penumpang yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan usia saya turun dari kereta. Masing2 mendorong sepeda lipat. Dihalaman setasiun mereka membuka lipatan sepedanya, memasang lampu yang ber-kelip2, mengenakan helm sepeda bersiap keluar dari setasiun.

 

Nampak mereka adalah komunitas yang terbiasa berjelajah dengan menggunakan sepeda, bekerja sangat profesional. Sebagai sesama penggemar bersepeda, saya sempat bertukar kata dengan mereka.

 

“Itu pak yang Dahon”, katanya menunjuk ke seorang Bapak agak sepuh tapi cekatan dan atletis, ketika saya tanyakan merek sepeda seperti yang saya punyai di rumah. Wah, sepedanya kinclong dan terawat. Dengan cepat mereka menyiapkan sepeda dan dengan ransel di punggung, satu persatu meluncur keluar setasiun.

 

Besok pagi mereka akan baiik ke Semarang. Sebuah petualangan Jakarta by night yang menakjubkan, apalagi bagi Bapak-bapak atau Kakek-kakek yang sudah tidak muda lagi itu.

 

Seperti halnya diruang tunggu dimanapun, seberapa banyak tempat untuk men-Charge hp disediakan, selalu  tidak pernah mencukupi. Di Ruang tunggu pasar Senen yang nyaman ber AC itupun papan colokan charger yang banyak itu, toch kurang. Terpaksa saya keluar dan berjalan menuju ke restoran Bakso Malang yang dari foto2 yang ditampilkan nampak menggiurkan.

 

Sayangnya perut saya terlalu penuh, jadi saya hanya pesan es teller tanpa susu dan saya memilih meja yang dekat colokan listrik. Saya duduk beberapa lama, sambil menunggu battere hp saya sedikit ada isinya. Tapi saya tidak bisa bersantai lama, karena banyak pengunjung lain yang menunggu tempat duduk kosong, sementara gelas es teller saya sudah lama habis.

 

Saya keluar dari restoran Bakso Malang dan menuju pintu masuk, kebetulan penumpang K.A. Bogowonto sudah boleh masuk ke aula peron. Penumpang yang masuk, telah diarahkan sesuai jurusannya ke pintu masuk masing-masing.

 

Ternyata di dalam aula, di ruangan besar itu sudah disekat-sekat sesuai kereta yang akan dinaiki dan penumpang masih harus menunggu lagi sampai keretanya tersedia. Pintu ke dalam peron hanya di buka bergiliran setelah kereta yang dituju siap diatas rel.

 

Dengan pengaturan tersebut, peron sepanjangn rel tampak sepi, sesaat sebelum kereta berangkat, barulah pintu dibuka dan penumpang dipersilahkan naik. Menurut saya ini ide cemerlang, sehingga dengan lalu lintas kereta yang begitu ramai ini, kecil sekali kemungkinan penumpang naik pada kereta yang salah.

 

Saya naik kereta, menempati kursi yang sesuai dengan ticket saya dan pelahan-lahan kereta bergerak menuju Jogja.  (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR

(seri kedua dari rencana tri-logi kisah kakek tua)

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close