Aku cinta Indonesia

Sengon Satu Triliun

(disway.id; Oleh : Dahlan Iskan)- Sepele, hanya gara2 satu pohon sengon. Listrik seluruh Jakarta, Jabar dan sebagian Jateng padam. Pohon sengonnya di Desa Malon. Jauh di Gunung Pati, 28 km selatan Semarang. Mati listriknya sampai Jakarta

 

Maka pohon sengon itu perlu diabadikan Fotonya, dipasang di kantor2 PLN. Sebagai monumen. Harus diajarkan turun-temurun. Dari generasi ke generasi. Betapa mahal sengon itu. Sampai membuat berjuta-orang menderita, kereta bawah tanah, yang baru ikut lumpuh. Penumpangnya harus dievakuasi. Presiden sampai marah karenanya.

 

PLN harus mengeluarkan ganti rugi pada konsumen. Nilainya ± Rp 1 triliun. Satu pohon sengon, di desa  menggegerkan mayapada. Pohon itu tak salah. Tumbuhnya di pagar penduduk, menjulang  tinggi. Tinggi tiang SUTET itu 40 mt. Tapi bentangannya menggelayut. Tinggi 18 meter. Tinggi sengon itu 15 meter. Sudah mencapai medan magnet SUTET.

 

Tapi sengon itu juga berhak bertanya: – Mengapa dibiarkan tumbuh tinggi di situ?

– Mengapa tidak ada yang tahu?  – Apakah tidak ada lagi anggaran untuk patroli pohon?

– Mengapa ada kebijakan anggaran ini, biaya operasi dan pemeliharaan harus di bawah anggaran SDM?

– Mengapa SUTET itu begitu rapuh? Hanya kesenggol satu pohon sudah pingsan?

 

Mengapa tidak boleh ada pohon dekat SUTET (Saluran Utama Tegangan Ekstra Tinggi). Jangankan nyenggol. Memasuki medan magnet pun mengganggu. Bisa korsleting, berakibat listrik terhenti. Mengapa yang korsleting di selatan Semarang, padamnya di Jakarta dan Jabar?

 

Orang Jakarta itu makan listriknya terbesar. Apalagi ditambah daerah industri sekitarnya: Tangerang, Bogor, Bekasi, Karawang. Padahal pembangkit listrik terbesar ada di Jatim (Paiton). Maka harus ada pengiriman listrik berjumlah besar. Dari Jatim ke Jakarta,  3000 MW. Tepatnya saya sudah lupa.

 

Listrik sebesar itu hanya bisa dikirim lewat SUTET –yang tegangannya 500 kVA. Ibarat kirim air, selangnya harus besar. Kian tinggi tegangannya kian luas medan magnetnya. Karena itu harus ada sempadan lebar. Di sepanjang jalur SUTET tidak boleh ada tanaman tinggi. Dalam istilah listrik sempadan itu disebut ROW –Right of Way.

 

Dulu selalu ada patroli. Yang mengawasi ROW itu –apakah mulai ada gejala pohon yang mengganggu. Tidak harus tiap hari. Pohon tidak bisa mendadak tinggi. Pertanyaannya: apakah anggaran patroli masih ada? Atau manajemen patrolinya yang lemah? Atau patroli sudah dilakukan, laporan sudah dibuat, tapi tidak ada anggaran penebangan pohon? Sesederhana itu. Tapi ada juga unsur nasib.

 

Jawa itu aman. Biar pun sebagian besar pembangkitnya di Jatim. Di Jawa punya dua jalur SUTET. Jalur Utara (lewat Ungaran, Semarang) dan jalur tengah. Membentang dari ujung timur ke ujung barat Jawa.

Kalau ada gangguan di jalur utara seperti itu tidak ada masalah. Arus listriknya bisa otomatis pindah ke SUTET jalur tengah. Pohon sengon itu bukan satu-satunya tersangka.

 

Memang nasib PLN lagi apes. Terutama Plt Dirutnya. Masih baru. Belum 24 jam. Hari Minggu itu ada perbaikan SUTET jalur tengah. Di timur Tasikmalaya. SUTET dimatikan. Dengan pertimbangan rasional: pada hari Minggu beban listrik di sekitar Jakarta turun drastis. Cukup dilayani jalur utara.

 

Sayang, kok sengon itu begitu jahatnya –bergoyang di hari Minggu itu. SUTET Utara kena sengon. SUTET tengah lagi diperbaiki. Akibat hilangnya pasokan dari dua SUTET tadi beban listrik kacau. Pembangkit2 listrik di wilayah barat mati satu-persatu. Terjadilah bencana itu.

 

Kenapa lama? Ini menyangkut manajemen recovery, hanya PLN yang tahu. Ada pertanyaan kecil: ke mana pasukan ‘Kopassus’-nya P2B? Yang dulu dibentuk? Yang bisa memelihara SUTET tanpa  mematikan sistem itu? Dibubarkan? Tidak diteruskan? Tidak cukup? Tidak dikembangkan? Tidak ada anggaran?

 

Saya masih ingat. Peresmian pasukan itu dilakukan besar2an. Di Monas. Dengan demo cara memelihara SUTET. Tanpa mematikannya. Memang berisiko. Peralatannya khusus. Bajunya khusus. Kepandaiannya khusus. Karena itu kita juluki ‘Kopassus’-nya PLN. Di PLN ada satu departemen khusus: namanya P2B. Itu yang mengatur sistem listrik di Jawa. Isinya orang2 istimewa. Ahli2 listrik.

 

Saya menyebutnya ‘otak’-nya listrik. Lembaga itu yang mengatur seluruh sistem di Jawa. Kadang saya dikritik. Terlalu mengistimewakan P2B. Saya tidak peduli. Saya biasa mengistimewakan redaksi. Dalam seluruh organisasi surat kabar.

 

SUTET di bawah P2B itu. Tapi P2B di bawah siapa?

Organisasi PLN sekarang sudah beda. Di Jawa ada tiga direksi. Direktur Jatim/Bali, Direktur Jateng/DIY dan direktur Jabar/DKI. P2B bisa punya posisi tidak jelas –di bawah koordinasi direktur yang mana. Mungkin sudah diatur. Orang luar seperti saya tidak bisa melihat.

 

P2B itu perlu terus berkoordinasi. Tiap tiga bulan mereka harus rapat. Untuk evaluasi perkembangan sistem di Jawa. Adakah rapat itu masih ada? Atau sudah ditiadakan? Rapat-rapat P2B tidak boleh dianggap rapat biasa –yang bisa dihapus demi penghematan. Demi laba.

 

Memang ironi: listrik itu baru diingat justru di saat ia mati. (Dahlan Iskan; Bahan dari

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close