Gampang Sakit Karena Kesepian
Namaku, Marni. Umurku (57). Aku Janda dengan 3 anak, semua sudah menikah. Suamiku meninggal 4 tahun lalu. Dulu, ketika suamiku pensiun dari perusahaan swasta, berbekal uang pensiunnya, kami mulai usaha rumah makan. Chefnya aku, karena kata keluarga dan teman-temanku, aku jago memasak.
Sering juga aku terima pesanan. Untuk mengisi waktu, kami buka rumah makan. Masakan andalannya , ayam bakar. Pagi-pagi, kami ke pasar berdua. Lanjut memasak berdua. Aku yang membumbui, suami yang membakar. Dan sekitar jam 9 kami sibuk meladeni pembeli. Indah sekali. Rukonya kami sewa. Jarak antara ruko dengan rumah lumayan jauh.
Jarak yang jauh, ternyata melelahkan bagi kami yang sudah paruh baya ini untuk bolak balik. Ditambah rumah makan kami yang mulai ramai, akhirnya kami berniat beli ruko sebagai tempat usaha dan tempat tinggal kami.
Harga ruko sangat mahal. Akhirnya kami sepakat menjual rumah kami sebagai DP ruko itu. Cicilannya akan kami bayar dari hasil usaha rumah makan. Alangkah bahagianya kami setelah menempati ruko ini. Sisa penjualan rumah, kami pakai buat merenovasi halaman belakang ruko sebagai tempat tinggal kami.
Tahun berikutnya, kami berangkat haji setelah 3 tahun masa tunggu. Lengkap rasa bahagia ini. Sepulang haji, suamiku wafat karena serangan jantung. Langit serasa gelap. Aku tak sanggup menjalankan usaha ini tanpa bantuannya. Anak-anakku tak ada yg mau membantu usaha kami. Mereka punya pekerjaan sendiri-sendiri.
Kucoba hidup sendiri di ruko kami. Terasa sepi. Aku sangat kehilangan suamiku. Belahan jiwaku. Aku sering menangis. Karena tak jualan, aku tak mampu membayar cicilan rukoku. Akhirnya, hasil diskusi dengan anak-anakku, ruko dikontrakan. Cicilan ruko diteruskan menantu anak pertama kami, Husna.
Anak-anakku, memintaku bergantian tinggal dengan mereka. Kemana saja aku suka. Tapi keindahan itu tak lama. Anak-anakku, yang tadinya hormat kepadaku, sangat menjaga kata-kata mereka terhadapku, lama-lama mulai hilang hormatnya. Mereka banyak melarang, bahkan mulai membentakku.
Kalau aku tinggal dengan anak tertuaku, Husna, ia tak mengizinkan aku kemana-mana. Kecuali pengajian . Tapi tak boleh lama-lama. Aku terkekang. Aku punya teman, aku punya komunitas, aku ingin bertemu ngobrol pelepas rindu dengan teman-temanku, tidak bisa. Hp ku selalu di cek. Kadang ia memberi uang, kadang tidak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadiku, aku kesulitan.
Aku pindah ke tempat anak ke-2, Haris. Haris baik, tak pernah berkata kasar. Aku mau pergi kemanapun, silahkan. Bahkan boleh pakai motornya. Hanya ia pelit. Tak pernah memberi uang kalau tak kuminta. Kalau aku mau pergi pengajian, ia memberiku uang bensin 20.000.
Sekali-sekali 50.000. Aku seperti anak sekolah yang minta uang jajan ke bapaknya. Padahal ia dan keluarganya sering makan malam di restoran. Bisa 2-3 kali dalam seminggu.
Belum lagi istri Haris perempuan yang judes. Kalau aku pergi pengajian, dan setelah pengajian aku main ke rumah temanku, maka pulangnya dia sering mengomeliku. “Mama kemana aja sih? Di rumah banyak yang harus dikerjakan.”
Nelangsa hatiku dibentak menantu. Tapi tak pernah kuadukan kelakuannya kepada Haris. Semua kutanggung sendiri. Supaya mereka tak ribut gara-gara aku. Kalau ku tinggal dengan anak bungsuku, Hana, dia mengomel. Dia adalah single parent dengan dua orang anak yang masih SD.
Ketika dia bekerja, aku membersihkan rumahnya, mencuci baju, menyetrika. Kalau dia pulang, aku was was. Khawatir kalau rumah kurang rapi, dia akan mengomeliku. Aku ibarat anak ketakutan dimarahi ibunya kalau rumah tak bersih ketika ibunya pulang dari kantor.
Pernah ketika aku baru sampai di rumahnya, tas ku letakkan di lantai dekat lemari. Aku duduk selonjoran melepas penat. Belum lagi penatku hilang, dia teriak, “Mama, itu tas tarok dimana? Berantakan ma. Mama kalau datang, rumah selalu jadi berantakan. Kalau mama nggak ada, rumah ini rapi”.
Dan omelannya berlanjut mengungkit yang lain sampai satu jam. Dengan menahan air mata, ku bawa tas ku ke kamar. Karena aku tak punya uang, tak ada anakku yang memberi uang secara rutin tiap bulan, akhirnya aku berjualan black garlic. Aku ambil dari orang. Daganganku laris. Aku bisa beli beberapa keperluan pribadi dan bisa menyimpan sedikit uang.
Tapi Husna curiga aku jatuh cinta dengan penjual black garlic. Dia marah dan berkata, “Kalau mama tidak ada apa-apa dengan dia, berarti mama harus ikhlas HP mama aku reset”. Dan HP ku di resetnya. Hilang semua kontak teman-temanku, hilang foto-foto kenanganku dengan bapaknya juga teman-teman dan keluarga.
Perih sangat hatiku, hanya air mata yang mengalir. Aku sabarkan hatiku sambil memohon kekuatan kepadaNya. Seminggu yang lalu, aku ribut dengan Hana. Entah darimana dia dapat informasi, bahwa aku punya hutang dua juta ke orang. Padahal aku tak punya hutang ke siapapun. Kalau setoran black garlicku tidak ada masalah. Dan dia marah-marah tanpa mengkonfirmasi berita itu kepadaku.
“Mama pembohong ya? Mama nggak bisa dipercaya. Seumur hidupku aku tak percaya lagi sama mama.”
“Mama juga egois. Mama nggak pernah bantu perekonomianku. Aku tuh capek ma.” dengan emosi”.
“Sebentar, mama nggak pernah bantu perekonomian kamu? Kamu sudah mama besarkan, sudah mama sekolahkan. Apa kamu pernah bantu perekonomian mama? Mama di sini, di rumah kamu, selalu membiayai diri mama sendiri. Mama makan pakai uang mama sendiri. Mama beli sabun, beli kasur sampai kulkas juga mama bawa sendiri.” jawabku sambil berlinang air mata.
“Oh jadi mama nggak senang di sini? Silahkan mama keluar. Pergi saja ke rumah abang Haris”.
Ya Allah, Aku diusir anakku. Yang sedari kecil aku sayangi, aku timang-timang. Semua kebutuhannya kucukupi. Keperluannya aku dahulukan dibanding keperluanku. Kini ia tega menuduh dan mengusirku.
Apa salahku, nak? Sehingga kau berlaku seperti ini ke ibumu? Ku ingin suamiku ada di sisiku. Ingin kurebahkan kepalaku ke bahunya. Inginku bagi sesaknya hati ini. Inginku dibelai lembut untuk menghilangkan nestapaku. Duhai belahan jiwaku. Kalau engkau masih ada, tak akan berani anak-anak memperlakukanku dengan buruk.
Aku sangat terluka. Harga diriku rasanya sudah hilang karena statusku yang menumpang. Walau yang kutumpangi adalah anak-anakku. Aku hanya ingin dihargai dan disayangi sebagaimana aku menyayangi kalian ketika kalian dalam pengasuhanku. Ku tak meminta harta dari kalian, nak.
Renungan; Buat anak. (Karawang, 24 September 2019; #based on true story; Kiriman Soenarto; Bahan dari : Grup WA sebelah)-FatchurR