Wisata dan Kuliner

Mak Itam Legenda Uap Hitam Di Tanah Minangkabau

(cnnindonesia.com)-Jakarta, Lokomotif hitam itu diam, tak bergerak dan tidak di rel, tapi tersimpan di depo di pojok museum kereta. Siapa sangka, lokomotif bernomor seri E1060 itu legenda Sumatera Barat yang dikenal sebagai Mak Itam.

Mak Itam itu julukan yang diberikan masyarakat Minangkabau yang berarti ‘paman hitam’. Nama itu diberikan karena selain bentuknya warna hitam, asap pekat yang keluar dari lokomotif itu juga membuat produk keluaran Eropa itu mendapat julukan itu.

Jika Jateng punya kereta Ambarawa maka Mak Itam adalah ikon bagi perkeretapian Sumbar. Sosoknya yang bergerak di rel masih jadi ingatan masyarakat yang pemukimannya dilalui lokomotif itu.

 

Salah satunya Mar, warga Padang Panjang yang masih ingat jelas ketika Mak Itam yang legendaris membawa serangkaian gerbong berisi batu bara. Mar mengingat dengan jelas karena rangkaian kereta itu melintas di jembatan KA Padang Panjang yang membelah Lembah Anai ke Pelabuhan Emmahaven di Padang, atau kini dikenal sebagai Pelabuhan Teluk Bayur.

“Saya tinggal di sini seumur hidup, ingat banget ada kereta bawa batu bara. Badannya hitam semua dan asapnya banyak” ujar Mar ketika ditemui di rumahnya di kota Padang Panjang.

Lokomotif uap itu jadi ikonik, selain desain dan asap pekatnya yang dikeluarkan karena pakai mesin uap juga jadi simbol kejayaan tambang batu bara di Sawahlunto. Mak Itam digunakan mengangkut batu bara dari tambang Ombilin di kota Sawahlunto, yang puncak kejayaannya tahun 1970-an bisa memproduksi lebih dari sejuta ton batu bara per tahun.

Seri E1060 baru dipakai setelah Indonesia merdeka (17/8/45), untuk membawa berton-ton batu bara ke Emmahaven dan akhirnya dibawa kapal yang menanti di pelabuhan itu. Keunikan E1060, digunakan di jalur kereta bergerigi yang ada dari Stasiun Batu Tabal di Tanah Datar ke Stasiun Padang Panjang hingga Stasiun Kayu Tanam di Padang Pariaman, dan melewati jalur agak terjal karena membelah lembah.

Dengan bawa batu bara dari kota Sawahlunto, Mak Itam menembus terowongan sepanjang 828 meter yang disebut sebagai Lubang Kalam menuju Stasiun Muarakalaban kemudian melewati Stasiun Solok.

Rangkaian kereta itu menyusuri Danau Singkarak untuk pergi ke Stasiun Batu Tabal dengan relnya yang spesial untuk sampai ke Stasiun Kayu Tanam menuju stasiun akhirnya di Teluk Bayur, Padang, menurut staf Dinas Kebudayaan, Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto, Dedi Yolson.

“Di Batu Tabal terjadi pergantian lok (lokomotif), ditukar yang pakai gigi karena medannya. Masuk ke Lembah Anai, rel bergerigi itu panjangya 29 km dari Batu Tabal hingga Kayu Tanam. Di sana ganti lagi dengan lok biasa karena tidak ada lagi tanjakan dari sana ke Padang,” ujar Dedi, ketika ditemui di Museum Kereta Api Sawahlunto.

 

Pragmatisme Belanda

Jalur itu, yang lahir lebih dulu dari Mak Itam, dipilih Belanda karena alasan pragmatis yaitu menghemat biaya. Awalnya ada dua jalur yang diajukan yaitu yang ada relnya saat ini dan melewati Sitinjau Laut.

Meski jaraknya lebih dekat, hampir setengah dari jalur Lembah Anai, tapi jalur ke sana harus membuat Hindia Belanda membuat banyak terowongan yang berarti akan menggandakan biaya pembangunan rel.

Selain itu, alasan Belanda memilih jalur Lembah Anai, karena menghidupkan jalur perkebunan. Di Padang Panjang ada jalur persimpangan, yang ke Payakumbuh, dulu perkebunan tembakau.

Permasalahan jarak itu membuat kereta hitam itu menghabiskan satu pekan bawa hasil tambang Sawahlunto ke Padang. Penyebab lambannya lokomotif uap dan kehati-hatian saat melewati jalur terjal.

Berbeda ketika otoritas mulai menggunakan lokomotif diesel berbahan bakar minyak, yang tadinya  sepekan kini bisa dalam hitungan jam tiba di Padang dan Pelabuhan Teluk Bayur.

Tapi langkah itu membuat Mak Itam tersingkir, diganti lokomotif yang lebih cepat dan canggih. Akhirnya seri E1060 sang ikon KA Sumbar dibawa ke Jawa Tengah untuk bertemu “saudaranya” di Ambarawa.

 

Sumber harapan

Setelah jadi “transmigran” di Ambarawa sejak 1988, E1060 kembali ke kota Sawahlunto pada Desember 2007 setelah Pemkot Sawahlunto minta PT AI membawa sang Paman Hitam kembali ke Sumbar.

Sejak itu, sang pembawa batu bara beralih fungsi jadi KA wisata menggunakan jalur Sawahlunto-Muarakalaban. Lokomotif itu digunakan untuk ajang sepeda tahunan bergengsi Tour de Singkarak (2012).

Nasib Mak Itam kini kembali disimpan di depo di Museum KA Sawahlunto karena kerusakan pada sistem pemanas air. Tapi setitik harapan untuk Mak Itam muncul ketika Juli 2019 secara resmi Tambang Ombilin di Sawahlunto resmi jadi warisan budaya dunia UNESCO.

Pemkot Sawahlunto bertekad menggunakan momen itu untuk mengubah fungsinya dari kota pertambangan, yang aktivitasnya dihentikan beberapa tahun lalu, jadi kota wisata dengan keunikan sejarahnya sebagai tambang batu bara tertua di kawasan Asia Tenggara.

Mak Itam, bagian tak terpisahkan dari kisah era kejayaan pertambangan batu bara di Sawahlunto akan jadi bagian dari transformasi. Wali Kota Sawahlunto Deri Asta menegaskan transformasi itu harus dilakukan untuk mengubah kota itu jadi titik penarik wisatawan domestik dan asing ketika menerima plakat sertifikat warisan dunia UNESCO di Kota Sawahlunto pada Selasa (29/10).

“Kita berharap dengan ditetapkannya Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto sebagai warisan budaya dunia orang akan berdatangan ke Sawahlunto. Tentu kita harus merawat situs-situs yang menjadi warisan budaya tersebut,” tegas Wali Kota Sawahlunto Deri Asta.

 

(Bahan dari : https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20191031155525-269-444546/mak-itam-legenda-uap-hitam-dari-tanah-minangkabau)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close