Togo Menyulap sampah Dari Seluruh Dunia Dijadikan Robot
(bbc.com)- Republik Togo mengimpor 500.000 ton sampah elektronik tiap tahun. Diantaranya berbahaya bagi kesehatan, tapi juga menginspirasi peneliti lokal dan menciptakan lapangan kerja seperti dilaporkan Waihiga Mwaura
Bentuknya mirip laba-laba, juga pergerakannya. Mahluk robotik itu tak bisa dianggap mainan belaka. Robot laba-laba itu simbol revolusi digital yang bergerak di salah satu negara terkecil di Afrika Barat. “Saya buat dari mesin cetak 3D bekas,” ujar Ousia Foli-Bebe sambil menunjuk robot laba-labanya.
“Plastik dari mesin printer saya jadikan lengan dan kakinya. Juga membuat mesin cetak 3D dari sampah elektronik, dan belajar cara membuat printer dari internet”. Foli-Bebe membawa robotnya ke sekolah-sekolah untuk menarik minat siswa di bidang sains dan daur ulang. “Cita-cita saya membuat perangkat sains agar mereka mulai menciptakan karya dan menyelesaikan permasalahan masyarakat” ungkapnya.
Laboratorium Ecotec-nya di Amadanhome, di pinggiran ibukota Togo, Lomé. Tempatnya sederhana, dengan papan tulis memenuhi sisi dinding, dan mesin cetak 3D di dinding seberangnya. Foli Bebe, pria (29) ini, satu di antara pengusaha muda yang melihat peluang sampah elektronik yang diimpor Togo.
Lembaga pelestarian lingkungan lokal E-Waste Centre memperkirakan 500 ribu ton sampah masuk ke Togo tiap tahun. Di luar lab terserak beragam jenis TV dan perangkat elektronik bekas di lahan seluas lapangan tenis. Ini mempermudah dirinya mendapat berbagai perangkat untuk proyek inovasinya.
Foli-Bebe berbagi lahan dengan pendaur ulang sampah elektronik lain. Dia belajar daur ulang dari orang lain, seperti Gnikou Afate, pencipta mesin printer 3D daur ulang pertama di Togo. Mesin cetak buatan Afate juara-1 di konferensi Teknologi Fabrikasi Barcelona (2015). Penemu (39) yang berkolaborasi dengan pusat pengembangan teknologi Woelab (yang terbaik di sana) – membuka lab kecil di samping rumahnya.
Tambang emas baru
“Awalnya, sampah elektronik itu bencana; begitu cara kami menggambarkannya” ujar Afate. “Jalanan kami diseraki perangkat komputer bekas. Tapi kini berubah jadi peluang. Sampah elektronik dianggap seperti tambang emas.” Hanya 41 negara di dunia – kebanyakan di Eropa – yang mendata sampah elektronik, menurut laporan The Global E-waste Monitor.
Menurut laporan itu tahun 2016, orang di dunia membuang 44 juta ton sampah elektronik. Telepon genggam bekas, laptop, TV, dan generator listrik memenuhi mobil van dan truk yang keluar dari pelabuhan Lomé. Mereka gelar lapak di pasar dekat pelabuhan tempat pembeli kumpul. Meningkatnya kebutuhan teknologi menciptakan pasar, orang yang ingin beli barang elektronik bekas tawar-menawar.
Selain permintaan barang bekas yang menarik minat pembeli, juga ketidak-sanggupan negara kaya mendaur ulang. Organisasi seperti Basel Action Network khawatir negara barat tidak becus menangani sampah elektroniknya, dan membiarkan berakhir di kapal kargo yang membawa itu semua ke Afrika Barat dan negara lain.
“Negara lain tak tahu solusi sampah elektronik yang dihasilkan, dan Afrika memiliki lingkungan terbaik jadi lokasi pembuangan,” ujar aktivis Youth for the Environment Togo, Sena Alouka. “Ada kerangka regulasi yang lemah, institusi dan korupsi, ikut menyumbang arus perpindahan sampah ini. Kami perlu meniru Thailand yang mengancam dengan akan mengerahkan pasukan militernya demi melarang impor sampah elektronik.”
Meski eskpor barang bekas ke negara lain tak menyalahi hukum internasional, masalahnya jika barang itu tidak bisa digunakan, seperti yang tertulis dalam perjanjian, di antaranya konvensi Basel dan Bamako. Konvensi Bamako, yang diberlakukan 1998, mewajibkan negara-negara Afrika melarang kegiatan impor sampah berbahaya, termasuk zat-zat radioaktif.
Perjanjian itu mendorong Afrika mengesahkan UU kontrol impor barang cacat atau hampir kadaluwarsa sebagai sampah berbahaya. “Bayangkan satu set TV semua mengandung kadmium, timah, dan berilium itu beracun dan berbahaya” ujar Alouka. “Zat itu bisa mencemari air yang ke lautan dan kita makan ikan. Zat tadi mengandung merkuri dll. Itu berbahaya bagi kesehatana, terutama anak-anak kita.”
Mengatur sampah itu jadi tantangan, banyak hidup warga bergantung padanya. “Jika dilihat sampah yang ke sini, banyak yang berbahaya-beracun, sehingga harus dievaluasi dampak ekonomi yang ditimbulkan pada lingkungan,” tukas pengusaha daur ulang Hervé Tchamsi dari E-Waste Centre. Timnya meminimalisir paparan zat berbahaya itu. Dia harap bisa diberlakukan juga di seluruh Togo.
Dikirim kembali ke Eropa
Benda yang tak bisa didaur ulang, dikembalikan ke Eropa, tempat asal sampah elektronik. “Itu TV yang mengandung zat berbahaya. Kami harus merogoh kocek mengirim kembali ke Belgia untuk didaur ulang – karena di sini kami tidak mampu mendaur ulang itu semua dengan aman,” jelasnya. Di negara dengan lapangan kerja terbatas bagi anak muda, industri ini berpotensi lapangan kerja luar biasa.
Para penemu dan pengusaha mencoba mencari solusi yang tepat, yang dapat memaksimalkan potensi tersebut sekaligus memitigasi bahaya yang ditimbulkan.
(Bahan dari : https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46383260)-FatchurR *
*** Bagaimana Anda para PMP atau lingkungan Anda? Sudahkah juga ikut menyelamatkan bumi akibat barang elektronik bekas? (FR)