Pengalaman Anggota

Cerita ‘waktoe itoe’–Es-pabrik es-dan kulkas minyak tanah(1)

// Cerita ‘Waktoe Itoe’ ini cerita tentang Indonesia di waktu yang lalu. Kita batasi paling tidak 40 tahun yang lalu ya. Anda juga sangat ditunggu cerita pengalamannya. Cerita bisa apa saja, pokoknya menarik. Bisa juga mengambil cerita sendiri, orang tua, kakek-nenek, guru, dsb. //

Jaman saya kecil, tahun 1960-an, kalau mau minum es ya harus beli di tukang es. Maksudnya es campur, es tape, es kelapa muda atau es semacamnya. Orang belum bisa atau belum umum beli es batu. Es batu ini belinya di pabrik es. Di kota saya ada 2 pabrik. Jadi penjual es, atau warung es beli di pabrik itu.

Jaman itu es langka. Di warung es ada pilihan, beli “es campur” tanpa es atau dengan es. Kalau tanpa es disebut cao, apapun isi atau campurannya. Saat itu bahannya terdiri dari kelapa muda, roti tawar, tape singkong, kolang-kaling dan cingcau. Kalau anak kecil biasanya beli cao saja, sebab jauh lebih murah dibanding ditambah dengan es.

 

Maklumlah es itu harus dibeli jauh di kota oleh pemilik warung es dengan naik sepeda atau dokar, tentu perlu ongkos lagi. Warung es itu membelinya juga tidak banyak, mungkin kalau ditimbang hanya sekitar 2-3 kg saja untuk seharian berjualan. Esoknya dia akan membeli lagi.

Begitulah, sampai tahun 1970-an es masih sulit dan langka. Tentunya kecuali es lilin yang sudah banyak dijual. Tapi saat itu orang juga tidak sangat ingin makan es, di cuaca panas sekalipun. Keadaaan kadang membuat orang menerima apa adanya.

 

Selain itu harga es relatif mahal dan bukan kebutuhan pokok medesak. Orang masih fokus ke beras atau makanan pokok lainnya yang tidak semua orang mampu membeli dengan cukup untuk dimakan di keluarga masing-masing. Masih banyak orang kurus dan sangat jarang ada orang gemuk saat itu.

Di bagian agak utara kota saya ada pabrik es. Pabrik itu berada di dekat jalan inspeksi sungai irigasi besar yang melewati kota. Di dekat pabrik es itu ada grojogan. Sungai irigasi itu dibendung agar airnya mengalir ke daerah sekitarnya, termasuk ke pabrik es itu.

 

Karena air dibendung sekitar 3 meter tingginya, maka jauhnya air menjadi grojogan dan menimbulkan bunyi bergemuruh keras yang menakutkan bagi anak kecil seperti saya. Di seberang pabrik es itu ada pasar besar, terbesar kedua di kota saya.

 

Kalau dari desa saya mau ke pasar itu, berjalan kaki, kemudian melalui jalan isperksi sungai irigasi, kemudian di dekat pabrik es itu menyebrang sungai irigasi selebar 6 meter melewati jembatan di atas bendungan tadi. Nah, yang bikin takut saya ya di sini.

 

Di jembatan selebar 1 meter itu, memandang ke kanan akan terlihat aliran air yang terbendung, di sisi yang lain terlihat gerojogan bersuara gemuruh dengan air bergejolak. Ada rasa takut terjatuh, dan kalau terjatuh kira2 ya mati, sebab di gerojogan itu air setelah sampai bawah lalu menghujam ke bawah lagi sedalam 3 meter, katanya.

 

Ada satu lagi yang membuat takut, di tengah jembatan, tepat di atas gerojogan, bagian tengah jembatan berlubang memanjang 4 persegi panjang dan ditutup papan, jadi kalau berjalan harus lewat di sisi kanan atau kirinya, sebab ada rasa takut papannya tidak kuat diijak. Atau menginjak papan dengan rasa takut papanya jatuh.

Kembali ke pabrik es.
Saya juga belum pernah masuk ke pabrik es itu. Pabrik itu berupa bangunan (gedung besar), kemudian ada cerobong asap keluar gedung ke arah sungai irigasi itu. Jadi kalau orang lewat di situ bisa melihatnya dan mendengar suaranya yang keras, ” cong cong cong cong . . .” kira-kira setiap detik sekali.

Di area pabrik yang dekat dengan jalan inspeksi itu, ada bak air besar dan permukaannya setinggi 50 cm dari jalan. Ukurannya kira2 2×4 meter. jadi orang bisa melihat air di permukaan bak. Namun orang tidak bisa menyentuhnya sebab ada pagar kawat, cukup melihat dari jalan saja.

 

Di atas bak air ada pipa2 besi melintang sebesar lengan orang, lalu dilubangi kecil2 di atasnya. Air akan keluar dari lubang ini dan jatuh ke bak air. Karena jumlah pipa dan lubang banyak, jadi jatuhnya seperti air hujan tapi tidak terus menerus, ada iramanya, ada temponya, yaitu seuai dengan suara asap yang keluar tadi, ” cong cong cong cong . . .”.

Jadi saya yang masih kecil, kalau lewat di situ, melihat irama air jatuh ke bak, mendengar suara cerobong asap dan mendengar suara gemuruh air di gerojogan, cukup membuat hati jadi ciut alias takut. Apalagi sambil berjelan di atas jembatan di atas gerojogan, apalagi jembatannya berlobang di bagian tengah karena tidak ada papan penutupnya. Bersambung/ …………. (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close