Psikologi

Medsos dan adu domba-Tapi kenapa kita mudah terpengaruh(2/2)

(edukasi.kompas.com)-Ada yang pernah ikut demonstrasi? Bersama ribuan orang ber-teriak2 menuntut sesuatu, dengan 1-2 provokasi tiap orang bisa jadi beringas dan berani melakukan apa saja. Hanya meriam air dan gas air mata yang bisa membubarkannya. Kerumunan ini tidak hanya di jalanan, tapi juga di dunia maya, kebencian akan semakin menjadi apabila ada provokasi.

 

Apalagi yang memprovokasi satu “kelompok” dengan kita (in-group), bisa kelompok agama, kelompok suku, kelompok preferensi, bahkan karena warna baju yang sama. Pada masa perang dunia kedua (1941-1945), ada guru Jerman yang dihormati oleh siswa2nya sebelum perang.

 

Ketika perang pecah dan orang ini jadi penjaga kamp konsentrasi di Dachau, olah raganya tiap pagi menembaki penghuni kamp sampai mati secara acak untuk menghilangkan bosan. Bagaimana mungkin? Bisa saja, karena semua orang sebangsanya menganggap ras yang dia tembaki (Yahudi, out-group) lebih rendah dari manusia.

 

Dia jadi anonymous di antara bangsanya (Bangsa Arya, in-group), tanggung jawab dan moralitasnya menguap. Menurut teori identitas sosial : In-Group & Out-Group, seseorang bisa dimanipulasi dalam dinamika psikologi massa. Fenomena konformitas individu dalam kelompok macam ini juga pernah diteliti oleh Dr. Philip George Zimbardo, profesor psikologi dari Universitas Stanford pada Agustus 1971.

 

Penelitiannya terkenal bernama Standford Prison Experiment. Zimbardo merekrut sukarelawan ikut penelitiannya. Mereka dibayar sama per hari. Ketika dimulai, peserta dibagi acak. Satu kelompok menjadi penjaga, satu kelompok jadi tahanan. Dibuatkan penjara2an di gedung kampus. Eksperimen direncanakan berjalan 2 minggu.

 

Mereka dibebaskan improvisasi dan diberi seragam berbeda antara penjaga dan tahanan. Baru dua hari berjalan, kelompok penjaga sudah memukuli tahanan yang tidak patuh, kelompok tahanan luar biasa takut dengan penjaga dan berusaha “kabur” dari penjara. Padahal mereka bisa saja minta berhenti.

Ternyata masing2 kelompok saling menguatkan perannya di antara mereka dan bermusuhan satu sama lain, meski yg membedakan mereka hanya seragamnya. Belum ada seminggu eksperimen ini dibubarkan karena mulai dianggap membahayakan. Kata Pak Zimbardo “para peserta terlalu menghayati perannya.”

 

Masih ingat kan? Sejak pilpres 2014 sampai di 2018, di medsos selalu ada isu yang membelah pendapat jamaah FB, WA, Twitter, dsb. Satu pro, satu kontra. Kebanyakan termakan isu dan saling gontok2an. Tinggal dipakaikan “seragam” yang berbeda, ketika ada isu, aturlah narasi supaya satu kelompok pro, satu kelompok kontra. Posting. Blar!

 

Langsung terbentuk dua kubu, yang kurang kuat mentalnya akan langsung terseret emosinya dalam arus isu. Bisa2 masing2 saling membenci orang yang sama sekali tidak dikenalnya sampai ubun2. Ada dua faktor yang mempengaruhi.

 

Pertama faktor lingkungan, misalnya yang sering terjadi di stadion sepakbola, apabila disulut, bentrokan antar suporter lebih mudah terjadi karena masing2 pakai jersey yang berbeda sehingga stadion terbagi menjadi dua kelompok.

 

Sekali waktu boleh dicoba, misalnya ketika Persija (oranye) bertanding dengan Persib (biru), semua penonton diwajibkan memakai baju bebas dengan warna yang sama yang bukan seragam klubnya, dan bukan pula warna klubnya, misalnya putih. Mereka akan kesulitan untuk bentrok.

 

Selain faktor lingkungan seperti seragam, yang kedua secara individu kita terprovokasi karena pada dasarnya sebagian dari kita lebih gampang diprovokasi. Menurut saya, tingkat pendidikan tidak berkorelasi dengan sulit atau mudahnya orang diprovokasi.

 

Kecerdasan atau regulasi emosi yang semestinya dijadikan ukuran, dugaan saya, semakin tinggi tingkat kecerdasan emosinya, makin susah orang untuk diprovokasi. Massa demonstran di jalanan masih bisa dibubarkan. Tapi massa di FB? WA? Bagaimana caranya? Tidak mudah, tapi bisa. Coba sekali waktu mengurangi screen time Anda, berapa lama mata ada di depan layar smartphone dalam sehari?

 

Kurangi, dan jangan mudah percaya. Lebih baik Anda ngobrol langsung tatap muka dengan orang yang berbeda pendapat dengan Anda, jangan lewat medsos. Karena efeknya jauh berbeda. Terakhir jangan malas mengklarifikasi. Kemalasan kita bisa menghancurkan kedamaian dan kerukunan yang ber-abad2 dipelihara di negeri ini

(Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul “Media Sosial dan Adu Domba, Mengapa Kita Mudah Terpengaruh?”, Bondhan Kresna W. M.Psi Editor : Bambang Priyo Jatmiko; https://edukasi.kompas.com/read/2018/02/26/07325541/media-sosial-dan-adu-domba-mengapa-kita-mudah-terpengaruh)-FatchurR  *** tamat…..

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close