Perangi Hoaks Dengan Melek Hukum dan Literasi
(koran-jakarta.com)-Judul : Seri Cerdas Hukum : Awas Hoax
Penulis : Sahrul Mauludi; Penerbit : Elex Media; Tahun 2019
Tebal : xvi-410 Halaman dan dengan ISBN : 978-602-04-9136-3
Kedewasaan sebagian netizen dalam mengakses konten media sosial patut dipertanyakan dengan maraknya penyalahgunaan internet mulai dari kecanduan bersosial media, penipuan online, serta penyebaran berita bohong. Salah satu dampak negatif kemajuan teknologi ini menjadi lahan subur hoaks. Informasi dapat tersebar menggunakan ujung jari.
Sedikitnya, ada 4 macam hoaks yang sering beredar melalui internet. Pertama, mitos/cerita lampau yang belum terbukti kebenarannya. Kedua, berita yang di-lebih2kan atau sebaliknya, mempersepsikan sesuatu seolah tak ada manfaatnya. Ketiga, informasi yang diada-adakan atau sama sekali tidak mengandung kebenaran. Keempat, info sesat yang dipelintir menjadi seolah-olah fakta (Hal 23).
Belakangan, terutama menjelang Pemilu 2019, penyebaran hoaks serta ujaran kebencian membuat miris. Sebagian masyarakat tidak menggunakan internet, terutama media sosial untuk menggali visi, misi, serta rekam jejak pasangan calon presiden dan wakil. Mereka lebih tertarik mencermati berita beraroma ujaran kebencian, hoaks, serta fitnah. Belum lagi warta yang menyinggung SARA.
Penyebar ujaran kebencian tak menyadari dampak buruknya. Mereka merendahkan martabat sesama, menimbulkan kerugian material, korban jiwa, serta konflik di masyarakat. Pemerintah pun menetapkan UU ITE guna menekan cybercrime yang diulas di halaman 10–24.
UU tak bermaksud membelenggu kebebasan berekspresi di dunia maya, tapi mencegah agar tidak ada yang dirugikan, khususnya pengguna medsos.
Meskipun sejumlah pelaku tindak kejahatan dunia maya sudah diciduk, seakan belum menimbulkan efek jera. Hingga kini, masih banyak penyebar konten hoaks. Hal tersebut bisa jadi karena minimnya kecakapan literasi digital masyarakat. Pendidikan tinggi tak menjamin seseorang memiliki kecakapan literasi media. Ini terbukti dari penyebar hoaks tak jarang oknum intelek.
Selanjutnya, para elite politik juga berperan penting. Para politikus merupakan sosok berpengaruh di dunia virtual. Hampir seluruh aktor politik saling berebut pengaruh melalui media sosial. Sesungguhnya, yang dilakukan masyarakat merupakan cerminan perilaku elite (Hal 249).
Berita bohong masih menjadi trending topic di kalangan netizen. Hoaks sering di-retweet dan di-share. Sebab informasi abal-abal ini selalu menarik dan dapat menaikkan traffict pengguna media sosial.
Meningkatnya penggunaan smartphone ditengarai juga menjadi faktor maraknya hoaks. Media sosial dapat diakses dengan cepat sehingga netizen mudah berbagi cerita. Tak menutup kemungkinan, informasi yang diunggah mengandung hoaks.
UU ITE saja tak cukup menangkis penyebaran berita palsu. Keluarga harus ada di garda terdepan mencegah hoaks. Orang tua harus aktif mengawasi anak mengakses media sosial. Diperlukan kerja sama pemerintah dan masyarakat memutus rantai ini. Langkah konkret Kominfo memblokir situs yang tak pantas patut diapresiasi.
Lakukan tips berikut untuk terlibat dalam penyebaran hoaks. Berpikir sebelum mengunggah konten atau berkomentar di media sosial. Bijak mengidentifikasi informasi yang diperoleh. Hindari menulis konten berbau SARA (Hal 291).
Buku ini dapat mengedukasi masyarakat untuk memahami berbagai bentuk tindak pidana ujaran kebencian, konsekuensi pelaku, serta tindakan jika menjadi korban ujaran kebencian (Hal 295).
Buku mengajak masyarakat jeli serta kritis menilai informasi, terutama di media social. (Diresensi : Sri Minarti; Lulusan SMAN-1 Kepanjen Malang; Bahan dari : http://www.koran-jakarta.com/perangi-hoaks-dengan-melek-hukum-dan-literasi-digital/)-FatchurR *