23 Tahun Yakes-Connecting Wellness
Apa makna perjalanan sebuah usia? Bertambahkah pengalaman kita, bertambahkah kontribusi kita, semakin bermanfaatkah kita? Pertanyaan-pertanyaan ini layak direnungkan di tengah-tengah perayaan sebuah ulang tahun. Apakah ini ulang tahun pribadi, komunitas, organisasi, perusahaan, dan sebagainya, pertambahan usia hendaknya dimaknai dengan sejauh mana kita lebih bermanfaat.
Yakes yang didirikan pada tanggal 22 April 1998, memiliki pertanyaan yang sama saat menginjakkan usianya yang ke 23 di tahun 2021. Sejauh manakah keberadaan Yakes bermanfaat bagi lingkungannya, utamanya stakeholdernya. Bagaimana kontribusi Yakes?
Apakah keberadaan Yakes semakin bermakna? Tentunya pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan karya nyata dengan semakin menegaskan keberadaan Yakes dalam melayani para stakeholdernya, utamanya pelanggannya.
Pencanangan Pedoman Kerja POT CINTA dan Komitmen Yakes untuk Sehat Tekad Kita, Melayani dengan Cinta pada 4 September 2020 memberi arah bagaimana Organisasi Yakes bekerja dan melayani pelanggannya.
Perjalanan selanjutnya membuat Yakes harus terus mempertegas positioningnya dalam menjalani misi pelayanan kesehatannya. Untuk itu Yakes pada ulang tahun yang ke 23 melakukan refleksi, reevaluasi dan redefinisi terhadap posisi, fungsi dan perannya, sehingga munculah sebuah pemikiran dan obsesi bahwa Yakes haruslah memposisikan dirinya sebagai “CONNECTING WELLNESS.”
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang positioning Yakes sebagai Connecting Wellness, kita layak belajar dari berbagai organisasi lainnya, baik pada keberhasilannya maupun kegagalannya. Kita bisa belajar dari keberhasilannya sekaligus mengambil hikmah dari kegagalannya.
Jika mendengar kata Connecting tentu kita mengingat setidaknya pada sebuah perusahaan, yang pernah berhasil juga gagal, kita belajar dari hal-hal itu, keberhasilannya kita duplikasi bahkan kita kembangkan dalam skala yang lebih luas, dan kegagalannya kita hindari dengan mengambil hikmahnya.
Pernahkah anda mendengar tagline “Connecting People”? ini suatu tagline dari sebuah perusahaan terkemuka yang pernah ada, yaitu Nokia. Nokia sangat dikenal melalui semboyan
“Connecting People” ini. saat itu tampak benar Nokia melayani kebutuhan konsumen, dirasakan teknologi Nokia sangat membantu. Tapi, semboyan itu kini menghadapi tantangan ketika begitu banyak brand ponsel yang dipasarkan, ketika penetrasi ponsel sudah sampai hingga desa-desa. Lalu, apa makna “Connecting People”? Apa bedanya terkoneksi dengan Nokia dan dengan ponsel dari vendor lain.
Andrea Facchini, Marketing Director Nokia Indonesia menyadari tantangan tersebut. “Makna connecting kini telah berevolusi. Dulu koneksi sekedar lewat panggilan atau teks SMS, tetapi sekarang berubah,” ungkapnya dalam acara Nokia Break Free yang digelar hari itu di Quicksilver Cruise.
“Sekarang connecting berarti terkoneksi ke internet,” katanya. Menurutnya, koneksi internet inilah yang sekarang justru banyak dibutuhkan, membuat orang mampu membangun jejaring di media sosial dan melakukan aktivitas seperti chatting lewat ponsel tanpa batasan. Oleh karena itu, ia mengungkapkan bahwa Nokia berupaya menegaskan semboyan “connecting people” dalam makna barunya.
Nokia menegaskan komitmen untuk mewujudkan layanan yang terbaik dan menarik, mudah didapatkan serta relevan bagi konsumennya. Ia mengatakan, bukti upaya tersebut adalah peluncuran Nokia Break Free hari ini, layanan yang salah satu fokusnya adalah menghubungkan konsumen lewat aplikasi chatting.
Namun akhirnya kita menyaksikan eksistensi Nokia hilang di bisnis telepon seluler. Gagal beradaptasi dan berinovasi disebut sebagai biang keladi kegagalan Nokia untuk bertahan. “Kami tidak melakukan kesalahan apapun, tapi entah mengapa kami kalah”, ucap mantan CEO Nokia, Stephen Elop sambil menyeka setitik air matanya, saat mengumumkan akuisisi Nokia oleh Microsoft pada 2013 lalu.
Apa yang membuat Nokia hilang dari peredaran bisnis global? Ada banyak faktor yang cukup kompleks. Namun, beberapa peneliti menyorot tiga hal utama dari faktor internal perusahaan, yakni kualitas teknologi yang kalah dari Apple, arogansi jajaran manajer, dan lemahnya visi perusahaan.
Tiga poin tersebut kemudian dirinci lebih mendalam oleh Tim O. Vuori, asisten profesor manajemen strategi Universitas Aalto dan profesor strategi, Qui Huy, dari sekolah tinggi bisnis INSEAD Singapura. Mereka menulis sebuah karya ilmiah berjudul Distributed Attention and Shared Emotions in the Innovation Process:
How Nokia Lost the Smartphone Battle. Dalam studi ini, periset melakukan wawancara terhadap 76 manajer level atas dan menengah serta engineer Nokia. Mereka juga mewawancarai pakar eksternal dan melakukan investigasi mendalam.
Ditemukan ada beberapa hal yang membuat Nokia mundur dan lenyap dari percaturan bisnis, yaitu :
Budaya kerja mencekam. Dalam studinya, Huy dan Vuori menemukan bahwa budaya kerja yang “mencekam” menjadi salah satu penyebab kenapa Nokia bangkrut. Saat itu, para pemimpin disebut cukup tempramental dan membuat manajer level menengah ketakutan.
Mereka takut melaporkan keadaan sebenarnya, karena ancaman pemecatan. Terutama tentang laporan penjualan yang gagal memenuhi target. Di sisi lain, para eksekutif Nokia takut mengakui mutu sebenarnya sistem operasi Symbian yang dijalankan perangkat Nokia saat itu.
Mereka khawatir jika mengakui hal tersebut, para investor, pemasok, dan terutama penggunanya, meninggalkan Nokia. Tapi mereka sadar, butuh waktu cukup lama untuk membangun sistem operasi yang bisa menyamai atau melampaui kualitas iOS buatan Apple.
Di waktu yang sama, para manajer kelas atas mengintimidasi manajer level menengah, menuding mereka kurang ambisius untuk mencapai target. Manajer atas Nokia disebut kurang kompeten dalam urusan teknis, sehingga mempengaruhi cara mereka menilai kualitas teknologi buatan mereka dalam menetapkan target dan keputusan. Sementara, di Apple, posisi pimpinan diisi oleh para engineer.
Salah satu blunder yang pernah dibuat adalah, para petinggi Nokia memutuskan untuk mengalokasikan sumber daya untuk mengembangkan perangkat ponsel baru, untuk memenuhi permintaan pasar dalam jangka pendek. Mereka justru tidak memanfaatkannya untuk mencapai target jangka panjang, seperti mengembangkan sistem operasi baru.
Gagal berinovasi Bisa dikatakan politik internal, salah satu faktor utama yang menjadi penyebab, kenapa Nokia bangkrut. Para pegawai saling melemahkan dan membuat perusahaan semakin rentan tergerus arus kompetisi. Manajer level atas gagal memotivasi manajer kelas menengah. Mereka memilih menggunakan pendekatan yang keras tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Budaya “ketakutan” yang kadung berjalan mempengaruhi interaksi antar karyawan Nokia. Lambat laun, munculah sebuah fenomena yang disebut “miopia temporal” akibat beberapa faktor yang menumpuk. Faktor manusia ditambah dengan faktor ekonomi dan juga struktural akhirnya membuat Nokia kesulitan berinovasi.
Seperti perusahaan besar pada umumnya, Nokia juga memiliki nilai perusahaan yakni Respect, Challenge, Achievement, dan Renewal (menghormati, tantangan, capaian, dan pembaruan). Namun, para karyawan Nokia menganggap bos-bos mereka gagal memegang teguh nilai tersebut saat menjalankan operasional.
Pemimpin juga harus memiliki gaya kolaboratif dan meninggalkan budaya “tutup pintu” alias tidak menerima kolaborasi bersama pihak lain. Kecerdasan emosional dibutuhkan para pemimpin untuk mengambil keputusan, terutama saat pekerjanya terdiri dari beragam generasi, termasuk generasi milenial dan generasi Z.
Nokia kemudian undur diri dari bisnis ponsel usai divisi perangkat kerasnya diakuisisi oleh Microsoft pada 2014 dengan mahar senilai 7,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 96,8 triliun). Kemudian pada 2016, lisensi merek Nokia dibeli oleh perusahaan China, HMD Global (dirangkum KompasTekno dari Medium Brand Minds, Selasa 30/3/2021).
Masih tentang Connecting, berikutnya muncul sebuah tagline perusahaan yang cukup menarik yaitu “Connecting Happines.” Pada perayaan puncak HUT JNE ke-30 cukup berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya karena JNE mengadakan perayaan HUT secara virtual live.
Presiden Direktur JNE, Muhammad Feriadi Soeprapto mengatakan, dalam menjalankan bisnis, JNE memiliki tagline “Connecting Happiness” yang berarti mengantarkan kebahagiaan.
Maknanya luas, sehingga jika bicara tentang JNE, maka bukan hanya tentang pengiriman paket, namun dalam berbagai aspek di setiap kehidupan masyarakat. “Hal ini karena empat sektor, yaitu SDM, infrastruktur, teknologi informasi, dan lingkungan sekitar, menjadi perhatian utama perusahaan,” kata Feriadi di Jakarta.
Lebih lanjut, Feriadi menyampaikan selama 30 tahun, JNE melayani masyarakat Indonesia di bidang jasa pengiriman ekspres dan logistik dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan lingkungan sekitar. Salah satunya dengan kepedulian JNE menggratiskan pengiriman penanganan covid-19.
Menghantarkan kebahagiaan atau Connecting Happiness yang menjadi tagline JNE adalah semangat yang harus terus dijalankan, bukan hanya dalam memberikan pelayanan prima kepada pelanggan, tapi juga berbagai program yang memberikan manfaat.
Sekarang kita kembali ke diri kita. Bulan April mengingatkan kita kelahiran sebuah organisasi yang cukup strategis di lingkungan Telkom Group, yaitu Yayasan Kesehatan. Sejarah perjalananan Yakes sudah cukup panjang dimulai pada era tahun 1960-an Perusahaan memberikan fasilitas Kesehatan (FASKES) kepada pegawainya dengan menggunakan sistem restitusi.
Sejak tahun 1985 Faskes dikelola oleh Bagian Kesehatan Pegawai (KESTEL) di bawah Subdit ADPEGTEL dan kemudian dikelola oleh Direktorat Personalia dan Tata Usaha. Yakes terus berkembang hingga saat ini menjadi institusi mandiri dan kokoh setelah 23 tahun sejak didirikan.
Setelah perjalanan panjang ini, layak kita lakukan perenungan kembali, apa hakekat dari keberadaan Yakes. Jika menilik dari rangkaian komitmen Yakes dalam melayani Kesehatan Pegawai dan Pensiunan Telkom sejak 23 tahun yang lalu, maka kristalisasi dari seluruh upaya tersebut dapat disimpulkan dalam sebuah metafora POT CINTA.
Dimana sebuah POT menjadi wadah untuk tumbuhnya bunga di dalamnya yang dirawat dengan penuh CINTA. POT adalah metafora Yakes itu sendiri dan bunga yang tumbuh di dalamnya adalah Para Pelanggan yang harus dilayani oleh Yakes, yaitu Pensiunan, Karyawan beserta keluarga.
Nah saat ini di usia ke 23 Yakes merenung kembali, apa hakikat dari keberadaan Yakes. Jika POT CINTA menjadi titik kulminasi, maka dari seluruh rangkaian tekad, komitmen dan arah pelayanan Yakes kita menemukan momentum untuk menyebut Hakikat keberadaan Yakes adalah sebagai “CONNECTING WELLNESS.”
Mari kita mulai dengan pemahaman Wellness itu sendiri, diantaranya Universitas East Carolina, sebagai berikut :“Wellness adalah integrasi pikiran, tubuh dan jiwa. Kesehatan yang optimal memungkinkan kita untuk mencapai tujuan kita dan menemukan makna dan tujuan dalam hidup kita. Kesehatan menggabungkan tujuh dimensi kesejahteraan menjadi cara hidup yang berkualitas. Secara keseluruhan, kesehatan adalah kemampuan untuk menjalani hidup sepenuhnya dan memaksimalkan potensi pribadi dalam berbagai cara. Kesehatan melibatkan pembelajaran terus-menerus dan membuat perubahan untuk meningkatkan keadaan kesehatan Anda. Saat kita menyeimbangkan aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, pekerjaan, spiritual, dan lingkungan hidup, kita mencapai kesehatan sejati. ”
Dengan melihat perjalanan panjang Yakes, hakikat keberadaan Yakes maka sangat tepat kita sebut Yakes sebagai media yang mampu mengantarkan seluruh pelanggannya kesituasi kehidupan yang lebih baik dengan derajat kesehatan jiwa dan fisik yang baik dengan mengintegrasikan pikiran, tubuh dan jiwa.
Inilah hakikat Yakes sebagai CONNECTING WELLNESS yang mendorong pencapaian derajat kesehatan yang optimal dan mendorong pelanggan untuk menemukan makna hidup dan mencapai tujuan kehidupanya.
Untuk mencapai WELLNESS, Universitas East Carolina menyebutkan tujuh aspek yang harus diseimbangkan, yaitu fisik, intelektual, emosional, sosial, pekerjaan, spiritual, dan lingkungan hidup, maka Yakes dalam konteks CONNECTING WELLNESS memiliki 5 domain yang harus diselaraskan dan diintegrasikan, yaitu :
1-POT CINTA, sebagai dasar Yakes untuk menempatkan posisi sebagai CONNECTING WELLNESS dengan menyelaraskan Pelayanan Prima, Operasional Handal, Teknologi Tepat, Citra Positif dan Investasi berkelanjutan.
2-PROSES, bagaimana seluruh layanan kesehatan dan kesejahteraan diselaraskan sedemikian rupa untuk mendukung posisi Yakes sebagai CONNECTING WELLNESS.
3-DATA, integrasi data yang terkait Kesehatan seluruh karyawan, pensiunan dan keluarga Telkom menjadi bagian penting untuk mendukung peran Yakes sebagai CONNECTING WELLNESS.
4-PROGRAM, harmonisasi semua program yang terkait pelayanan Kesehatan di Telkom Group akan mempertegas fungsi dan peran Yakes sebagai CONNECTING WELLNESS.
5-KOLABORASI antar Unit dan Entitas di Telkom Group, diantaranya namun tidak terbatas seperti ADMEDIKA, TELKOMEDIKA, HCM, P2TEL, SEKAR turut mendukung positioning Yakes sebagai CONNECTING WELLNESS.
Pada hakikatnya positioning, Fungsi dan Peran Yakes sebagai “CONNECTING WELLNESS” adalah untuk membawa Para Pelanggannya ke Taraf Kesehatan yg Prima dg mengintegrasikan kesehatan Fisik, Jiwa, Pikiran, Sosial dan Spiritual.
Agar positioning Yakes sebagai CONNECTING WELLNESS berjalan dengan baik, diperlukan penjabaran lebih lanjut tentang CONNECTING WELLNESS oleh unit-unit dan fungsi terkait sebagai berikut :
SM Pelayanan Kesehatan :
1-Menindaklanjuti konsep CONNECTING WELLNESS secara utuh.
2-Mengaitkannya dalam rangkaian kerangka Pelayanan Kesehatan meliputi Kegiatan Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif.
3-Menyusun Program CONNECTING WELLNESS yang terintegrasi dalam Program POT CINTA.
SM Sisfo dan Kepesertaan:
1-Mengidentifikasi seluruh data kesehatan yg ada di seluruh Telkom Group.
2-Mengintegrasikan seluruh data tersebut dan kemudian dapat dikelola oleh Sisfo Yakes.
3-Identifikasi peta peran masing-masing Unit di Telkom Group terkait CONNECTING WELLNESS.
4-Membangun Kolaborasi dengan seluruh Unit di Telkom Group untuk mendukung peran Yakes sebagai Connecting Wellness.
SM General Affair
1-Menyiapkan kompetensi SDM terkait Connecting Wellness dan menyusun program pengembangannya.
2-Menyusun peta peran masing-masing Unit di Internal Yakes utk mendukung implementasi peran Yakes sebagai Connecting Wellness.
3-Menyiapkan materi sosialisasi/komunikasi dan melakukan Sosialisasi baik internal Yakes mau ke Telkom Group.
4-Buat berbagai program komunikasi yang mendukung penerapan Connecting Wellness.
5-Memasukan Connecting Wellness ke dalam OKR Yakes secara berjenjang.
Untuk SM dan Manajer lainnya silahkan merumuskan perannya untuk mendukung positioning Yakes sebagai CONNECTING WELLNES berkoordinasi dengan General Affair dan SDM.
Demikian renungan kita di usia Yakes yang ke-23, bahwa di Ultah tahun 2021 ini Yakes telah mendeklarasikan fungsi, peran dan posisinya sebagai CONNECTING WELLNES, mari kita wujudkan!
SEHAT TEKAD KITA, MELAYANI DENGAN CINTA……….
Bandung, 26 April 2021; Direktur Utama, T. Zilmahram Bahan dari :
(YKS-03/red01)–FatchurR *
Keterangan Gambar :
Yakes Telkom Terus Berinovasi, Dir Yakes: Peresmian Yakes Wellness Center sebagai Implementasi Connecting Wellness